Share

Mami Amoy

Aku terpaksa mandi  lagi. Untung Om Bram tidak melihatku saat mandi karena dia langsung masuk kamar tidur. Setelah mandi aku memakai baju transparan warna pink yang tidak berbau parfum dari Mami Amoy.

 Ah, aku baru sadar. Mungkinkah aku bekerja sebagai wanita panggilan seperti judul sinetron dalam televisi yang sering kulihat? Mengapa aku tidak menyadarinya dari kemarin? 

Uang lima belas juta itu benar-benar menumpulkan pikiran dan perasaanku. Berarti sebentar lagi aku harus melayani Om Bram selayaknya suami istri? Astagfirullah! Kenapa aku baru sadar setelah berada di kamarnya Om Bram?

Jantungku terasa berdebar-debar tak beraturan. Om Bram keluar dan menarik tanganku ke dalam kamarnya. Kamar itu cukup luas dengan tempat tidur yang besar. Om Bram hanya mengenakan celana pendek.

Dia langsung ingin menciumiku. Aku menolak karena belum pernah aku disentuh oleh laki-laki mana pun.

“Jangan menolak, ato aku akan melakukannya dengan kasar!” ancam Om Bram.

 Mendengar ancamannya, kakiku terasa bergetar dan lunglai.  Sedetik kemudian Om Bram telah mendekapku erat. Aku hampir tak bisa bernapas. Lalu dia melancarkan aksinya.

Aku tak kuasa menahan hasratnya yang telah memuncak. Aku pasrah. Di atas pembaringan itu, kulepas keperawananku bersama Om Bram.

Usai melakukannya air mataku deras mengalir tak bisa dibendung.

Sebodoh inikah aku mau melepaskan keperawananku pada orang asing yang belum kukenal sebelumnya? Namun mengapa Loli tidak mengingatkanku? Aku benar-benar menyesal. Apakah Loli sengaja menjerumuskanku?

Om Bram langsung masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Dia membersihkan diri. Segera kupakai pakaian kerjaku. Aku ingin segera meninggalkan kamar ini secepat-cepatnya. Setengah berlari, aku keluar dari kamar Om Bram meskipun bagian sensitifku terasa perih. Inilah kesempatanku meninggalkannya saat dia masih di kamar mandi.

Aku masuk lift sambil menghapus air mataku. Aku tak mau kelihatan menangis di depan pengawal Mami Amoy yang dingin dan ketus itu. Begitu sampai di lantai dasar, aku melihatnya  sedang asyik merokok. Dia mematikan rokoknya saat aku mendekati mobilnya.

Dalam perjalanan pulang aku hanya diam membisu. Lelaki pengawal Mami Amoy itu juga tak sedikit pun mengeluarkan perintah seperti tadi. Setengah jam berlalu. Aku telah sampai di rumah Mami Amoy. Lelaki itu mengembalikan ponselku.

Kulihat Mami Amoy telah menungguku dan berkacak pinggang. Ada dua pengawalnya berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Begitu aku sampai di depannya dia langsung menamparku.

Plaaak!

Pipiku terasa panas dan berdenyut hebat. Aku salah apa? Kutatap Mami Amoy dengan tatapan menantang.

“Tau salah Kamu apa? Jangan sekali-kali meninggalkan pelanggan tanpa seizinnya!” teriak Mami Amoy nyaring.

“Aku yang salah melamar pekerjaan kepadamu Mi. Mulai sekarang aku berhenti bekerja,” ucapku tak kalah keras.

Tiba-tiba salah satu pengawal Mami Amoy  menendang punggungku hingga aku jatuh terjerembab.

Mami Amoy tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan gigi emasnya.

“Tidak semudah itu Ras! Kamu telah menandatangani kontrak kerja selama tiga tahun denganku.”

“Apa? Tiga tahun?” Napasku memburu dan badanku terasa bergetar. Aku menangis dan bersimpuh karena sudah tidak bertenaga lagi.

Tiga tahun harus kulalui untuk memuaskan lelaki hidung belang seperti Om Bram?

Tanpa kuduga, Mami Amoy melempar uang berwarna merah. Uang itu berhamburan di sekitarku.

“Kamu beruntung mendapat pelanggan seperti Om Bram. Dia tidak marah dan memaklumi sikapmu karena Kamu baru pertama melakukannya dan belum sempat ditraining dulu. Itu uang tips dari Om Bram. Seminggu lagi dia ingin memakai jasamu lagi. Awas jangan ceroboh lagi!”

Mami Amoy meninggalkanku yang sedang menangis tersedu-sedu. Aku berjalan lunglai menuju kamarku. Uang ratusan ribu itu kubiarkan berhamburan di lantai.

*****

Sesampainya di kamar aku ingin mandi keramas agar tenang perasaanku. Aku keluar ke kamar mandi. Beberapa perempuan penghuni kamar yang kulewati memperhatikanku.

Aku menutup pintu rapat-rapat setelah berganti pakaian. Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku mendekati pintu untuk memastikan siapa yang mengetuk pintu.

“Mbak Laras, buka pintunya! Ini aku Bik Ijah.” Mendengar Bik Ijah yang mengetuk pintu, refleks aku membukakan pintu karena pasti dia membawakan sarapan pagiku.

Bik Ijah membawakan nasi goreng suwir ayam dan jus mangga. Ada buah jeruk dan obat vitamin yang harus kuminum. Aku segera menerima nampan itu ke dalam kamar. Nasi gorengnya masih panas berarti Bik Ijah baru saja membuatnya. Selesai makan, pintu diketuk lagi oleh Bik Ijah. Dia mengambil piring dan gelas kotor.

“Ini tips uang dari Om Bram, diterima ya Mbak?” pintanya.

“Buat Bik Ijah aja. Saya nggak mau nerima uang itu,” jawabku.

Bik Ijah masuk kamarku dan meletakkan uang itu di atas meja rias.

“Maafkan Loli ya, Mbak Laras! Dia terpaksa mengajakmu kerja di tempat ini. Loli itu masih saudara jauh Bik Ijah. Dulu Bik Ijah juga sama sepertimu. Kaget dan merasa dibohongi dengan pekerjaan yang dijalankan Mami Amoy,” ucap Bik Ijah.

“Mengapa dia tega melakukannya kepadaku Bik?”

“Dia juga dipaksa oleh Mami Amoy untuk mencari gadis sepertimu. Kebetulan waktu pulang ke desa ketemu Kamu. Katanya, Kamu lagi butuh uang banyak dan pengin kerja seperti dirinya.”

“Tapi aku tidak menyangka harus bekerja  untuk memuaskan syahwat lelaki hidung belang Bik.”

“Kita hanya bisa berdoa, agar ujian ini cepat berlalu, Mbak. Jangan coba-coba melarikan diri karena pengawal Mami Amoy semuanya preman dan kejam! Bisa-bisa Kamu digilir oleh semua pengawal yang kejam dan bengis itu sebelum dihukum cambuk oleh Mami Amoy.”

Aku memeluk Bik Ijah dan menangis di dadanya. Kurasakan kehadirannya seperti ibu yang telah meninggalkanku sepuluh tahun yang lalu. Matanya teduh dan begitu tabah. Tidak seperti diriku yang rapuh dengan ujian yang Allah berikan padaku ini.

Tak pernah kubayangkan hidupku akan seperti ini. Terkadang aku ingin berontak. Apa dosa yang pernah kulakukan hingga terjerumus ke dalam pekerjaan hina ini? Padahal aku hanya ingin mencari uang yang halal untuk mengobati sakit bapak yang tidak kunjung sembuh.

Aku teringat dengan perkataan guru agamaku di SMK dulu. Setiap ujian yang ditimpakan kepada hamba-Nya pasti ada hikmahnya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Aku tertegun. Lalu hikmah apa yang bisa kuambil di tempat yang hina seperti ini?

Kuputuskan untuk berdamai dengan keadaan. Bukanlah menolak yang tidak bisa dirubah hanya akan menyakiti diri sendiri? Aku duduk di depan cermin rias. Kuhitung uang tips dari Om Bram. Ada dua juta lima ratus. Aku ingin segera memiliki ponsel baru karena ponselku sudah jadul dan baterainya sering nge-droup jika digunakan untuk melakukan panggilan.

Aku hendak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu karena waktu telah masuk sholat dhuhur. Tak kusangka aku berpapasan dengan Loli setelah keluar dari kamar mandi.

“Maafkan Aku ya Ras? Mungkin Kamu sekarang membenciku karena menyeretmu ke tempat maksiat ini,” ucap Loli dengan mata berair.

“Saya  udah memaafkanmu. Semua ini juga bukan salahmu semata. Saya juga salah tidak teliti mengambil tindakan. Beginilah akibat yang harus aku tanggung,” kataku datar.

“Bener kamu telah memaafkanku Ras? Sebenarnya aku ingin menerangkan apa itu open B0, tapi Mami Amoy melarangku dengan isyarat. Jadi, aku membiarkan Kamu memilih pekerjaan itu. Makasih ya telah memaafkanku?”

Loli mendekapku erat.

Kelihatannya dia melakukannya juga terpaksa. Dari sorot matanya aku melihat ada penyesalan dan kesedihan yang mendalam. 

Aku akan memanfaatkan Loli agar bisa menghindari kofliks dengan Mami Amoy dan para karyawannya. Aku juga akan mempelajari situasi kerja di rumah Mami Amoy ini.

Aku tidak boleh pasrah dengan keadaan. Pasti ada jalan keluar dari sini. Entah itu bagaimana caranya. Aku harus tetap optimis dengan masa depanku sendiri.

*****

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status