Baru saja Maria sampai ke rumahnya, dia sudah di kagetkan dengan kedatangan Fiko yang sedang menunggunya didepan pintu. Maria bingung antara meneruskan langkahnya atau berbalik kembali. Dia memang tidak berniat untuk menghindari Fiko, namun bila harus bertemu dalam waktu dekat jelas dia tidak siap.
Maria ingin berbalik, tapi urung saat Fiko keburu menyadarinya. Dengan mempersiapkan hati terlebih dahulu, Maria meneruskan langkahnya.
Fiko yang melihat Maria berjalan mendekatinya sontak tersenyum sumringah. Dia sudah menunggu Maria selama 3 jam. Karena kemarin malam dia tidak bisa menemui Maria, maka dia memutuskan untuk kembali menemuinya hari ini.
"Maria." Fiko memanggil nama Maria dengan luapan penuh rindu. Seperti mimpi, kini dia dapat melihat
Mata coklat Maria yang bulat terpejam, menikmati ketenangan dari suasana sore bersama angin sepoi-sepoi. Rasanya Maria bahkan bisa mendengar bisikan angin sejuk membelai manja wajahnya.Maria menikmatinya, keindahan seperti ini memang tidak pernah ia rasakan lagi selama 3 tahun kebelakang. Ternyata berpisah dengan Fiko tidak semua membawa kesakitan, masih ada sebagian rasa bahagia seperti yang saat ini dia rasakan."Saya heran, kenapa kamu bisa sesantai ini ketika seseorang sudah menelponmu puluhan, tidak. bahkan mungkin ratusan kali?"Dan tiba-tiba suara bicara seorang laki-laki yang membawa jejak kejengkelan itu terdengar dari arah sampingnya membuat mata Maria otomatis terbuka.Maria melirik laki-laki yang menjulang tinggi sambil memasang wajah angkuh itu agak sinis. Kalau bukan karena laki-laki ini calon Bosnya, Maria mungkin sudah mengatainya pengganggu. Berhubung laki-laki ini berkemungkinan besar yang akan menjadi sumber pemasukan
Maria melihat arloji di tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 6:31. Dia kini berdiri di depan pintu rumah besar bergaya Eropa. Setelah mengucapkan Basmalah terlebih dahulu, dia menekan bel yang terletak di sisi kiri pintu itu sekali. Setelah menunggu beberapa saat, pintu rumah terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang pernah di tolongnya beberapa hari kebelakang.Maria cukup terkejut dengan kebetulan ini. Ibu-ibu yang di tolongnya waktu itu ternyata tinggal di rumahnya Gudy yang telah menjadi Bosnya saat ini. Maria hanya bisa tersenyum kecil ketika mendapati wajah terkejut Arum. "Assalamualaiku ibu." Sapanya mendahului, karena tidak ada tanda-tanda wanita paruh baya di depannya akan menyapa dalam waktu dekat.Arum mengembangkan senyumnya dengan lebar. Dia tidak menyangka akan di pertemukan kembali dengan perempuan yang menolongnya tempo hari itu. "Wa'alaikum salam. Kamu yang nolongin saya waktu itu, ya?"Maria mengangguk sambil tersenyum kec
Maria masuk ke dalam Minimarket mengikuti Gudy. Dia melihat-lihat sekelilingnya berharap menemukan Sinta. Karena tidak terlalu pokus dengan yang di depannya, dia sampai tidak menyadari Gudy berhenti di tempat membuat hidung dan dahi Maria menabrak punggung lebar Gudy. "Apa yang kamu pikirkan?" Rudy bertanya heran. Dia melihat Maria yang tingginya hanya sebahu itu tengah menggosok hidung dan dahinya, lalu mengernyit. Apa sebegitu kerasnya tadi Maria menabraknya? hidung dan dahinya sampai terlihat memerah. "Saya hanya sedang mencari teman." Maria menjawab sambil menahan ngilu. Dia merutuki punggung Gudy yang keras seperti tembok. Dia bertanya dalam hati, di kasih makan apa Gudy oleh Bu Arum sehingga dapat tumbuh tinggi besar seperti sekarang. "Siapa?" Mendadak Gudy kepo. Teman yang di cari Maria laki- laki atau perempuan. Tanpa dicegah, kepalanya celingukan kesana sini mencari seseorang yang kira-kira Maria cari. Maria agak memicingkam mata. Namun
Sedari pagi Gudy tidak bisa diam, 5 menit sekali matanya melirik Maria yang duduk tenang menekuri pekerjaannya. Berkali-kali Gudy menarik napas dan mengeluarkannya dengan kasar. Penampilan Gudy yang sehari-hari terlihat rapi, bersih, dan tampan kini terlihat sedikit kusut dan nampak lingkaran hitam di bawah matanya. Semalam Gudy tidak dapat untuk tidur karena kebanyakan berpikir, apa yang saat itu Maria pikirkan tentang dirinya yang setuju-setuju saja di suruh melamarnya? Apakah Maria tidak akan berpikir dia ini laki-laki gampangan? Uh, Bundanya memamg keterlaluan.Karena tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaannya, Gudy memutuskan untuk keluar mencari udara segar. "Saya keluar dulu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menelpon saya. Dan jangan biarkan siapapun masuk kedalam ruangan ini. Mengerti?""Mengerti, Pak."Maria memandang punggung Gudy sampai menghilang di balik pintu. Dia mendesah pelan karena bingung dengan perubahan
Karena kejadian tadi siang, suasana di dalam mobil terasa begitu sunyi. Maria dan Gudy sama-sama tidak ada yang mau memulai siapa yang terlebih dahulu ingin membuka percakapan, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing.Maria denga pemikirannya yang merasa bodoh karena telah meneriaki Bosnya, padahal Gudy hanya refleks memegangnya karena ingin menolong Maria agar kepalanya tidak terantuk aspal jalanan. Sedangkan Gudy tengah sibuk menenangkan jantungnya yang berdetak tidak seperti biasanya bila berdekatan dengan Maria. Gudy malu, dia takut suara jantungnya terdengar oleh Maria.Setelah mengucapkan terima kasih dan salam, dengan terburu-buru Maria keluar dari dalam mobil. Maria bahkan tidak mendengar Gudy yang memanggil sebab handpohon-nya tertinggal. Maria hanya pokus dengan dirinya agar segera lepas dari pandangan Gudy. Maria malu bukan main, bahkan rasanya bernapas saja susah bila berada di sekitar Gudy.Sesampainya di dalam rumah, barulah Maria dapat
Hari ini Maria tidak jadi sarapan berdua bersama Gudy, karena Gudy ada pekerjaan mendadak bersama ayahnya keluar negri. Dia mendapat cuti dan memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur.Maria sengaja berangkat pagi sekali untuk pergi kepasar. Sayur segar dan bagus tentu akan lebih mudah di dapatkan pada pagi sekali. Karena itu, sehabis shalat Subuh tadi Maria sudah berangkat.Maria pergi ke pasar dengan berjalan kaki. Angin pagi memang terasa menusuk kulit. Namun, jelas sejuknya tidak akan di dapatkan di waktu hari lainnya.Maria menoleh kebelakang begitu merasakan pundaknya baru saja ada yang menepuk. Di belakang Arum tengah memberikannya senyum lebar, Maria balik membalas tersenyum tak kalah lebar. "Ibu mau belanja juga?" Tanya Maria saat melihat keranjang di tangan Arum. Sebenarnya pertanyaan Maria sangat tidak bermutu. Orang pergi ke pasar apa lagi tujuannya kalau bukan untuk belanja.Arum tertawa renyah. Kebetulan yang menyenangkan bisa
Arum dan Bok Narsih juga ikut melihat orang yang memanggil nama Maria barusan. Satu meter di belakang punggung mereka berdiri seorang laki-laki dan perempuan cantik. Untuk ukuran orang yang ingin berbelanja ke pasar, tentu pakaian laki-laki dan perempuan itu terlalu tidak pantas. Bagaimana seseorang akan berangkat ke pasar menggunakan setelan batik yang lebih cocok di pakai untuk kondangan?Maria mencoba menyadarkan hatinya. Berkali-kali dia membisikan kata mereka bukan lagi siap-siapamu di dalam hatinya. Tak di pungkiri kalau Maria masih merasa cemburu dengan kehadiran Mantan suami dan madunya itu. Bagaimana tidak? Sela menyelipkan tangannya di pinggang Fiko. Sedangkan Fiko balik merangkul bahu Sela dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya di pergunakan untuk mengelus-ngelus pelan perut rata Sela."Kebetulan sekali kita berjumpa di sini, Maria." Sela berbicara seolah dia dan Maria adalah teman akrab. Sela bahkan sengaja m
Maria mengernyit saat mendengar ibu dari bosnya ini mengatakan kalau wajah dia dan Arkan mirip. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya Maria juga sepemikiran dengan Arum. Namun, dia cukup tau diri, saat tahu membandingkan orang itu bukan perilaku yang baik. "Iya, wajah den ganteng ini memang mirip sama Maria." Bok Narsih juga ikut-ikutan mengeluarkan pendapatnya. Maria tidak mengatakan apa-apa. Namun, sebagai gantinya dia menatap Arkan penasaran. Apa benar Arkan ini kakak laki-lakinya, dia juga selalu ada setiap saat Maria mengalami bahaya. Maria merasa kalau Arkan ini memang sengaja selalu ada disekitarnya untuk memastikan dia dalam bahaya atau enggak. Arkan sendiri yang malah balik ditatap pemasaran oleh Maria hanya mengedikan bahu acuh. Dia melengos menghindari tatapan Maria yang menuntut. "Kenapa kita mirip?" Maria akhirnya membuka suara karena tidak tahan dengan kebisuan Arkan. "Apa karena memang benar kita sepasang kakak dan adik?"