LOGINSeorang wanita keluar dari mobil taksi dengan sangat terburu-buru, merapikan pakaiannya yang kala itu mengenakan blus warna abu-abu muda, dengan bawahan rok jeans span warna biru muda sepanjang betis yang sesekali memperlihatkan betisnya pada bagian belahan rok. Rambut hitam sebahu dibiarkan tergerai tersapu angin di pagi hari itu.
Senyum ramahnya menyapa satpam tampan bertubuh atletis yang dia temui ketika melewati pintu masuk restoran. Dibalas senyum tak kalah manis pria bernama Arga penjaga restoran mewah itu. “Pagi, Bu Anna,” sapa Arga. Anna melempar senyum ramah dengan sapaan Arga. Semenjak bekerja di restoran, penampilan Anna terlihat lebih muda. Meskipun dengan gaya dan pakaian yang sederhana dia tetap terlihat cantik. Dia juga tak pernah keberatan jika dirinya dipanggil ibu, meskipun dia belum memiliki seorang anak. Baginya panggilan itu seperti sebuah kehormatan dan selalu mengingatkan dirinya yang sudah tidak muda lagi. “Naura! Apa semua temanmu sudah hadir?” Tanya Anna mengecek para Waiters yang selalu datang terlambat. “Aurel belum datang, Bu,” jawab Naura yang tengah membersihkan meja tamu. Anna cukup tahu saja dengan jawaban Naura, sementara langkahnya langsung menuju dapur memastikan semuanya hadir, bahan makanan lengkap, semua peralatan memasak berfungsi dengan baik dan hal lainnya yang dia dengar dari penjelasan Faris sebagai kepala pelayan dan pengawas. Tapi, Anna tak sekedar mendengar, namun dia pun mengeceknya sendiri. “Apa semua bahan makanan untuk acara ulang tahun nanti sore sudah dipersiapkan?” “Sebagian, Bu, dan sebagian masih dalam pengiriman kemari.” “Pastikan sebelum pukul sebelas siang semuanya sudah lengkap. Jika ada keterlambatan sedikit saja maka akan merusak semuanya.” “Baik, Bu.” “Danu, apa kamu bekerja sendirian? Di mana Diana?” Melihat salah satu Chefnya bekerja sendiri Anna langsung mempertanyakannya. Tak ada hal kecil yang terlewat sedikit saja dari penglihatannya. Asisten Chef Danu belum terlihat hadir. “Sepertinya hari ini dia tidak masuk,” jawab Danu. “Dan kau tidak memberitahuku?” Danu terdiam. Belum sempat dia menjawab, pandangan Anna beralih pada Faris yang masih berdiri di belakangnya. Meski belum sempat ditanya, Fariz paham akan tatapan Anna. “Saya baru mau mengeceknya, Bu,” kata Fariz dengan sedikit menundukkan pandangannya tak berani menatap Sang manajer. “Segera, sekarang juga!” Tegas Anna. Selain ketegasan sikapnya, Anna bukan wanita yang suka menunda-nunda pekerjaan. Dia cekatan, teliti dan rapi. Namun, sisi ketegasannya tak pernah menunjukkan kemarahan maupun tutur kata yang kasar. Dia sangat disegani semua anak buahnya. Anna bergegas meninggalkan dapur dengan perasaan sedikit kecewa menuju ruangannya. Menghempaskan tubuh di kursi kerjanya. “Walaupun sudah bekerja bertahun-tahun, tetap saja mereka harus selalu diawasi. Lalu apa jadinya jika aku sudah tidak berada di sini. Mbak Mala bahkan sudah mempercayakan semua urusan restoran kepadaku.” Diikatnya rambut hitamnya seperti kuncir kuda. Mempermudah aktivitasnya. Lalu dia mulai sibuk dengan beberapa laporan dan laporan keuangan. Beberapa jam sekali Anna meninggalkan ruangannya kembali untuk mengecek pekerjaan anak buahnya, sekaligus untuk menghilangkan rasa kantuknya dengan membuat secangkir kopi. “Biar saya yang buatkan, Bu,,” kata Aditya, asisten Chef Bima dengan seulas senyum di wajahnya. “Tapi, kau sedang sibuk, aku bisa buat sendiri Ditya,” kata Anna. “Enggak kok, Bu, Lihat, Bima saja sedang duduk. Jam segini biasanya pengunjung agak berkurang,” jelasnya. “Ok.” Anna tak bisa menolak kebaikan anak buahnya, dia juga tidak bisa membuat mereka kecewa dengan menolak perhatian-perhatian kecil mereka. Anna memilih duduk di meja karyawan, di taman samping restoran. Di sana tempatnya nyaman untuk menyendiri. Hanya dua menit Aditya sudah datang membawakan secangkir kopi yang wanginya benar-benar mampu menghilangkan kantuk. Tak hanya kopi, Aditya juga membawakan camilan kue brownies yang legit. Anna tahu itu buatan Danu sementara kopi adalah buatan Aditya. Masing-masing Chef dan asistennya memiliki makanan favorit yang memiliki rasa khas. “Terima kasih.” “Sama-sama, Bu,” ucap Aditya dengan logat Jawanya. Biasanya saat sore hari Danu akan membuatkan Anna camilan lainnya, puding susu yang selalu berganti varian rasanya. Dan malam hari Bima membuatkannya spageti. Jarang membuat Anna pergi keluar untuk mencari makan siang atau makan malam karena di tempat kerjanya anak buahnya selalu membuatkannya makanan spesial. Ponsel Anna berdering. Dari Mala. Lewat video call itu Mala memperlihatkan dirinya yang tengah jalan-jalan bersama Wijaya di Paris. “Besok kami sudah akan pulang, Anna, bagaimana keadaan di restoran?” Tanya Mala. “Alhamdulillah lancar, Mbak.” “Syukurlah, kamu memang saudariku yang bisa diandalkan. Kalau nanti restoran sudah bertambah besar kami berniat untuk membuka cabang lainnya, dan kami ingin kamu yang mengurus salah satunya.” “Aamiin,,” Sahut Anna. “Oh ya, kamu mau oleh-oleh apa, biar Mbak bawakan?” Tanya Mala lagi. “Enggak usah repot-repot, Mbak, kalian kembali dengan sehat dan selamat saja itu sudah cukup buatku.” Ucapan merendah Anna. “Tidak bisa, aku pasti akan membawakan hadiah untukmu, untuk anak-anak juga, dan kau pasti akan menyukainya.” “Iya baiklah terima kasih, Mbak.” Anna menutup teleponnya. Melihat kemesraan Mala dan Wijaya terkadang Anna merasa iri. Dia merasa hidupnya tak seberuntung mereka berdua. Memiliki pendamping yang baik hati dan setia. Tapi, Anna selalu berusaha untuk bersyukur dengan keadaan dirinya yang kini berstatus janda. Sakit hati membuat Anna enggan untuk mencari pendamping hidup kembali. Terkadang dia juga berpikir siapa yang mau dengan dirinya yang seorang janda tak memiliki apa pun. “Maaf Bu, ada tamu yang ingin bertemu dengan Ibu. Dia bilang akan membicarakan sesuatu bisnis.” Fariz datang memberikan kabar itu. “Di mana?” “Di ruang tamu.” “Baiklah, aku ke sana sekarang.” Langkahnya dihentikan oleh Danu. “Habiskan dulu minuman dan makanannya, setelah ini Anda pasti tidak akan punya banyak waktu lagi untuk diri sendiri.” “Aku buru-buru, Danu, tamu itu pasti sudah menungguku.” “Biarkan saja, tak sampai lima menit untuk menghabiskannya.” Danu menyodorkan secangkir kopi dan camilan di tangan yang berbeda. Terpaksa Anna menghabiskannya sampai mulutnya belepotan. Kini Aditya yang datang memberikan tisu kepadanya. Melihat hal itu Viona selaku penyambut tamu dan asisten Anna di restoran datang menghampiri. “Sudah cukup, perhatian kalian, atau Manajer kita ini akan kehilangan klien barunya,” sela Viona. Dia lalu mengantarkan Anna pada tamunya, mengiringi langkah Anna hingga wanita itu tiba di ruang tamu. Keramahan dan pelayanan restoran membuat banyak orang tertarik untuk bekerja sama dan membuat acara di tempat itu. Apa lagi Anna terkenal dengan kecerdasan dan keramahannya yang menjadi nilai lebih untuk bisa menarik konsumen. Setiap tamu yang ingin mengadakan acara selalu berhasil dia dapatkan tanpa mengalami kegagalan. Sikapnya yang rendah hati pun membuat semua orang menyukainya. •• Sore hari kesibukan terlihat di restoran, sebuah acara ulang tahun. Dari persiapan dekorasi yang telah dimulai sejak pagi di halaman restoran dan persiapan acara dan makanan untuk para tamu. Anna memastikan semuanya berjalan baik dengan mengecek kembali satu persatu. Anna tak pernah meragukan masakan Chefnya. Namun, terkadang sesuatu yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Dia tidak mau mengecewakan customernya yang bisa saja memberikan nilai negatif tentang restoran. Acara pesta ulang tahun berlangsung hingga menjelang Magrib. Anna masih sibuk di ruangannya menunggu hingga pukul sembilan malam. Sementara semua karyawan tengah merapikan kembali ruangan usai acara pesta. “Makan malam sudah siap untuk, Ibu Manajer yang paling cantik.” Bima datang membawakan makan malam. Dia salah satu anak buahnya yang bermulut manis tanpa malu selalu memberikan pujian untuk Anna. Dan Anna selalu dibuat malu dengan pujian itu. “Dari mana kamu tahu kalau malam ini aku ingin mi rebus pedas spesial?” Tanya Anna penasaran sembari menghirup aroma makanan yang seketika membangunkan rasa laparnya. “Dari raut wajah, Bu Anna,” jawab Bima masih dengan senyum manisnya. Anna menoleh ke arah Bima berharap penjelasan maksud ucapannya. “Wajah lelah Ibu memberitahukanku apa yang harus aku buat untuk bisa membuat wajah Ibu kembali segar. Meskipun hanya sebuah mi. Tapi, aku yakin ekspresi ibu akan berubah setelah menikmatinya.” “Oh ya? Tapi, tanpa memakan mi ini pun sepertinya aku sudah merasa segar.” “Jangan, Bu, Ibu harus mencicipinya sampai habis.” “Mana ada mencicipi sampai habis.” “Coba saja.” Bima masih berdiri di tempat itu memperhatikan Anna menikmati mi rebus buatannya. Ada sesuatu yang membuat Bima suka saat manajernya itu makan dengan lahapnya. Bibir merah dan wajah merona karena pedas dan kepanasan sungguh sangat menarik. “Maaf, Bu, saya permisi dulu.” Bima mengalihkan pikirannya yang ngelantur ketika memperhatikan Anna dengan pamit keluar. Namun, langkahnya terhenti dengan kehadiran seseorang yang sudah berdiri di ambang pintu menatapnya tak suka. Eldwin menghampiri Anna yang masih duduk dengan santainya menikmati makan malam buatan Bima. Walaupun kehadiran Eldwin sudah membuat nafsu makannya menjadi hilang. Anna masih merasa sayang jika makanan yang dibuat anak buahnya dengan tulus itu sampai dibuang. “Mama begitu percaya denganmu. Tapi, kau berbuat sesuka hati di restorannya. Jika mereka sampai tahu sudah pasti dirimu akan dipecat,” kata Eldwin “Atas dasar apa mereka memecatku, Eldwin. Mereka lebih paham tentang kelakuanmu yang kekanak-kanakan dan tak pernah mau peduli dengan restoran ini.” “Apa karena kau lebih dewasa jadi menganggapku seperti anak-anak. Aku sudah dua puluh satu tahun Anna.” Eldwin berjalan dan berdiri di belakang Anna lalu memegang kedua bahu Anna dengan memberikan sedikit cengkeraman. Anna meringis menahan rasa tak nyaman di kedua bahunya. “Kedewasaan bukan dilihat dari usia. Tapi, cara berpikir dan bersikapnya, Eldwin. Dan tolong pergilah, jangan membuat masalah di sini. Tidak enak dilihat para karyawan.” “Kau berani mengusirku?” Eldwin berbicara sangat dekat di telinga Anna. “Kalau begitu sebelum aku pergi ajarkan bagaimana dewasa yang sebenarnya?” Anna tersentak mendengar perkataan Eldwin. “Apa maksudmu?” “Kau tahu maksudku.” Eldwin memutar kursi yang diduduki Anna hingga wanita itu menghadap ke arahnya. “Sekarang katakan apa yang harus aku lakukan supaya aku terlihat dewasa di matamu?” Tatapan mata Eldwin yang tajam membuat Anna panas dingin dan salah tingkah. Meskipun Eldwin masih sangat muda dilihat dari usianya. Tapi, tubuh tinggi dan atletisnya tak menunjukkan usianya. Dia tetap saja lebih besar dari Anna. “Kau tak perlu melakukan apa pun.” Didorongnya tubuh Eldwin menjauh. Anna beranjak bangun “Jika merasa dirimu sudah dewasa maka tunjukkan kepedulianmu dengan usaha orang tuamu ini. Jangan sukanya keluyuran dan hura-hura.” Eldwin kembali menarik lengan Anna mendekat kearahnya. Tatapannya tajam penuh amarah tak suka mendengar ucapan Anna. “Baru menjadi kepercayaan orang tuaku kau sudah berani berbicara seperti ini dan mengaturku. Memang siapa dirimu? Kau ini cuma bawahan jadi jangan ngelunjak.” Didorongnya tubuh Anna kembali ke kursi “Sekarang buatkan aku makanan! Aku lapar!” Perintah Eldwin. Anna merapikan pakaiannya dan berlalu tanpa mengatakan apa pun. “Aku ingin kau yang membawanya kemari, bukan pelayan atau kokimu itu,” ucapan Eldwin mengingatkan, menghentikan langkah Anna beberapa saat setelah itu menghilang dibalik pintu.Anna tak mencegah saat Anggar pergi. Andai saja dirinya bisa memutar waktu, dia tidak akan mengizinkan Eldwin berangkat hari itu."Astagfirullah," ucap Anna. Mendadak dia menyesal telah mengatakan hal yang tak bersyukur seperti itu."Kalian, pergilah! aku ingin sendiri," pinta Anna."Aku tidak bisa meninggalkan, Ibu dalam keadaan seperti ini, biar aku temani di sini?""Tidak perlu!" tukas Anna.Begitu mendengar nada tegas dari wanita itu, Viona dan Fariz tak berani membantah perintah Anna.Begitu Fariz dan Viona Meninggalkan ruangannya, Anna melirik pada ponsel dia atas meja, lalu pada jam di tangannya. Ia ingin sekali menghubungi Eldwin. Namun, keinginan itu saat ini hanya harapan kosong. Pesawat itu menghilang dan ditemukan sudah hancur.'Apa takdirku memang harus menjanda seumur hidup?' batin Anna. Air mata kembali berlinang membasahi wajahnya.Dia teringat kejadian tadi pagi sebelum Eldwin pergi. Saat dirinya begitu berat melepaskan keberangkatan Eldwin hari itu, dan fira
Di sepanjang perjalanan pulang, Anna terus saja senyum-senyum sendiri yang tak dimengerti Anggar. Pemuda itu melihat aneh sikap Anna usai kembali dari puskesmas. Seharusnya jika Anna sakit, dia tak sebahagia itu. Dia juga terus saja mengusap-usap perutnya. Mungkin lapar, itulah yang dipikirkan Anggar.”Cepat jalannya, Pak!” pinta Anggar pada sopir di sampingnya.”Siap, Mas,” jawab sopir.Mobil melaju lebih cepat. Tapi, bagi Anna yang tengah melamun, hanyut dalam pikirannya sendiri dia tidak merasakan itu.Anna sedang memikirkan dan membayangkan saat dirinya dan Eldwin duduk di taman dalam keadaan perut membesar. Eldwin mengusap perutnya dengan lembut dan tersenyum bahagia. Sesekali memberiku kecupan di sana.”Mbak, sudah sampai,” tegur Anggar seketika membuyarkan lamunan Anna.Anna beranjak turun dan keluar dari mobil dengan wajah merona. Meninggalkan Anggar yang masih menatapnya heran.Hari itu raut wajah Anna terlihat semringah. Tapi, juga tetap tegas dan galak saat be
Malam hari akhirnya mereka tiba di rumah. Keadaan di rumah sudah sepi, hanya Bi Rum yang masih terjaga menjaga pintu dan Anggar yang duduk di sofa menonton televisi."Kalian sudah pulang?" tanya Anggar. Menoleh sekilas pada Anna dan Eldwin saat mereka melewati ruang keluarga."Iya, Ngga. Aku langsung ke kamar ya? Dan kau Jangan tidur malam-malam!" Anna mengingatkan.Begitu Anna dan Eldwin sudah tak terlihat di anak tangga, Anggar langsung mematikan televisi dan pergi ke kamarnya.••Esok harinya Eldwin bersiap untuk berangkat. Dia menghampiri Anna yang tengah merapikan tempat tidur, lalu menyodorkan sebuah amplop coklat padanya."Ini tak seberapa, Anna. Tapi, ini gaji pertamaku untukmu. Setelah nanti berhasil mendapatkan lisensi, mungkin penghasilannya akan lebih besar," ucap Eldwin.Anna menghentikan aktivitasnya. Memandang pada amplop di tangan Eldwin, lalu beralih menatap pada pemuda itu yang memberikan isyarat padanya untuk menerimanya.Dengan ragu-ragu Anna m
Eldwin mengejarnya dan membopong tubuh Anna yang berontak masuk ke dalam rumah. Siangnya ketika matahari mulai meninggi mereka berenang. Airnya dingin. Tapi, menyegarkan. Sinar matahari cukup memberikan kehangatannya.Melihat Anna hanya berenang sebentar kemudian terlihat sudah beristirahat dan duduk di tepi air, Eldwin menghampirinya."Kenapa? Sudah lelah?" Tanya Eldwin."Benar, hari ini rasanya mudah lelah sekali, mungkin karena semalam kurang beristirahat." Anna menjawabnya dengan suara lirih, seakan sedang menahan sesuatu."Kalau begitu kita sudahi saja."Melihat wajah Anna yang pucat. Eldwin bergegas melompat naik ke daratan. Kemudian membopong tubuh Anna dan membawanya masuk ke dalam rumah.Anna menolak ketika Eldwin ingin membaringkan tubuhnya di sofa, sementara dia masih merasa tubuhnya lengket akibat air laut. Eldwin akhirnya membawanya ke kamar mandi. Mendudukkannya di bathub lalu menyiapkan air hangat untuknya."Aku akan mandi sendiri," kata Anna begitu Eldwin selesai meny
Eldwin menatap Anna yang tengah makan rujak buah dengan lahapnya. Meskipun sepertinya pedas dan asam. Tapi, seakan rasa itu yang membuatnya makan dengan begitu lahap. Eldwin sampai berulang kali menelan ludah setiap kali melihat Anna makan mangga dengan sambal.Setelah menghabiskan tiga buah mangga setengah matang itu dan satu bengkuang, kini Anna tengah menikmati sup ikan dengan daun kemangi yang masih kebul-kebul.“Pelan-pelan, Anna, tunggu sup itu dingin. Atau mau aku suapi?” Tanya Eldwin.Anna menggeleng pelan, kemudian melanjutkan makannya.Mereka duduk di halaman rumah, beralaskan tikar seperti permintaannya Anna juga. Joe dan Reza masih berada di sana, juga ikut memperhatikan saat Anna makan.Joe memegangi perutnya yang sudah keroncongan semenjak mereka kembali. Tapi, Eldwin masih belum mengizinkan mereka ikut makan. Menunggu Anna selesai dengan makannya. Joe sampai berulang kali menjilat bibirnya setiap kali melihat Anna makan. Melirik pada mangkok sup itu yang hanya ad
"Aku menyukaimu, Kak Arga. Aku sangat menyukaimu.”“Jangan Viona, kau masih terlalu kecil untukku.”“Kecil apanya, Kak?” Viona mendekatkan wajahnya. Memandangi Arga dengan begitu lekat, membuat Arga gugup tak karuan. Bibir gadis itu yang merah, hidungnya yang kecil mancung dan sepasang matanya yang agak sipit itu begitu jelas terlihat. Yang lebih membuat Arga tak kuat saat sesuatu yang lembut yang menekan dadanya, seakan Viona sengaja menggesekkannya menunjukkan sesuatu itu tidak kecil.“Ini maksudmu?” Tanya Viona.“Bukan,” Arga menggeleng pelan.“Kalau begitu pasti ini.” Tiba-tiba Viona memanyunkan bibirnya dan,“Usiamu yang kecil!!” Teriak Arga. Terbangun dari tidurnya.Semua pengunjung yang datang ke restoran terkejut melihat teriakan Arga yang ketiduran di kursi di dekat pintu masuk. Candra yang berdiri dia sebelahnya sampai tersentak kaget dengan teriakannya.Arga mengusap dadanya, mengatur nafasnya yang naik turun seperti mimpi dikejar hantu.“Jadi ini hanya mimpi,” ucapnya de







