Sebuah panggilan video berdering diponsel Kasandra. Kasandra segera menyeka air matanya begitu melihat siapa yang menelponnya.
“Oooh, Devano..!!” Gumammnya sambil berusaha merapikan rambutnya yang nampak acak-acakkan.
“Hallo..!!” Jawab Kasandra
“Hai Sayang..!! istriku tercinta..!” Sahut Devano dengan nada riang. Kasandra berusaha tersenyum agar Devano tidak curiga padanya.
“Hai mengapa matamu bengkak sayang ?”
“Kamu sedang menangis..?” Devano bertanya bertubi-tubi begitu melihat wajah murung istrinya.
“Aaah.. enggak sayaang ! Aku tidak menangis..” Sanggah Kasandra mencoba terus berbohong.
Ia memaksakan sebuah senyuman untuk Devano suaminya.
“Pasti kamu kangen sama aku.”
“Aku bersalah karena harus meninggalkanmu.” Ujar Devano nampak memaki dirinya.
“Tidak Dev. Jangan berpikiran begitu.”
“Aku tidak apa-apa kok.” Jawab Kasandra berusaha nampak riang.
“Aku cuma merasa agak capek.” Tambahnya berusaha meyakinkan Devano.
“Okelah. Kalau kamu capek sekarang istirahat !”
“Tidur yang nyenyak !” perintah Devano dari seberang sana.
“Selamat tidur sayang...!! mmuaaach..!!!” Devano menutup pembicaraan dengan istrinya.
Setelah berbicara lewat sambungan video call dengan Kasandra Devano nampak merenung. Ia khawatir memikirkan keadaan Kasandra yang nampak sedih dan murung.
“Kasandra pasti sedih karena aku tinggalkan.” Bisik hatinya sendiri.
“Oooh, maafkan aku sayang.” Gumam Devano menyesali diri.
Tiba-tiba Devano teringat pada Dendi. Ia lalu lalu menghubungi sahabatnya itu.
“Hallo Dev..!!” Jawab Dendi dengan suara parau.
“Kamu dimana Den..? Kamu dirumah kan..?” Devano menghujani Dendi dengan pertanyaan.
“Iyaa, aku dikamar.” Jawab Dendi.
“Den, barusan aku menelpon istriku. Ia nampak sangat sedih.”
“Aku minta tolong padamu untuk sedikit menghibur istriku. “
“Yaah sekedar ngobrol atau keluar makan malam ! “ Devano bicara panjang lebar.
“Mungkin dia merasa suntuk karena aku tinggalkan.” Sambung Devano.
“Baik Dev...!” Jawab Dendi dengan perasaan kacau balau.
“Terima kasih Den !” Ujar Devano diseberang sana.
“Sama-sama Dev” Jawab Dendi menutup pembicaraan.
Setelah menelpon Dendi, Devano nampak termenung.
“Sepertinya Dendi juga lagi sedih.”
“Suara terdengar parau.”
“Kasandra dan Dendi sama-sama sedih ?”
“Ada apa yaa..?” hatinya mulai bertanya-tanya.
“Haaa...!, Pasti Dendi sedih karena jauh dari istrinya. Sedangkan Kasandra sedih karena aku tidak ada disisinya.” Devano menjawab sendiri pertanyaan hatinya. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
======
“Hai pengantin baru..!” Sebuah suara terdengar riang menegur Devano.
“Eee.. kamu Silvaa..!” Teriak Devano girang begitu melihat siapa yang menegurnya.
“Kok kamu ada disini..?” Tanya Devano sambil mengernyikan dahinya menatap wanita yang sebaya dengannya itu.
“Aku buka praktek disini..” Sahut Silva tersenyum.
“Oh iya, aku lupa kamu adalah seorang dokter.” Jawab Devano tertawa kecil.
“Maaf aku tidak datang kepestamu. Aku sibuk mengurus kepindahanku kekota ini.” Sambung Silva.
“Suamimu ikut pindah..?” Tanya Devano.
“Ya iyalah... masa aku harus merana disini.” Ujar Silva tertawa riang.
“Hahhahaa..” Keduanya tertawa renyah.
“Ayo kita ngobrol-ngobrol dulu.” Ajak Devano sambil mengajak temannya itu menuju sebuah restauran yang ada didekat mereka mengobrol.
“Iya, kebetulan aku memang mau makan siang kesini.” Sahut Silva.
“Kamu semakin hebat Dev. Usahamu semakin maju.” Silva memuji Devano setelah mereka duduk menghadap sebuah meja makan.
“Aaah biasa aja. Kamu yang hebat Sil.. Udah jadi dokter terkenal sekarang.”Devano balik memuji Silva.
Mereka nampak akrab dan bahagia.
“Oh ya, apa kabar Tante Mirna Dev ? Udah lama aku tidak bertemu beliau.”
“Mami sehat..”
“Cuma makin cerewet hahahhaa..” Devano tertawa lepas menceritakan tentang ibunya.
“Haaahhaa.. biasalah orang tua memang selalu begitu.” Sahut Silva juga tertawa geli.
“Oh, ya. Kamu mau makan apa..?”
“Disini sop buntutnya paling enak lho..” Tanya Silva menanyakan selera Devano.
“Oke.. boleh juga itu Bu Dokter..” Jawab Devano sambil menggoda sahabat masa kecilnya itu.
“Hahahaa..” Mereka serempak tertawa.
“Berapa lama kamu disini Dev..?”
“Jangan lama-lama, nanti lambat punya anak.” Ujar Silva gantian menggoda Devano.
“Sekitar 3 hari Sil.” Jawab Devano.
“Kamu tau nggak Sil.”
“Belum sebulan menikah Mami sudah uring-uringan nuntut momong cucu hahhaa..” Celoteh Devano sambil tertawa geli mengingat tuntutan ibunya.
“Wajarlah Dev. Kamu kan anak satu-satunya.”
“Tapi ngomong-ngomong kalian berdua sehat kan..?” Silva bertanya sambil menatap Devano.
“Ya sehatlah.. masa orang sakit bisa kawin hahhaa..” Devano menjawab dengan mimik lucu.
“Maksudku...”
“Maksudmu aku mandul gitu..? hahaha” Devano kembali ngakak.
Silvapun ikut tertawa melihat gaya kocak Devano.
====
Dendi sudah bersiap akan meninggalkan kantor. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.20 wib. Sudah agak lama ia menunggu dihalaman parkir tapi Kasandra belum datang juga. Dendi mengambil inisiatif untuk menyusul Kasandra keruangannya karena ia tidak membalas chat yang dikirim Dendi.
“Kamu harus tau diri. Siapa kamu.. dari mana kamu berasal.. ingat ituu..!!” sayup-sayup Dendi mendengar suara seorang wanita dari ruang kerja Kasandra.
Dendi mencoba merapatkan kupingnya kedaun pintu.
“Siapa yang berkata begitu kasar pada Kasandra.” Kata hati Dendi bertanya-tanya.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang wanita setengah baya keluar dengan gaya yang angkuh dan sombong. Tubuh wanita itu hampir saja menabrak tubuh Dendi.
“Oooh Tante Mirna..” Seru Dendi buru-buru menyapa wanita itu.
“Kamu Dendi. mau apa kesini..?” Jawab Mirna dengan pandangan mata menyelidik.
“Saya mau menemui Kasandra Tante.” Jawab Dendi sambil mengangguk hormat.
Ia sudah hafal sifat Tante Mirna. Ibunda Devano itu memang terkenal sombong dan angkuh sejak dulunya. Hal itu membuat Dendi merasa sungkan untuk bertandang kerumah Devano.
Mereka memilih bersahabat diluar saja.
“Oooh..” Jawab Mirna pendek lalu berjalan meninggalkan Dendi.
Setelah Mirna berlalu perlahan Dendi memasuki ruangan kerja Kasandra. Ia melihat wanita yang ia cintai itu berusaha menyeka air mata. Hati dendi begitu trenyuh melihat kesedihan dimata Kasandra.
“Ayo pulang !” Seru Dendi lirih setelah beberapa saat mematung.
“Iya..!” Sahut Kasandra pelan dan segera mengambil tasnya lalu mulai melangkah keluar ruangan. Dendi mengikuti dari belakang. Hatinya merasa sedih tidak karuan.
“Saan..!” Ujar Dendi setelah sangat lama mereka berdiam diatas mobil yang dikemudikan Dendi. Kasandra menoleh pada Dendi yang menyetir disebelahnya.
“Aku mengerti apa yang kamu rasakan.” sambung Dendi lirih.
Kasandra menganggukkan kepalanya lalu menunduk.
“Terkadang aku sudah tidak tahan.” Jawab Kasandra nampak sangat sedih.
Dendi menghela nafas panjang. Ia sangat kasihan pada Kasandra. Hatinya juga ikut terluka melihat wanita yang ia cintai itu dihina sedemikian rupa.
“Sabar ya San..” kata Dendi yang lebih mirip seperti rintihan.
Kasandra menganggukkan kepalanya perlahan. Lalu ia membuang pandangan matanya jauh keluar kaca jendela mobil. Berharap ia mampu membuang sedikitnya sebagian luka hatinya.
Tak lama mereka sudah sampai dirumah.
Dendi membukakan pintu dan Kasandra segera melangkahkan kakinya memasuki rumah.
Ia langsung masuk kekamar dan Dendi juga langsung menuju kamarnya dilantai dua rumah itu.
======
Pukul sepuluh lewat hampir mendekati pukul sebelas malam itu. Dendi merasakan perutnya mulai bernyanyi. Ia tak sadar bahwa ia sudah ketiduran sejak pulang dari kantor sore tadi. Dendi bergegas menuju ruang makan. Diperiksanya lemari makanan nampak kosong melompong menandakan Kasandra tidak menyentuh dapur sejak pulang dari kantor tadi. Dendi yakin Kasandra pasti tengah bersedih hingga tidak berselera makan. Dendi mencari mie instan disebuah lemari tempat menyimpan bahan makanan.
Dendi lalu memasak dua porsi makanan. Setelah matang Dendi meletakkan dua mangkok mi instan panas dimeja makan. Ia lalu berjalan menuju kamar Kasandra yang nampak tertutup.
“Saan...!!” Panggilnya sambil mengetuk pintu kamar.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar itu. Dendi kembali mengulang dan mengulang lebih keras lagi. Namun tetap tiada jawaban dari dalam kamar itu. Dendi merasa mulai khawatir dan segera membuka pintu kamar itu.
Disana ia lihat Kasandra tengah tertidur. Dendi mendekati dan memperhatikan Kasandra yang nampak gelisah dalam tidurnya.Kelopak matanya seperti bengkak menandakan ia menangiis cukup lama.
“Saan...!” Dendi memanggil Kasandra perlahan.
Ia sedikit menarik tangan Kasandra hingga wanita itu terbangun.
“Ayo makan..!”
“Aku tahu dari tadi kamu pasti belum makan.”
“Aku sudah memasak mi untuk kita berdua.” Ujar Dendi lembut.
“Aku tidak lapar Den.” Sahut Kasandra nampak masih sedih.
“Ayolah.. nanti kamu sakit.” Bujuk Dendi.
Kasandra tetap tidak mau makan. Hinaan ibu mertuanya telah membuat selera makannya terbang entah kemana.
Dendi menghela nafas panjang lalu keluar dari kamar itu. Dan tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah nampan yang berisi sebuah mangkok mi dan segelas air putih.
Ia meletakkan nampan itu diatas meja rias. Dendi mendekati Kasandra lalu sedikit mengangkat tubuh Kasandra keposisi duduk. Kemudian ia sandarkan tubuh Kasandra kedinding setelah terlebih dahulu meletakkan sebuah bantal disitu.
“Badanmu panas sekali San.” Seru Dendi sambil meraba kening Kasandra.
Kasandra hanya diam dan membiarkan saja perlakuan Dendi. Ia tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Dendi lalu mengambil mangkok mie diatas nampan dan duduk didepan ranjang Kasandra, lalu perlahan menyuapi wanita itu dengan penuh kasih.
“Makan dulu..!” Ujarnya sedikit memaksa Kasandra membuka mulut.
Kasandra membuka mulut dan mematuhi semua instruksi yang diberikan Dendi. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia teringat ketika masih memadu kasih dengan Dendi. Dendi sering kali menyuapinya makan dan minum.
Dendi terus saja menyuapi Kasandra dengan penuh kasih sayang. Perutnya yang lapar tidak ia pedulikan. Setelah menyuapi Kasandra Dendi lalu menidurkan kembali tubuh wanita itu dipembaringannya.
Dendi segera keluar kamar dan menutup kembali pintu kamar itu.
Upacara pemakaman Kasandra cukup menguras air mata. Dendi dan Devano turut serta menyambut jenazah Kasandra dan membaringkannya di liang lahat. Ucapan doa tak putusnya mereka penjatkan kepada Tuhan yang maha esa agar Kasandra mendapat ampunan atas segala kesalahan yang telah ia perbuat selama hidup di dunia.Setelah tanah di timbun, mereka duduk mengitari gundukan tanah yang masih basah. Devano mengusap papan nisan Kasandra dengan hati nelangsa.“Selamat jalan istriku, semoga arwahmu tenang di sana.” ucap Devano lirih.Sebelum meninggalkan pusara Kasandra mereka semua memanjatkan doa bersama yang di pimpin oleh Rio.*Tiga bulan berikutnya Devano menikah dengan dengan Dr. Silva yang pesta pernikahannya di samakan dengan Andini dan Rio. Mereka hanya menggelar pesta sederhana namun cukup hikmat dan penuh bahagia.Devano dan Dr. Silva menempati sebuah kamar di rumah Mirna. Hal itu adalah permintaan Mirna dan Sofina agar mereka bisa mengasuh Dea
Satu jam kemudian Dr. Silva dan Andini sudah sampai di halaman rumah sakit. Hari sudah mulai gelap lampu halaman rumah sakit di nyalakan dengan sinar temaram.Dengan bergegas mereka memasuki gedung rumah sakit dan setengah berlari menuju ruangan Kasandra.Di sana sudah terlihat Devano, Dendi dan Rio serta Dr. Veno mengelilingi tempat tidur Kasandra. Kasandra berbicara terbata-bata dan ia kini sedang memegang tangan Devano. Suaranya lirih kadang tidak jelas terdengar.“Ada apa Ven?” tanya Dr. Silva kepada Veno yang berdiri di bagian kepala Kasandra.“Terminal lucidity !” ujar Dr. Veno tapi lirih berbisik ke telinga Dr. Silva.“Haaah..??” Dr. Silva berteriak tertahan lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya.Sebagai Dokter tentu ia tahu istilah terminal lucidity yang barusan di sebutkan oleh teman sejawatnya itu.Terminal lucidity adalah istilah bagi pasien yang tiba-tiba sehat tapi akan meninggal dalam
“Oh Andini ingin bertemu? Ada apa ya?” Dr. Silva baru memeriksa ponselnya setelah keluar dari ruangan Kasandra, dan melihat Andini mengirim pesan untuk bertemu dengannya.Andini juga mengirimkan lokasi yang nampaknya di pantai tempat ia dan Kasandra pernah bertemu sebelum ia berangkat ke Amerika.(Otw)Send...Dr. Silva segera membalas pesan Andini mengatakan bahwa dirinya sedang menuju ke tempat Andini menunggu. Ia lalu berpamitan kepada Dr. Veno dan langsung dengan mobilnya menuju lokasi yang di kirimkan Andini.Jalanan yang cukup macet menjelang sore itu membuat perjalanan sedikit terhalang.Sementara itu Andini masih menunggu kedatangan Dr. Silva di tepi pantai. Ia menikmati suasana sore yang cukup cerah di pantai yang tidak terlalu ramai itu.Hanya beberapa orang saja nampak bermain di bibir pantai sekedar berkejaran dengan ombak. Kebanyakan dari mereka adalah pasangan muda mudi yang mungkin tengah mengukir janji.Hampir
"Aku tidak tahu harus berdiri di mana dan berpihak kepada siapa.” ucap Andini lirih sambil menyeruput orange jus di depannya. Kemelut nampak bergayut di matanya yang menerawang memandang arah tak tentu.Rio yang duduk berhadapan dengannya yang hanya di pisahkan oleh sebuah meja, terlihat mengangkat bahunya. Lelaki itu masih membolak-balik album menu makanan yang ingin ia pesan untuk hidangan siang itu.Tak lama kemudian Rio menemukan menu yang sesuai dengan seleranya lalu memanggil pelayan dan memesannya. Andini yang sudah terlebih dahulu memesan makanan untuknya, kini sibuk mengaduk-aduk orange jus. Pikirannya menerawang memikirkan Devano dan Dr. Silva. Andini merasa, mereka berdua sudah menjadi bagian dari dirinya. Kalau salah satu dari mereka bersedih, Andini pun akan merasa kehilangan kegembiraannya.“Aku juga tak habis pikir kenapa Silva berpaling secepat itu dari Dev. Kabarnya Silva akan menikah dengan Dokter Veno.” sambung Andini dengan nada p
Siang itu Dr. Veno memanggil keluarga terdekat dari Kasandra yang merupakan pasiennya. Mereka di kumpulkan di ruang kerjanya guna untuk membicarakan langkah-langkah yang memungkinkan untuk merangsang kesadaran Kasandra yang hampir dua minggu mengalami koma.Di dalam ruangan itu sudah duduk Devano sebagai suami pasien dan Dendi yang menggendong Dean. Tak lama kemudian Dr. Silva masuk dan langsung di persilahkan oleh Dr. Veno untuk duduk di sebelahnya. Dr. Silva segera menduduki kursi yang telah di sediakan Dr. Veno untuknya, tanpa menoleh apalagi menyapa Devano yang telah lebih dahulu berada disana.“Baiklah, saya akan menjabarkan kondisi terkini dari pasien yang bernama Nyonya Kasandra.” ucap Dr. Veno memulai pembicaraan.“Secara medis, kami dari pihak rumah sakit telah melakukan serangkaian usaha penyembuhan dan pemulihan kesadaran dari pasien kami, Nyonya Kasandra.”“Tapi perlu saudara-saudara ketahui bahwa, pengobatan medis tidak
Tok tok tok...Pintu ruang kerja Devano diketuk.“Masuk!” teriak Devano dari dalam tanpa mengangkat wajahnya. Pagi itu ia cukup sibuk dengan pekerjaannya yang sudah beberapa hari ia tinggalkan.“Dev!”Sapaan yang barusan menerpa pendengarannya membuat Devano segera memalingkan wajah dari layar laptop yang ada di mejanya ke sumber suara barusan.“Silva...!!” teriak Devano hampir tak percaya. Wajahnya langsung sumringah.Seminggu yang lalu Dr. Silva sudah berangkat ke Amerika untuk mengikuti study program terbaru bayi tabung. Sejak kepergian Dr. Silva, mereka putus kontak karena Dr. Silva telah mengganti semua saluran informasi kepadanya. Kepada Sofina Mama-nya, Dr. Silva juga berpesan agar tidak memberi tahu Devano nomor kontaknya di Amerika.“Kamu sudah pulang, Sil?” ucap Devano dengan mata berbinar.“Iya Dev. Aku mendengar berita tentang tragedi yang menimpa Kasandra dan putranya Dean. Aku memutuskan pulang untuk menjenguk mereka.” jawab Dr. Silva.Sejena