“Aku akan mengantarmu,” ujar seseorang dari dalam mobil mewah itu. Kaca mobil yang gelap menyamarkan si pemilik suara. Tapi Helena mengenal suara siapa di balik jendela itu.
“Mau Anda apa?” tanya Helena dengan nada dingin.
Pria itu menurunkan kaca mobilnya, senyum terkembang dari balik kumis klimisnya. "Aku mau mengantarmu, Helena," ujar Hans dengan tatapan mesumnya.
"Aku tahu Anda tak mungkin melakukan apa pun untukku dengan sukarela," tolak Helena sambil berjalan kaki.
Dibohongi oleh Kate Windsor merupakan pelajar untuknya di siang ini, Helena tak ingin dibodohi lagi untuk kedua kalinya oleh keluarga Digory. Terlebih Hans adalah pria yang berani terang-terangan melakukan pelecehan padanya.
"Astaga, Helena! Kenapa kau berpikiran begitu buruk pada Paman? Bukankah kita keluarga?"
“Bukankah kita keluarga?” gumam Helena pelan sembari tertawa miris. 'Sejak kapan keluarga Digory selain Kakek Graham menganggapku keluarga?' Gadis itu mempercepat langkahnya sedangkan Hans masih mengikuti Helena dengan Bugattinya.
Mencoba tak menggubris Hans, Helena kembali mengecek ponsel sembari berjalan cepat, belum ada sinyal. Ia belum bisa menghubungi taxi online dari sini, walau ada sinyal pun, gadis itu yakin taxi online akan meminta bayaran berkali-kali lipat, sedangkan ia tak punya banyak uang di sakunya
"Paman benar-benar minta maaf telah berbuat seperti itu, Helena. Bisakah kau tak memperpanjang masalah tadi dengan tak melaporkannya pada Shane?" pinta Hans terdengar tulus.
Helena menghentikan langkahnya. 'Apa ia masih ketakutan karena aku adalah istri Shane?' tanya Helena dalam hati. ‘Apa aku bisa memanfaatkan hal ini? Setidaknya Paman Hans tak akan berbuat macam-macam karena aku adalah istri sah Shane. Haruskah aku menumpang dengannya?’
Helena ingin bertahan dengan egonya tapi jarum jam tangan di pergelangannya yang terus berdetak maju membuat gadis bermata sewarna hijau zamrud itu risau. Helena menolehkan pandangan ke arah mobil Hans yang sekarang berhenti tepat di sampingnya, seakan menimbang-nimbang tawaran Hans. Ia benar-benar harus segera ke rumah sakit, dan satu-satunya kendaraan yang tersisa di rumah duka ini adalah mobil milik Hans.
"Mana istri, Paman?" tanya Helena mulai melunak, ia tak punya pilihan lain, mobil Hans adalah pilihan satu-satunya.
Hans tersenyum, ia langsung turun dari kursi kemudi dan buru-buru membukakan pintu mobil pada Helena. "Ia bersama sepupunya yang lain. Hanya aku dan kau yang tertinggal di rumah duka ini, Helena. Kurasa kau tak punya pilihan lain, selain menumpang mobilku."
Wanita bersurai hitam panjang itu menelan salivanya, ia memasukan tangannya yang tergenggam ke dalam kantong sebelum menduduki kursi penumpang mobil rolls royce milik Hans.
Sepanjang perjalanan hanya Hans yang berbicara, sedangkan Helena cuma diam saja tak menanggapi ucapan paman dari Shane Digory itu. Perjalanan yang bagai berabad-abad menurut Helena hanya berlalu sejam saja di arloji murah yang melingkar di pergelangan tangan wanita berkulit putih itu.
'Kenapa kita belum sampai perbatasan kota? Bahkan pepohonan di pinggir jalan kian rimbun.'
Helena menoleh ke arah kursi pengemudi, tampak Hans masih bermonolog sendiri sambil sesekali mendendangkan lagu yang mengalun di dalam mobil.
"Paman mau membawaku ke mana?" tanya Helena akhirnya, memecah kebisuannya sepanjang perjalanan.
Hans tersenyum. "Ikuti saja Paman, Helena. Kau tampak tegang dan butuh berlibur. Tak perlu cepat-cepat pulang ke kota, lagipula Shane sepertinya tak menunggumu di rumah."
"Aku ingin ke kota sekarang juga, Paman!" Sontak Helena menjerit marah. Tangan wanita itu mengepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. Ia sedang tak punya waktu untuk berlama-lama, seseorang menunggunya di rumah sakit saat ini.
Hans menghentikan kendaraannya di tengah jalan yang sepi, hanya desir angin terdengar. Tatapan mesum pria itu sekarang mengarah tajam ke Helena. “Sepertinya keponakanku tak pernah menghangatkan ranjangmu? Biar paman yang menggantikan tugas itu untukmu, Helena,” ucap pria tua itu sambil memajukan tubuhnya mendekat ke arah gadis berambut panjang itu.
Helena kembali menampar pipi Hans, tapi kali ini pria tua berkumis tipis itu tak tinggal diam. Ia juga melayangkan tamparan ke pipi Helena, begitu keras, hingga dahi gadis itu menabrak kaca mobil. Helena langsung merasa pusing dan pandangannya kabur, ia bisa merasakan rasa besi mengalir dalam mulutnya, bibirnya sobek dan hidungnya berdarah.
“Wah, kau benar-benar sangat cantik. Aku heran kenapa keponakanku tak pernah menghabiskan malamnya bersamamu,” ujar Hans sambil menyibak rambut panjang Helena yang menutupi muka wanita berkulit cerah itu.
Jantung Helena berdenyut kencang, pandangannya semakin gelap, dan seolah ada palu gada yang memukul kepalanya bertalu-talu. Ia bahkan tak bisa menepis tangan Hans yang mulai menggerayangi pahanya. Pria tua mesum itu bahkan mendaratkan bibirnya di leher Helena dan mulai menyesapnya.
“Harum sekali untuk perempuan kelas rendah sepertimu,” ucap Hans setelah menjejakan bekas ungu di leher Helena.
Wanita itu menatap pria mesum yang baru saja melecehkannya dengan mata memerah, manik hijau zamrudnya di penuhi air mata. Helena merogoh sakunya dengan sisa tenaga yang ia miliki, mengambil sesuatu yang bisa menjadi senjata terakhir untuk melindungi diri.“ARGHHH!!!” erang Hans sambil menutup matanya. Pria itu bahkan menabrak langit-langit mobilnya sendiri. “Apa yang kau lakukan, Jalang!” makian Hans di sela-sela jerit kesakitannya.Helena baru saja menyemprotkan cairan desinfektan yang selalu ia bawa ke mata Hans. Seolah mendapatkan tenaga dari raungan kesakitan pria tua itu, Helena langsung menendang Hans hingga tersungkur di dekat kemudi mobil, selanjutnya dengan sigap gadis bertubuh kurus itu membuka pintu mobil dan segera berlari keluar.Helena berusaha berlari sejauh mungkin dari mobil bugatti yang baru saja ditumpanginya, sumpah serapah semakin frontal Hans lontarkan ketika tahu Helena pergi menjauhinya.“Kau akan mati di hutan, tak ada satupun yang melewati jalan ini, Pelacur!
“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar. Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang
Helena tak berani menatap balik pria yang sudah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya. Wanita itu bahkan tak perlu mengangkat manik matanya hanya untuk melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya. Tatapan yang dialamatkan kepadanya bahkan sebelum mereka membuat janji suci di altar pelaminan. Pandangan Helena sekarang hanya tertuju pada secarik kertas bertuliskan surat cerai di atas meja kayu jati yang tepat berada di depan Shane."Kenapa belum kau tandatangani juga? Kau ingin menunda dan mengatakan roh kakekku akan bangkit jika kau tandatangani surat cerai ini," sindir Shane sembari menggemeretakkan giginya kesal. Pria itu tak pernah menganggap Helena sebagai istri selama dua setengah tahun pernikahan mereka. Wanita di hadapannya itu tak lebih ia anggap sebagai benalu. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Cepat tandatangani! Dan kau bisa bersenang-senang dengan semua selingkuhanmu!" "Baiklah," jawab Helena dengan suara tegas, menyembunyikan jari jemarinya yang bergetar. 'Kakek Gra
Tawa meremehkan keluar dari bibir milik pria tampan bersurai abu gelap itu. “Cih, kau benar-benar seorang hyper ya?” sindir Shane sambil menggelengkan kepalanya. ‘Apa ia tak punya malu sama sekali. Ia sudah bercinta dengan entah berapa pria sepanjang hari hingga malam ini, kemudian sekarang ia ingin bercinta denganku? Kupikir selama ini ia tak mau karena selalu ku rendahkan, ternyata ia hanya menunggu waktu yang tepat.’’“Kalau kau tidak keberatan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini, Shane,” ujar Helena dengan ekspresi dingin, manik matanya menatap ke jendela besar dengan pemandangan malam tepat di belakang suaminya itu. ‘Aku tak ingin sendiri malam ini, walau untuk hal itu aku harus menukarkan milikku yang paling berharga.’Helena dengan himpitan ekonominya tentu sudah sering untuk ditawari hal-hal semacam ini, mulai dari lelang keperawanannya, hingga menjadi simpanan pejabat. ‘Aku tak ingin melakukannya dengan sembarang orang. Lagipula aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk s
Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman tanpa romantisme bagi sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas ranjang hingga pagi menjelang.Keesokan paginya Shane terbangun dengan keadaan segar bugar. Lelaki tampan dengan tubuh atletis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tak ada seorang pun di atas ranjang selain dirinya, begitupun di dalam kamar mewah itu. Shane sekarang hanya sendiri di kamar tidurnya.'Bodoh sekali, kenapa aku bisa terlelap begitu nyenyak setelah bercinta dengannya!' umpat Shane dalam hati. Kehangatan dan aroma tubuh Helena masih tersisa di ranjang Shane. 'Ia pasti sudah kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Untunglah ia tahu diri. Tapi rasanya tak seburuk yang kukira untuk seorang wanita murahan, malah semalam benar-benar menyenangkan, ia seperti–.'"Perawan?" ujar Shane begitu terkejut hingga menyuarakan apa yang ada dipikirannya, melihat sebuah noda darah di tempat bekas Helena berbaring kemarin. Segera ia menyibak selimut yang menutup tubuh
Shane melihat ke sekitar kamar Helena. Rapi dan bersih. 'Sejak kapan ia pergi? Dan kemana? Ia tak pernah pergi pagi-pagi sekali. Ia selalu pergi setelah aku pergi.'Shane berkeliling mengamati kamar istrinya itu. Kamar itu sangat luas tapi dibanding kamar lain di kediaman milik Shane Digory, kamar yang ditempati Helena adalah yang terkecil. Kamar itu bernuansa putih cream dengan sebuah ranjang double bed yang tepat berada di tengah ruangan. Sebuah jendela besar dengan bingkai tebal seakan sofa, yang biasa Helena gunakan untuk duduk dan membaca di kamarnya. Jendela itu menghadap halaman luar. Sesekali Shane pernah melihat siluet istrinya yang duduk di sana saat ia terpaksa harus kembali ke rumah ini.Kamar itu hanya memiliki tiga tone warna saja, putih, cream dan broken white tanpa ada motif baik di sprei maupun gorden. Begitupun tanaman, tak ada bunga-bungaan dalam vas keramik ataupun sekedar lukisan di dinding bergambar pemandangan di kamar itu. Kamar itu benar-benar terlihat polos,
"Mau apa kau ke sini?" tanya pria dengan tatapan tajam dari manik coklat hazelnutnya. Walau bertanya seperti itu, Shane tahu benar siapa tamu yang baru saja memencet bel rumahnya itu. Di teras depan berdiri pria tua yang berusia dua kali umur Shane. Pria itu memiliki rambut putih panjang yang kusut dengan baju bermotif bunga dan coat bermotif garis horizontal. Belum cukup mengganggu mata dengan pakaiannya yang penuh dengan warna dan motif tak sesuai pakem fashion normal, pria tua itu juga memakai bawahan bermotif bunga-bunga berwarna cerah. Namun, Shane terlihat kesal dan menahan amarah kepada pria tua itu bukan karena penampilannya. Sama sekali bukan, tapi karena Shane tahu pria itu adalah salah satu dari sekian banyak pria simpanan lain milik Helena. Sebuah foto dikirimkan oleh Athena Ariana ke ponsel Shane beberapa waktu lalu yang memuat foto Helena sedang dirangkul oleh pria tua berambut putih itu. [Lihat apa yang dilakukan istrimu? Dia jelas sekali seorang hypersex. Pria itu
Tawa melengking Kimberly Ryder berbalut dengan suara lagu-lagu bernada cepat menunda jawaban dari pertanyaan Helena."Kau benar-benar akan menjual dirimu, wanita 'suci'?" ejek Kimberly Rider sambil menekankan kata 'suci' dan membentuk gestur tangan mengutip saat mengatakan kata itu.Helena kembali mengangguk, tapi kali ini ia membalas tatapan Kimberly Rider dengan penuh tekad. Helena tak punya jalan keluar lain."Ah kau betul-betul serius." Wanita berambut ungu terang itu menepuk kedua tangannya sebelum melanjutkan kalimatnya, tampak sangat antusias. "Kebetulan aku ada pekerjaan untukmu, dan aku merasa pekerjaan ini sangat cocok untukmu. Kau hanya perlu melakukan ini sekali saja, dan selanjutnya tak perlu menjajakan diri lagi. Selamanya kau akan dibayar sampai misi ini selesai, dan jika menurutmu bayarnya kurang, kau bisa meminta sesuka hatimu.” Helena mendelikan mata. "Jika bayarannya begitu menakjubkan, kenapa tidak kau ambil pekerjaan ini?"Kimberly tersenyum tipis. "Dari dulu kau