Hari ini Maria tidak jadi sarapan berdua bersama Gudy, karena Gudy ada pekerjaan mendadak bersama ayahnya keluar negri. Dia mendapat cuti dan memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur.
Maria sengaja berangkat pagi sekali untuk pergi kepasar. Sayur segar dan bagus tentu akan lebih mudah di dapatkan pada pagi sekali. Karena itu, sehabis shalat Subuh tadi Maria sudah berangkat.
Maria pergi ke pasar dengan berjalan kaki. Angin pagi memang terasa menusuk kulit. Namun, jelas sejuknya tidak akan di dapatkan di waktu hari lainnya.
Maria menoleh kebelakang begitu merasakan pundaknya baru saja ada yang menepuk. Di belakang Arum tengah memberikannya senyum lebar, Maria balik membalas tersenyum tak kalah lebar. "Ibu mau belanja juga?" Tanya Maria saat melihat keranjang di tangan Arum. Sebenarnya pertanyaan Maria sangat tidak bermutu. Orang pergi ke pasar apa lagi tujuannya kalau bukan untuk belanja.
Arum tertawa renyah. Kebetulan yang menyenangkan bisa
Arum dan Bok Narsih juga ikut melihat orang yang memanggil nama Maria barusan. Satu meter di belakang punggung mereka berdiri seorang laki-laki dan perempuan cantik. Untuk ukuran orang yang ingin berbelanja ke pasar, tentu pakaian laki-laki dan perempuan itu terlalu tidak pantas. Bagaimana seseorang akan berangkat ke pasar menggunakan setelan batik yang lebih cocok di pakai untuk kondangan?Maria mencoba menyadarkan hatinya. Berkali-kali dia membisikan kata mereka bukan lagi siap-siapamu di dalam hatinya. Tak di pungkiri kalau Maria masih merasa cemburu dengan kehadiran Mantan suami dan madunya itu. Bagaimana tidak? Sela menyelipkan tangannya di pinggang Fiko. Sedangkan Fiko balik merangkul bahu Sela dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya di pergunakan untuk mengelus-ngelus pelan perut rata Sela."Kebetulan sekali kita berjumpa di sini, Maria." Sela berbicara seolah dia dan Maria adalah teman akrab. Sela bahkan sengaja m
Maria mengernyit saat mendengar ibu dari bosnya ini mengatakan kalau wajah dia dan Arkan mirip. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya Maria juga sepemikiran dengan Arum. Namun, dia cukup tau diri, saat tahu membandingkan orang itu bukan perilaku yang baik. "Iya, wajah den ganteng ini memang mirip sama Maria." Bok Narsih juga ikut-ikutan mengeluarkan pendapatnya. Maria tidak mengatakan apa-apa. Namun, sebagai gantinya dia menatap Arkan penasaran. Apa benar Arkan ini kakak laki-lakinya, dia juga selalu ada setiap saat Maria mengalami bahaya. Maria merasa kalau Arkan ini memang sengaja selalu ada disekitarnya untuk memastikan dia dalam bahaya atau enggak. Arkan sendiri yang malah balik ditatap pemasaran oleh Maria hanya mengedikan bahu acuh. Dia melengos menghindari tatapan Maria yang menuntut. "Kenapa kita mirip?" Maria akhirnya membuka suara karena tidak tahan dengan kebisuan Arkan. "Apa karena memang benar kita sepasang kakak dan adik?"
Arkan hanya diam mematung menatap Maria yang terpasang infus dari kaca di balik pintu. Maria sudah sadar satu jam yang lalu. Namun, dia sama sekali tidak ada keberanian menemuinya. Selain takut masa lalaunya terbongkar, dia juga sangat merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Maria."Pak Arkan."Arkan membalikan badan pada perawat yang memanggilnya. Itu perawat Mia, perawat yang selalu merawat ibunya di rumah sakit jiwa ini. "Ada apa?""Ada yang mau saya sampaikan mengenai ibu Kinanti.""Nanti saja, sekarang saya harus memantau keadaan adik saya dulu." Arkan mengusir halus perawat yang sudah berjasa mengurus ibunya ini selama belasan tahun."Tapi ini ada kaitannya dengan adik Pak Arkan yang di dalam."Arkan langsung menegakan kepalanya. Dia menoleh ke arah Maria yang tengah memandang langit-langit kamar, lalu menatap kembali perawat Mia dengan sorot mata rumit. "Ayo, bicara di ruangan saya!""Katakan!" Tanpa basa-basi Arkan memerint
Arkan berdiri, dia menatap sang papa dengan wajah sembabnya. "Dia Uri, putri kecil Papa yang sudah meninggal." Bagai disambar petir, Bagus melotot terkejut pada anak sulungnya ini. "Apa kamu bilang?" Arkan mengusap jejak air mata di pipinya. Dengan menyematkan senyuman kecil, Arkan menepuk pelan bahu Bagus. "Kita bicara di ruangan Arkan." Sekali lagi Bagus melihat istrinya yang masih berpelukan dengan perempuan muda yang dikatakan putrinya itu sebelum mengikuti Arkan menuju ruangannya. Dia begitu penasaran dengan apa yang diucapkan Arkan, bukankah putrinya sudah meninggal belasan tahun lalu? Arkan sendiri yang mengatakan kalau Uri putrinya ikut terbakar dalam mobil itu. "Jelaskan ucapanmu tadi!" Bagus segera menodong Arkan saat pintu sudah tertutup rapat. Arkan mendudukan tubuhnya di sopa yang terdapat di ruangannya. "Dia Maria Nurindah, adik Arkan yang kecelakaan belasan tahun lalu. Uri tidak ikut terbakar dalam mobil. Orang yang terbakar dal
Saat Maria sadar, dia sudah ada di ruangan pertama kali dia bangun dari pingsannya yang pertama. Kini semua ingatannya sudah pulih kembali. Dia sekarang mengerti dengan alasan kenapa selama ini dia tidak bisa mengingat masa kecilnya.Dulu dikecelakaan dan dari kecelakaan itu dia amenjadi hilang ingatan. Namun, dia mengetahui alsan dia hilang ingatan dan kenapa dia bisa berada di rumah sang nenek yang selama ini merawatnya.Maria begitu kecewa pada Arkan. Kenapa Arkan harus menyembunyikan jati dirinya dari mamah dan papanya? Kenapa tidak dari awal Arkan jujur?Saat sedang melamun, Maria mendengar pintu terbuka. Dia melihat pintu itu didorong dari luar dan memperlihatkan sang papa."Sudah bangun, Uri?""Sudah," Maria menjawab serak.Bagus mengambil gelas berisi air di atas nakas dan memberikannya pada Maria yang sudah duduk menyender di tepi ranjang. Maria menghabiskan air itu karena memang tenggorokannya terasa kering."Sudah merasa ba
Maria sedikit memiringkan kepalanya. Dia yakin yang datang mencarinya adalah Fiko, Marni, dan Sela. Namun, tentang perkataan mereka yang mengatakan Maria pembunuh, kenapa tidak dapat dimengerti olehnya?Apa saking frustasinya mereka sampai menuduhnya macam-macam? Maria menggelengkan kepala heran. Pantas saja hampir semua orang langsung menatapnya saat tadi dia baru pertama masuk."Maaf Pak Gudy, tapi saya tidak pernah membunuh orang.""Ya, saya mana tahu. Orangnya sudah saya usir kemarin, tapi tidak menutup kemungkinan bakal datang lagi atau bisa jadi mereka akan menemui kamu rumahmu."Gudy menghampiri Maria dan meletakan paper bag di atas meja kerja Maria. "Ini oleh-oleh buat kamu. Tadinya saya mau kasih ini kemarin. Berhubung kamu tidak masuk, jadi saya ksih sekarang.""Ini apa, Pak?" Maria mengambil paper bag itu. Setelah melihat isinya, Maria cukup terkejut karena itu adalah sebuah kalung dengan bandul inisial M."Apa ini tidak berlebiha
Mendengar ucapan Fiko yang kelewat asal ceplos, semua orang serentak menatapnya dengan pandangan berbeda-beda. Terutama Sela yang kini menatap Fiko dengan kobaran api cemburu yang begitu besar.Rasa benci pada Maria begitu tak kendali dalam hatinya. Sela teramat dipenuhi aura suram yang melekat kuat, bahkan Sela tidak tidak ingat kapan tangannya ini melayang menampar pipi Maria."SELA!" Fiko membentak Sela. Dia tidak menyangka perempuan yang dia kenal lembut dan sopan ternyata berani menampar Maria. Fiko jelas kecewa atas sikaf Sela barusan, dia taku Maria menolak kembali ajakannya.Sela menoleh ke arah Fiko yang baru saja membentaknya. Hati yang baru saja retak akibat ajakan Fiko pada Maria, kini semakin hancur akan Fiko yang membentaknya. Sela membuang wajah agar air matanya tidak terlihat oleh siapapun, terutama Maria yang dia anggap saingannya.Maria mengusap pipinya yang panas. Dia ingin membalas perlakuan Sela barusan, tapi tertahan akan Sela yang t
Fiko terdiam kaku begitu Jonthan selesai mengakui ayah dari bayi yang dikandung Sela. Dia terlalu shok hingga semua ini bagaikan mimpi saja. Perlahan Fiko menoleh ke arah Sela yang sudah menangis sesenggukan. Dia tidak percaya, kalau wanita yang dia anggap begitu mencintainya itu sampai melakukan kecurangan dalam pernikahannya.Fiko linglung, hampir saja dia terjatuh apabila tangannya tidak menahan dengan bersandar pada ranjang."Ma-mas, apa yang diucapkannya itu bohong. Mas, gak percaya kan sama dia?" Sela terbata. Dia begitu khawatir Fiko mempercayai semua ucapan Jontahan."Ayolah sayang! Buat apa kamu terus mempertahankan laki-laki menyedihkan seperti dia. Jelas kamu tahu kalau dia hanya memanfaatkanmu saja, masih saja kamu bela-belain." Jonthan berdecak kesal sambil menggelengkan kepala heran."Tutup mulutmu! Kamu berbicara omong kosong." Sela berteriak marah sambil menatap Jonthan dengan tatapan tersinis yang dia punya.Bagai orang gila,