Share

Bab. 2 Suara Anak Kecil

“Video call siapa, Bi?” tanyaku berharap Mas Yanto bisa berkata jujur.

“Bukan siapa-siapa, Mi.” Ia terlihat salah tingkah.

“Terus kenapa HP-nya disembunyikan di belakang?” Aku menatap tajam manik matanya yang hitam.

“Oh ... ini.” Mas Yanto mengeluarkan ponselnya. “Mati, Mi. Habis baterai. Hehehe.” 

Bohong! Pasti sengaja di-nonaktifkannya, biar tidak ketahuan. Jelas-jelas tadi layarnya hidup, dan kudengar Mas Yanto memanggil sayang dengan lawan bicaranya. 

Baiklah. Kalau memang Mas Yanto tidak mau mengaku, biar aku cari tahu sendiri.

Lihat saja Mas Yanto, kalau sampai ketahuan berbohong, kamu akan tahu sendiri akibatnya. 

“Mi, itu ... kuota abi habis," ucapnya kemudian, sambil meringis.

"Bukannya tiga hari yang lalu baru diisi?" 

"Nggak tahu nih, Mi. Padahal cuma buat nonton ceramah di you tube. Kadang juga dipinjam Ohim buat nonton Upin-Ipin."

Sekarang, malah Rohim yang dijadikan alasan. 

Kukeluarkan dompet dari dalam tas selempang. Membukanya lebar-lebar untuk mengeluarkan beberapa lembar yang ada di dalamnya.  

“Dua ratus ribu buat Abi. Tiga ratus ribunya tolong kirimkan simbok, ya," kataku menyebut ibu Mas Yanto. 

“Terima kasih, Mi. Habis ini abi mau beli kuota sekalian pergi ke ATM.” Wajahnya tampak semringah setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan.

“Bukannya HP abi mati ya?” Aku menatapnya tajam.

“Oh iya ya. Abi lupa. Hehe.” Mas Yanto terlihat salah tingkah.  “Abi mau ngecas HP dulu di kamar, habis itu beli kuota,” imbuhnya, berlalu menuju kamar. 

Aku sangat yakin, kalau tadi itu Mas Yanto menyebut kata sayang di depan ponselnya. Sayang, belum sempat kulihat siapa orangnya, benda pipih itu sudah keburu disebunyikan di belakang punggung. 

***

"Bi, Ohim minta uang jajannya, dong!" Rohim berdiri di hadapan Mas Yanto sambil menadahkan tangan. Wajahnya memelas, khas anak kecil minta uang jajan.

"Nih, dua ribu buat adik Ohim. Jangan jajan es loh ya. " 

Bocah enam tahun itu mengangguk-angguk sambil menerima selebaran uang dua ribu rupiah. Setelahnya ia melesat menuju warung Mbok Darmi. 

Kuakui, bungsuku itu paling dekat dengan Mas Yanto. Bahkan, untuk urusan jajan pun ia lebih memilih minta pada bapak sambungnya itu.

Aku mengambil tas selempang, bersiap untuk berangkat kerja. Sore ini aku ada janji mempertemukan calon pembeli dengan pemilik tanah yang akan dijual. Aku tidak boleh lambat sampai di sana, agar klien tidak kecewa. Itu salah satu cara untuk menjaga eksistensiku dalam bekerja sebagai makelar tanah. 

“Umi berangkat dulu, Bi.” Kuraih  tangan Mas Yanto dan mengecup punggungnya dengan takzim. 

“Emmm ..., Mi. Ada uang enggak?” Mas Yanto meringis memberikan kode. “Dua ratus aja Mi, buat jajan cilok. Nanti kalau abi sudah kerja, abi ganti deh." 

Selalu itu yang dielu-elukannya. Nyatanya sampai sekarang dia tak kunjung mendapat pekerjaan. Kalau ditanya kenapa? Jawabnya, "Belum rezeki abi kayaknya, Mi." 

Kukeluarkan sejumlah uang yang dipinta Mas Yanto dari dalam dompet. Padahal aku sedang menabung untuk membeli motor, tetepi kalau dia terus-menerus minta uang begini, kapan bisa terkumpul uangnya? 

“Makasih, Sayang. Semoga rezeki Umi lancar terus. Aamiin,” cuitnya, usai menerima uang. 

Aku pun turut mengaminkan.

Kutinggalkan rumah menuju pangkalan ojek. Kurang-lebih 100 meter  dari rumah dan kutempuh dengan berjalan kaki. 

Sebaiknya kuhubungi Pak Kirman, tukang ojek langgananku menjemput kemari untuk mempersingkat waktu. Saat kurogoh tas untuk mencari ponsel, baru teringat kalau benda itu tertinggal di atas nakas. Aku pun balik ke rumah untuk mengambilnya. 

“Iya Sayang, habis ini kutransfer ya. Ngga papa kan kalau dua ratus dulu?” 

Aku baru sampai di ambang pintu, tiba-tiba terhenti karena mendengar suara Mas Yanto. 

“Ya sudah matikan dulu teleponnya.” 

Mas Yanto sedang menelepon siapa? Kenapa dia panggil sayang? 

“Bapak!” 

Suara anak kecil memanggil Bapak? Kupertajam pendengaranku untuk memastikan kebenaran yang terjadi.

“Ya Nak.” 

Nak? Siapa yang suamiku panggil? Anaknya? Bukannya dia bilang duda mati tidak punya anak? 

“Bapak kapan pulang?”

“Sebentar lagi bapak pulang.” 

“Pak. Jangan lupa beli jajan buat Rio ya.” 

Jadi anak itu namanya Rio? 

“Ya nanti bapak belikan cilok.”

“Mas mau pulang?

Terdengar suara perempuan yang berbicara.

Kenapa dia memanggil Mas Yanto, mas? Jangan-jangan ....

“Tapi sebentar saja ya. Banyak kerjaanku di sini, enggak bisa ditinggal.”

Berarti benar dugaanku selama ini. Mas Yanto diam-diam menyembunyikan sesuatu dariku. Dia sudah membohongiku. Wanita itu ... pasti istrinya. Dan anak kecil yang memanggilnya bapak itu ... sudah pasti itu anaknya. 

Jahat kamu Mas. Tega kamu bohongi aku dan keluargaku. 

“Mumpung bos sedang pergi, aku bisa pulang sebentar,” imbuhnya.

Apakah yang dimaksud itu aku? Jangan-jangan istri Mas Yanto pun tidak tahu kalau suaminya menikah lagi. 

Tanpa mengucapkan salam, kubuka pintu dengan kasar. Mas Yanto tampak terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Tangannya masih memegang ponsel dengan menampilkan sosok wanita di dalamnya.  

“Umi?” 

Gelagapan Yanto membalikkan ponsel dengan posisi tengkurap. Akan tetapi sia-sia, karena aku sudah terlanjur memergokinya. 

“Ternyata selama ini antum membohongiku. Antum bilang duda mati tidak punya anak. Terus itu yang di video call siapa? Kunti sama anaknya? “

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status