Share

Membalas Kebohongan Suami Kere
Membalas Kebohongan Suami Kere
Penulis: Aina Maritza

Bab. 1 Panggilan Sayang

"Mi, hari ini masak apa?" tanya Mas Yanto, membuka tudung saji di atas meja. Padahal terlihat secara jelas ada sayur bening, ikan goreng, dan sambal tomat di sana. 

"Sayur bening, ikan lele goreng, sama sambal tomat, Bi. Tapi jangan lupa, Ikan lelenya sisain buat anak-anak. Mereka sedang ngaji di musala. Belum pada makan. Paling sebentar lagi mereka pulang." Aku mengingatkan.

"Hemmm."

Mas Yanto mulai menyantap makanannya. Duduk sambil menekuk satu kaki ke atas kursi, sementara kaki satunya lagi dibiarkan menyangga di bawah lantai semen. 

Lama lelaki itu  tidak bersuara, aku pun melongo dari balik punggungnya. 

Astaghfirullaahal ‘aziim. Lele goreng yang tadi berjumlah tujuh ekor itu kini tersisa dua ekor saja. 

“Ikan gorengnya tinggal segitu, Bi?”

“He-emm.”

Lelaki berjenggot tipis itu menyendokkan nasi ke piring. Entah sudah ke berapa kali. Seperti orang yang tidak makan selama setahun.

"Sudah dong Bi. Sisain napa buat anak-anak," dengkusku melihat Lelaki itu hendak mengambil ikan lele goreng lagi.

Padahal sudah kuwanti-wanti, tetap saja tidak digubrisnya.

"Lihat ini nasiku masih banyak, Mi." Mas Yanto menunjukkan piring berisi gundukan nasi. 

"Kan Abi bisa pakai sayur bening sama sambal."

"Eggak bisa, Mi. Kurang rasanya kalau enggak ada ikan." 

"Lah, terus anak-anakku nanti makan apa, Bi?"

"Kasih aja sayur. Sambal juga masih ada. Akbar dan Faisal kan suka banget Mi sama sambal."

Aku pun melongo dibuatnya. Ternyata kesederhanaan anak-anakku dijadikan kesempatan lelaki itu untuk berbuat seenaknya.

Tanpa banyak kata-kata lagi kuambil piring berisi ikan lele goreng dan menyimpannya ke suatu tempat.

Aku juga tadi yang salah. Sudah tahu punya suami seperti itu, masih suka lupa memisahkan lauk untuk anak-anak. 

“Kok enggak dihabiskan nasinya, Bi?” 

Kulihat gundukan nasi itu belum disentuhnya. 

“Umi ambil sih lauknya. Abi jadi enggak selera makan lagi.”

Alamat aku yang menghabiskan nasinya. Sayang kalau sebanyak itu harus dibuang. Mubazir. Beras juga sedang mahal. 

"Assalamu'alaikum!" Anak-anakku serentak mengucapkan salam dari luar.  

"Wa'alaikumussalam," jawabku.

Sementara, tak kudengar jawaban salam keluar dari mulut Mas Yanto. Lelaki itu sudah berpindah tempat dan sibuk dengan ponsel pintarnya. 

"Ohim lapar, Mak." Putra bungsuku merintih sambil memegangi perutnya.

Ketiga  abangnya lebih dulu menyimpan peralatan mengaji di kamar, membawa serta peci dan kitab milik si bungsu. 

"Sini, Nak. Tadi umi masak ikan lele kesukaan Ohim." Aku mengeluarkan ikan lele goreng yang tadi sempat kusembunyikan dari Mas Yanto.

Rohim mengambil tempat duduk persis di sebelah kursiku. Tidak lama kemudian ketiga abangnya datang melingkari meja makan. 

Kuambil piring keramik dan mengisinya dengan nasi. Tidak lupa mengguyurkan kuah sayur bening di atasnya, karena putraku satu itu tidak suka makan sayurnya.

“Ikannya satu ekor bagi dua, ya,” ujarku sambil membagikan potongan ikan ke piring mereka. 

“Akbar enggak usah, Mak. Kasihkan Dek Ohim aja,” kata si sulung. 

“Ya sudah. Ini buat Ohim. Jangan lupa bilang makasih sama abang karena mau berbagi ikan.” Sengaja kutinggikan suara buat menyindir Mas Yanto. 

Berhasil. Lelaki itu sempat melirik sebentar lalu kembali sibuk dengan ponselnya. 

“Makasih, Bang,” ucap Rohim. 

“Sama-sama,” jawab Akbar lirih.

“Ikannya enak, ya Mak,” kata Rohim dengan mulut penuh makanan. 

Aku senang melihat anak-anak makan lahap, meskipun dengan lauk seadanya.

Kebersamaan seperti inilah yang kuinginkan. Bisa melihat senyum keempat putraku. Saling bercanda dan tawa bersama. 

Semenjak aku bercerai dengan Mas Budi, aku harus bekerja keras untuk menghidupi keluargaku. Mengambil alih tugas bapak mereka yang tidak mau memberikan nafkah pasca perceraian itu. 

Sampai akhirnya aku menikah dengan Mas Yanto yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi setidaknya dia bisa membantuku mengurus anak-anak saat aku sibuk bekerja. 

Aku sering mengingatkan keempat putraku untuk memanggilku umi, biar selaras dengan panggilan abi untuk Mas Yanto. Akan tetapi, mereka seperti enggan mengubahnya. Mungkin sudah nyaman dengan panggilan seperti itu. 

Selesai membereskan sisa makanan anak-anak, aku menghampiri Mas Yanto yang masih duduk santai di kursi panjang. Kini posisinya tidur tengkurap dengan wajah menghadap ke layar ponsel. Pelan-pelan aku mendekat. Mengintip dari balik punggungnya, karena penasaran dengan apa yang dilakukannya. 

“Iya Sayang Iya. Besok kita makan di resto yang sedang viral itu.” Suara Mas Yanto terdengar lirih, tetapi bisa ditangkap olehku. 

“Abi bicara sama siapa?” 

Lelaki itu bangkit dan langsung menyembunyikan ponselnya di balik punggung. Dia tampak terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba itu. 

“Eng-nggak kok, Mi. Abi enggak video call sama siapa-siapa.” 

Video call? Jadi tadi itu dia sedang video call? Dengan panggilan sayang pula? Sama siapa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status