"Sayang .... Kamu sudah tidur?" Suara Pak Mahendra terdengar dekat. Aku langsung memejamkan mata pura-pura tidur. Terasa ada yang duduk di tepi ranjang. Tidak selang beberapa lama seperti dia berbaring di belakangku."Kamu belum tidur, kan?" bisiknya ditelingaku dan sesekali mengecup rambut ini. "Kak .... tangannya," ucapku serak saat dia melingkarkannya diperutku. "Kamu belum tidur, kan?"Kali ini dia menyibak rambutku dan memberikan kecupan kecil. Jantungku yang tadi hampir terlepas, sekarang benar-benar lepas. Aku tercekat tidak kuasa menghindar, bahkan saat dia membalikkan tubuh ini. "Kak ...." Dia tersenyum dan bergerak cepat membungkamku. ..."Aduh!" teriakkannya.Ulah tanganku yang penasaran dengan pemandangan tadi membuat dia berteriak. "Maaf, Kak!"Aku langsung duduk dan membuka piyamanya memastikan lukanya aman. Tentunya serambi memuaskan penasaranku. Sepertinya aku sudah teracuni olehnya. "Tidak berdarah, sih. Aman. Kak Mahe, sih. Kenapa juga harus pindah tempat tid
"Kenapa, kamu Litu?" Suara Mas Sakti mengagetkanku. Tiba-tiba wajahnya muncul di depanku. Aku yang menundukkan kepala dengan meremas rambut ini, langsung membuka mata lebar. Wajah dengan alis bertaut. Sebentar lagi, pasti mengoceh hipotesa tentangku yang sekarang berputar di otaknya.Kusandarkan tubuhku di kursi. Pasrah dengan tuduhan-tuduhan yang akan terlontar. Kepalaku sudah pening. Otakku seperti mengalami konsleting karena kata deadline memburuku. Pekerjaan deadline karena minggu depan sudah jadwal lounching. Termasuk dikejar deadline masa lajangku, yang sudah didesak kata menikah cepat dari Pak Mahendra. Huuft!"Kamu lagi mikir apa? Cerita dengan Kakak Ipar!" ucapnya tersenyum dengan menepuk dadanya."Cerita yang mana dulu? Semua membuat otak akan meledak!" teriakku sambil menghembuskan napas panjang."Pekerjaan? Sudah bereskan? Tinggal nunggu hasilnya saja. Maaf, ya. Kemarin-kemarin aku tinggal.""Ya itu yang membuat saya cemas, Mas! Apakah para undangan nanti tertarik, suk
"Litu, malam ini kamu cantik sekali!" pekik Pak Mahendra saat aku turun dari tangga. Dia ditemani Alysia di ruang tamu. Matanya tidak teralihkan dariku."Ini hasil karya Alysia," ucapku menatapnya sekilas dan meraih tangan Alysia yang tersenyum bangga. Aku seperti gadis kampung yang baru saja dimake over. Malu aku, apalagi dia menatapku seakan ingin menguliti.Aku menggunakan baju terusan selutut yang membentuk siluet tubuhku. Tidak ketat, masih terasa nyaman. Berwarna toska, dengan manik-manik kecil menghiasi kerah leherku. Rumbai lipitan diujung bawahan, membuat kesan elegan namun terlihat santai. Ini cantik, namun menggangguku. Saat jalan, rumbaian ini melambai seakan menunjukkan, "Ini lo, kakiku jenjang, putih dan cantik."Riasan juga natural. Rambutku diikat rapi, ini supaya terkesan tidak berantakan di depan calon mertua, kata Alysia sok tahu."Bajunya bagus. Semuanya bagus. Kita berangkat sekarang," ucapnya dengan mengulurkan tangannya. Kami berangkat diantar Alysia ke depan.
Sekarang di dada ini sedang terjadi pergulatan rasa. Kawatir, takut, dan cemas, rasa yang lebih menguasaiku. Bagaimana tidak, mempunyai calon suami yang super kaya seperti ini. Itu sangat menakutkan.*Sekarang, aku baru merasakan aura rumah. Bangunannya masih terkesan megah, namun masih bersahabat. Permainan batu alam dikombinasi dengan kayu besar dan detail sedikit ukiran, membuat hati ini merasa nyaman. Apalagi cahaya temaran dan lampu sorot di beberapa titik taman terbuka.Genggamanku tidak seerat lagi, senyumku pun mulai terukir kembali menyambut tatapan hangat Pak Mahendra. Tetap, tanganku tergantung dilengannya. Menopang tubuhku yang tersiksa karena alas kaki cantik yang tinggi ini. "Kita langsung ke belakang, ya. Mama sudah menunggu di dapur," ucapnya mempercepat langkahnya. Kami melewati beberapa ruangan yang terlihat sekilas mempunyai tatanan yang indah. Dari sini, kelihatan sekali Mama Lia mempunyai selera yang tak biasa. "Litu! Akhirnya kamu sampai!" teriak Mama Lia men
"Capek?" Pertanyaan Pak Mahendra terlontar memecah keheningan di dalam mobil. Setelah meninggalkan istana itu. Kami disibukkan dengan pikiran masing-masing. Banyak sekali pertanyaan di kepalaku, kenapa, siapa, bagaimana, seandainya, semua berjubal minta dibebaskan. "Capek kenapa? Kita hanya makan," jawabku singkat. Bingung akan menjawab apa, sedangkan pertanyaan sudah membuatku pusing."Capek mendengarkan cerita Mama."Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Seandainya dia bertemu Ibu yang tidak berhenti bicara dari bangun sampai tidurnya. Atau, menemani Bapak nongkrong di depan dari kopi gelas pertama sampai kelima. Pasti dia akan memakluminya."Kita mampir ke rumahku dulu, ya? Selama ini, kamu belum pernah aku ajak," ucapnya sambil membelokkan ke hunian yang dijaga dua Satpam. Mereka langsung berdiri tegap dan membungkukkan badan. Pintu gerbang tinggi terbuka dengan sendirinya.Kesan maskulin begitu kental. Warna abu-abu dan hitam mendominasi. Lampu taman menghiasi dibeberapa sudut,
Tubuh ini terhempas di sofa dudukan kami tadi. Seperti terlepas dari busur panah, kami melesat tak berhenti. Berpacu dalam pagutan yang sudah diselimuti hasrat. Saling terpaut dalam helaan napas yang mulai memanas.Dan, "Awh ...!"Teriakan Pak Mahendra menyadarkan kami. Dia mengaduh, membebaskanku dari kungkungannya. Sambil meringis, dia bersandar di sofa dengan mendekap perutnya. Pasti barusan aku tidak segaja meremas lukanya.Aku beringsut menjauhkan dari tubuhnya. Merapikan bajuku yang sudah berantakan, beruntung Alysia memberiku gaun dengan pengait di punggung, itu pengaman untukku. Rumbaian di ujung gaun saja yang sedari tadi mengganggu pandangannya.Ikatan rambutku pun sudah hilang entah kemana, tertinggal rambut yang terurai. Aku menyisir seadanya dengan jari."Kak, lukamu?" teriakku mendekatinya lagi, dia masih mengaduh.Terpaksa aku memeriksa luka di perut. Tanganku gemetar membuka satu persatu kancing bajunya. Rasa yang tadi masih tersisa, masih haus akan apa yang kulihat se
Hari ini, persiapan untuk acara peluncuran proyek ini. Dua hari lagi acara berlangsung. Alasan inilah yang mempercepat aku pergi dari hadapan Alysia, dan menyembunyikan noda sisa semalam.Pekerjaan kami sudah tidak sesibuk sebelumnya. Aku dan Mas Sakti sudah menyerahkan semuanya kepada team pemasaran. Siang ini, aku ingin mengejutkan Pak Mahendra. Biasanya dia yang menghampiriku, memberikan kejutan-kejutan manis walau sekedar rayuan. Itu cukup membuatku tersanjung dan berharga untuknya.Sekarang giliranku, akan kutunjukkan bahwa akupun mempunyai perasaan yang sama. Berduaan di kantor, tidak akan membuat kami terjerumus, kan?Ruang depan kosong, biasanya sekretaris siap siaga di sana. Hanya tulisan ISTIRAHAT terpampang di atas mejanya.Sip, berarti Pak Mahendra sendiri dan bersiap untuk makan siang. Aku ingin mendahuluinya mengajak makan berdua. Dengan hati berbunga kulangkahkan kaki, dengan jantung mulai berdebar cepat membuka pintu dengan pelan."Aku mencintaimu. Dari dulu, sekara
Aku tertidur dalam rasa kesal. Mataku masih bengkak dan kepalaku terasa berat, namun perutku ini memaksaku keluar dari selimut. Aku lihat ponselku di atas nakas. Sengaja aku matikan, berusaha sembunyi dari siapapun. Di luar sudah sepi. Pasti Alysia sudah tidur. Aku turun menuju dapur di lantai bawah. Tidak ada makanan di lemari pendingin. Hanya bahan makanan saja. Perutku menuntut lebih, namun malasku tak tertahan. Pilihanku berakhir dengan susu murni dingin dan sereal coklat. Tidak seenak nasi gudeng yang berlimpah lauk, tapi bagaimana lagi, hanya ini yang ada. Seperti kisah cintaku sekarang. Menyedihkan dan memalukan. Aku seperti diangkat tinggi-tinggi dengan ungkapan cinta dan rencana manis. Kemudian dihempaskan sampai luluh lantak. Aku mengunyah sereal coklat bersamaan dengan air mata yang menetes lagi. Tertipu karena bodoh. Itu yang membuat menyesal. Kenapa semudah ini aku mempercayai mimpi dan anganku tidak pasti ada? Itu hanya kesempurnaan di cerita dongeng. Pangera