INICIAR SESIÓNWaktu terus berjalan, kabar tentang Tania yang meninggalkan kota juga sudah sampai di telingaku. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatiku, aku berusaha mempercayai keputusan Pak Arya.Hubungan kami kembali berjalan seperti semula. Bahkan, kini aku merasa ada lebih banyak kejujuran dan keterbukaan dari Pak Arya. Sedangkan aku juga selalu berkata jujur padanya agar tidak lagi.Namun, di tengah kebahagiaanku itu, kabar lain mulai tersebar. Kabar soal Mas Lukas dan keluarganya cukup membuat perhatianku teralihkan. Ternyata, selama ini keluarga Lukas memiliki banyak utang di bank. Karena gagal melunasi cicilan, semua aset mereka disita. Rumah mereka dijual, beberapa barang berharga mereka diambil alih, dan mereka akhirnya harus pindah keluar kota.“Diana, kamu tahu tentang keluarga Mas Lukas? Semua asetnya disita bank. Katanya, Mbak Rita punya pinjaman besar yang tak bisa mereka bayar. Sekarang mereka pindah ke luar kota,” kata salah satu pelanggan yang kebetulan sedan makan di k
Beberapa hari berselang, suasana sibuk mulai menyita pikiranku. Mawar sedang sibuk membungkus pesanan nasi kotak, dan beberapa karyawan lain sibuk dengan pelanggan.Aku berusaha menenangkan diri dan memfokuskan perhatian pada pekerjaan. Apa yang terjadi kemarin aku anggap hanya angin lalu yang tak perlu aku pikirkan. Namun, pikiranku terus melayang-layang, kembali ke wajah perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat merusak suasana hatiku. Ada sesuatu tentang cara bicaranya—entah itu rasa cemburu, kebencian, atau mungkin sekadar keputusasaan—yang membuatku merasa harus menyelidiki lebih jauh.Sebenarnya aku ingin sekali percaya pada Pak Arya. Aku lihat sorot keseriusan dalam matanya. Namun tetap, dalam sudut hatiku masih ada sedikit keraguan. Sore itu, setelah semua pesanan selesai, aku duduk di kursi dekat jendela sambil menyeruput teh hangat. Ponselku berdering lagi. Kali ini pesan dari Pak Arya.[Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?]Aku menarik na
Aku kembali ke kedai dengan kepala yang penuh pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa benar dia kekasih Pak Arya? Ataukah ini hanya upaya untuk menjatuhkanku seperti yang sering terjadi sebelumnya?Helaan napas panjang keluar dari bibirku saat aku membuka pintu kedai, aroma kopi dan makanan menyapa hangat, tapi hatiku tetap bergemuruh.Selama ini aku memang tak pernah mendengar desas-desus apapun perihal Pak Arya. Kabarnya tenang, tak ada berita tentang kehidupannya. Mungkin ia sengaja menyembunyikan apapun yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Mengingat bahwa dia adalah seorang kepala desa yang mana harus tetap mempertahankan wibawanya. "Ada apa, Mbak? Mukanya kusut begitu," tanya Mawar sambil menata beberapa gelas di rak.Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawabku singkat, karena aku belum ingin bercerita kepada siapapun perihal ini. Terlebih sebelum aku menanyakan langsung pada Pak Arya. Siapa tau, apa yang wanita itu katakan dan apa yang aku pikirka
"Kamu mau menikah?" tanya Mas Lukas yang tiba-tiba menghadangku di tengah jalan. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi ikut angkutan umum dan turun lumayan jauh dari kedai. Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Lukas ada di depanku. Apakah ia memang sudah mengikutiku atau hanya kebetulan saja."Em, belum. Kenapa?"Mas Lukas tersenyum miring dan melirikku tajam. "Bohong," ujarnya dingin.Aku hanya menghela nafas panjang, lalu membalas tatapan elangnya. Memang begitu Mas Lukas sejak dulu. Jika ada yang ia tak suka dariku, pasti ia akan menatapku seperti itu. "Benar ataupun tidak, memangnya kenapa? Ada masalah apa denganmu, Mas?""Aku tidak rela jika Huda memiliki ayah baru."Mulutku menganga, "lantas?""Kamu tahu yang aku maksud dan jangan berbelit-beli, Diana."Aku terkekeh kecil, Mas Lukas memang pandai bergurau. Namun kali ini aku tidak berniat bergurau soal ini. Seharusnya dia sudah tidak berani menampakkan wajahmya di depanku, terlebih sejak kejadian Mbak Rita kemarin. Namun
Udara pagi ini terasa sejuk dengan mentari pagi menyapa lembut dedaunan yang berembun. Biasanya aku tak bersemangat ini jika hendak ke kedai. Namun hari ini aku terlihat sangat bersemangat. “Selamat pagi, Mbak Diana” sapa Pak Arya ramah membuatku terkejut. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah sampai di kedai. Biasanya dia dan anaknya datang pukul sembilan atau sepuluh. Aku membalas senyumnya, mencoba menyembunyikan debar di dadaku. “Selamat pagi, Pak Arya. Pagi, Aira,” balasku, tak lupa mengusap lembut kepala gadis kecil itu.Setelah beberapa menit berbasa-basi, aku akhirnya menarik napas panjang dan berkata, “Pak Arya, saya ingin bicara serius mengenai apa yang Bapak sampaikan kemarin.”Wajah Pak Arya berubah serius namun tetap lembut. Ia menatapku dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu sampaikan?” jawabnya membuatku takut dan hendak mengurungkan niatku. Aku merapatkan kedua tanganku di atas meja, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Saya sudah memikirkan apa yang
Malam itu, setelah Aira bertanya dengan polosnya tentang "ibu baru," pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku tahu, waktunya sudah tiba untuk berbicara dengan Huda. Sebagai anakku, pendapatnya sangat berarti. Aku tak ingin mengambil langkah besar tanpa memastikan bahwa Huda merasa nyaman dengan perubahan ini.Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Huda sedang menggambar sesuatu di buku gambarnya, seperti biasa. Aku duduk di sampingnya, merapikan rambutnya yang mulai panjang."Huda, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu," kataku pelan.Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan meletakkan pensilnya. "Apa, Bu?"Aku mengatur napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu kan, sekarang kita sering ketemu sama Pak Arya dan Aira?"Huda mengangguk dengan semangat. "Iya, Ma. Aku suka main sama Aira. Dia lucu, nggak seperti anak-anak lain yang suka ganggu."Aku tersenyum, lega mendengar antusiasmenya. "Bagaimana menurut kamu tentang Pak Arya? Mama lihat kamu juga sering ngobrol sama







