“Video call siapa, Bi?” tanyaku berharap Mas Yanto bisa berkata jujur.
“Bukan siapa-siapa, Mi.” Ia terlihat salah tingkah.
“Terus kenapa HP-nya disembunyikan di belakang?” Aku menatap tajam manik matanya yang hitam.
“Oh ... ini.” Mas Yanto mengeluarkan ponselnya. “Mati, Mi. Habis baterai. Hehehe.”
Bohong! Pasti sengaja di-nonaktifkannya, biar tidak ketahuan. Jelas-jelas tadi layarnya hidup, dan kudengar Mas Yanto memanggil sayang dengan lawan bicaranya.
Baiklah. Kalau memang Mas Yanto tidak mau mengaku, biar aku cari tahu sendiri.Lihat saja Mas Yanto, kalau sampai ketahuan berbohong, kamu akan tahu sendiri akibatnya.
“Mi, itu ... kuota abi habis," ucapnya kemudian, sambil meringis.
"Bukannya tiga hari yang lalu baru diisi?"
"Nggak tahu nih, Mi. Padahal cuma buat nonton ceramah di you tube. Kadang juga dipinjam Ohim buat nonton Upin-Ipin."
Sekarang, malah Rohim yang dijadikan alasan.
Kukeluarkan dompet dari dalam tas selempang. Membukanya lebar-lebar untuk mengeluarkan beberapa lembar yang ada di dalamnya.
“Dua ratus ribu buat Abi. Tiga ratus ribunya tolong kirimkan simbok, ya," kataku menyebut ibu Mas Yanto.“Terima kasih, Mi. Habis ini abi mau beli kuota sekalian pergi ke ATM.” Wajahnya tampak semringah setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan.
“Bukannya HP abi mati ya?” Aku menatapnya tajam.
“Oh iya ya. Abi lupa. Hehe.” Mas Yanto terlihat salah tingkah. “Abi mau ngecas HP dulu di kamar, habis itu beli kuota,” imbuhnya, berlalu menuju kamar.
Aku sangat yakin, kalau tadi itu Mas Yanto menyebut kata sayang di depan ponselnya. Sayang, belum sempat kulihat siapa orangnya, benda pipih itu sudah keburu disebunyikan di belakang punggung.
***
"Bi, Ohim minta uang jajannya, dong!" Rohim berdiri di hadapan Mas Yanto sambil menadahkan tangan. Wajahnya memelas, khas anak kecil minta uang jajan."Nih, dua ribu buat adik Ohim. Jangan jajan es loh ya. "Bocah enam tahun itu mengangguk-angguk sambil menerima selebaran uang dua ribu rupiah. Setelahnya ia melesat menuju warung Mbok Darmi.
Kuakui, bungsuku itu paling dekat dengan Mas Yanto. Bahkan, untuk urusan jajan pun ia lebih memilih minta pada bapak sambungnya itu.
Aku mengambil tas selempang, bersiap untuk berangkat kerja. Sore ini aku ada janji mempertemukan calon pembeli dengan pemilik tanah yang akan dijual. Aku tidak boleh lambat sampai di sana, agar klien tidak kecewa. Itu salah satu cara untuk menjaga eksistensiku dalam bekerja sebagai makelar tanah.
“Umi berangkat dulu, Bi.” Kuraih tangan Mas Yanto dan mengecup punggungnya dengan takzim. “Emmm ..., Mi. Ada uang enggak?” Mas Yanto meringis memberikan kode. “Dua ratus aja Mi, buat jajan cilok. Nanti kalau abi sudah kerja, abi ganti deh."Selalu itu yang dielu-elukannya. Nyatanya sampai sekarang dia tak kunjung mendapat pekerjaan. Kalau ditanya kenapa? Jawabnya, "Belum rezeki abi kayaknya, Mi."
Kukeluarkan sejumlah uang yang dipinta Mas Yanto dari dalam dompet. Padahal aku sedang menabung untuk membeli motor, tetepi kalau dia terus-menerus minta uang begini, kapan bisa terkumpul uangnya? “Makasih, Sayang. Semoga rezeki Umi lancar terus. Aamiin,” cuitnya, usai menerima uang.Aku pun turut mengaminkan.
Kutinggalkan rumah menuju pangkalan ojek. Kurang-lebih 100 meter dari rumah dan kutempuh dengan berjalan kaki.
Sebaiknya kuhubungi Pak Kirman, tukang ojek langgananku menjemput kemari untuk mempersingkat waktu. Saat kurogoh tas untuk mencari ponsel, baru teringat kalau benda itu tertinggal di atas nakas. Aku pun balik ke rumah untuk mengambilnya.
“Iya Sayang, habis ini kutransfer ya. Ngga papa kan kalau dua ratus dulu?”
Aku baru sampai di ambang pintu, tiba-tiba terhenti karena mendengar suara Mas Yanto.
“Ya sudah matikan dulu teleponnya.”
Mas Yanto sedang menelepon siapa? Kenapa dia panggil sayang?
“Bapak!”
Suara anak kecil memanggil Bapak? Kupertajam pendengaranku untuk memastikan kebenaran yang terjadi.
“Ya Nak.”
Nak? Siapa yang suamiku panggil? Anaknya? Bukannya dia bilang duda mati tidak punya anak?
“Bapak kapan pulang?”
“Sebentar lagi bapak pulang.”
“Pak. Jangan lupa beli jajan buat Rio ya.”
Jadi anak itu namanya Rio?
“Ya nanti bapak belikan cilok.”
“Mas mau pulang?
Terdengar suara perempuan yang berbicara.
Kenapa dia memanggil Mas Yanto, mas? Jangan-jangan ....
“Tapi sebentar saja ya. Banyak kerjaanku di sini, enggak bisa ditinggal.”
Berarti benar dugaanku selama ini. Mas Yanto diam-diam menyembunyikan sesuatu dariku. Dia sudah membohongiku. Wanita itu ... pasti istrinya. Dan anak kecil yang memanggilnya bapak itu ... sudah pasti itu anaknya.
Jahat kamu Mas. Tega kamu bohongi aku dan keluargaku.
“Mumpung bos sedang pergi, aku bisa pulang sebentar,” imbuhnya.
Apakah yang dimaksud itu aku? Jangan-jangan istri Mas Yanto pun tidak tahu kalau suaminya menikah lagi.
Tanpa mengucapkan salam, kubuka pintu dengan kasar. Mas Yanto tampak terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Tangannya masih memegang ponsel dengan menampilkan sosok wanita di dalamnya.
“Umi?”
Gelagapan Yanto membalikkan ponsel dengan posisi tengkurap. Akan tetapi sia-sia, karena aku sudah terlanjur memergokinya.
“Ternyata selama ini antum membohongiku. Antum bilang duda mati tidak punya anak. Terus itu yang di video call siapa? Kunti sama anaknya? “
“Mbok, titip anak anak-anak ya.” Ke sekian kalinya aku merepotkan Mbok Darmi.Kali ini kepergianku untuk urusan yang sangat penting. Menemui Paman Kiswo dan ustadz yang menikahkan aku dengan Mas Yanto.“Kamu sudah yakin, San sama keputusanmu?”“Insya Allah yakin Mbok. Tidak ada alasan lain yang membuat Susan ragu lagi.”“Ya sudah. Hati-hati di jalan.”“Iya Mbok.”Aku meninggalkan rumah dengan hati mantap, agar masa depanku dengan anak-anak lebih baik lagi.Ampuni hama-Mu ini ya Allah jika lagi-lagi memilih perceraian sebagai jalan keluar dari masalah. Karena hamba tidak sanggup jika terus menerus dibohongi. Lebih baik capek fisik, daripada lelah hati.**Tiba di rumah Paman Kiswo, disambut istri paman yang biasa kusapa Bi Asih. Bi Asih sudah seperti ibuku sendiri. Tidak pernah membedakan antara aku dengan anak-anak beliau.“Bibi sedih ikut kalau nasib rumah tanggamu, San,” ucap Bi Asih dengan mata berkaca-kaca. “Bibi masih ingat dulu waktu awal awal pernikahan bibi dengan pamanmu, ibu
Tidurku pulas sekali. Kalau saja tidak dibangunkan Akbar karena harus salat Magrib, mungkin aku masih keenakan tidur. Bahkan, Asar pun sudah terlewati. Aku pun beristigfar berkali-kali.“Kayaknya Ranti kecepekan banget ya. Sampe tidurnya lama gitu,” ucap simbok yang terdengar seperti sebuah nyinyiran. Masa bodoh. Lagi pula kedatanganku ke sini juga karena terpaksa. Dan satu lagi yang membuatku tambah kesal, panggilan ngawur wanita tua itu.“Susan, Mbok.” Mas Yanto meralat.“Oh, iya Susan. Maaf, simbok keingetnya sama Ranti terus.” Simbok terkekeh.Mereka pikir aku akan cemburu sama Ranti? Mereka salah besar. Malah rasaku pada Mas Yanto sudah menguap begitu saja saat kebohongannya itu sudah terungkap.“Kalau simbok kangen sama Ranti, kenapa dia nggak disuruh ke sini saja, bantu-bantu di dapur,” cetusku, lalu memasukkan makanan ke mulut. Tidak peduli siapa yang masak. Aku di sini sebagai tamu, karena Mas Yanto yang membawaku, jadi untuk apa aku ikut sibuk membantu mereka.“Yan, kenapa
Mas Yanto benar-benar mengibarkan bendera perang. Bisa-bisanya dia berani menjejakkan kakinya di rumahku. “Langsung saja, mau apa lagi Antum datang ke rumah ini?” Masih kuredam amarahku, mengingat ada anak-anak di rumah. Memang seharusnya tempat kami beradu bukanlah di rumah. Langsung saja di ring, biar kutinju sampai babak belur muka yang tidak tahu malu itu. “Umi lupa ya? Umi kan sudah janji mau ikut silaturahmi ke rumah simbok di kampung, kalau abi bersedia menjenguk Ohim di rumah sakit kemarin. Nah, abi kan sudah penuhi tuh permintaan Umi. Sekarang giliran Umi.” Ke rumah orang tua Mas Yanto? Kalau tidak penuhi, nanti aku dicap ingkar janji. Akan tetapi, apa yang harus kulakukan di sana, sementara mengenal mereka saja belum pernah? Lagi pula, aku sama Mas Yanto kan sebentar lagi mau cerai. Seharusnya tidak perlu lagi menjaga hubungan baik dengan keluarga besarnya. “Mi,” ucap Yanto, seolah menyadari kalau aku tengah melamun. “Iya aku mengerti.” Alhamdulillah. Kalau gitu, kita
“Ya Allah Cal, hati-hati kalau nyetir.”Untung mobil Faisal tidak sampai memukul pejalan kaki.“Kamu nggak apa-apa, San?” Faisal tampak rugi keadaanku.“Aku ngga papa kok. Justru yang kukhawatirkan itu kamu.”Lelaki itu malah nyengir. Entah apa yang ada di pikirannya?Mobil kembali melaju, dan kali ini Faisal tampak fokus mengemudikannya. Sampai akhirnya belok dan berhenti di halaman Masjid. Kami berdua turun untuk menunaikan kewajiban sebagai orang muslim.*Saya tidak menyangka kalau sore ini ada kejutan besar. Calon pembeli tanah yang kukukunjungi tidak lain dan bukan orang yang sudah lama kukenal. Temanku sendiri. Faisal. Dia membeli untuk membangun cabang butik yang akan dia kelola sendiri.“Kamu pasti sengaja mau ngerjai aku kan Cal?”Lelaki itu sejak tadi tidak henti-hentinya tertawa.“Maaf, saya hanya ingin tahu reaksi kamu aja. Lagi pula, sebenarnya ini tuh idenya mbakku. Kalau kamu mau protes, protes aja sama dia.”Ide Bu RT?“Mana berani aku protes sama majikanku sendiri. Y
“Tenangkan dirimu dulu, San. Ohim biar simbok yang jagain,” ujar Mbok Darmi.Saya sedang di warung Mbok Darmi. Menceritakan kejadian di rumah sakit yang mirip drama ikan buntal tadi. “Apa mungkin Rohim sudah diguna-guna Mas Yanto ya Mbok?” cetusku, tidak terima putraku terobsesi dengan lelaki pembohong itu.“Kamu ada-ada aja, San. Ohim itu Cuma butuh figur seorang ayah. Menurut simbok, kalau kamu mau Ohim lupa sama Yanto, ya kamu tinggal bawa aja pengganti Yanto.”“Maksud simbok?”“Ya kamu mencari suami baru buat gantiin Yanto.”Mataku membulat mendengar ide ngawur Mbok Darmi.“Ya Allah Mbok. Sebenarnya setelah apa yang menimpa rumah tangga Susan, Susan jadi tidak kepikiran mau menikah lagi. Susan masih trauma.”Mbok Darmi mengusap punggungku dengan lembut, hingga kurasakan kenyamanan di sana.“Yang sabar ya San. Insya Allah akan ada pelangi demi hujan badai.”“Ya Allah… simbok ternyata gaul juga ya. Bisa tahu kata-kata gitu.”“Oh… jangan salah. Gini-gini simbok hobi baca juga loh S
Ya Allah, ujian apa lagi yang akan Kau berikan pada hamba-Mu ini? Putra bungsuku terlihat sangat lahap menyantap makanan dari tangan Mas Yanto. Entah, pelet apa yang lelaki pembohong itu berikan pada putraku, sehingga ia seperti tidak bisa jauh-jauh darinya. “Sudah Bi. Ohim sudah kenyang.” “Sekali lagi deh. Habis itu Ohim minum obat ya.” Bocah itu pun menurut. Membuka mulutnya lebar-lebar saat suapan itu kembali masuk. “Ohim pinter banget ya. Sekarang minum obatnya.” Mas Yanto membuka bungkusan berisi obat yang tadi sempat kuberikan padanya. Satu per satu obat itu diberikan pada bungsuku, hingga menandaskan segelas air putih. “Tuh Mi. Dek Ohim pinter kan,” kata Mas Yanto mencoba menarik simpatiku. Sayangnya aku sudah tidak tertarik lagi. “Ohim istirahat ya, biar cepat sembuh,” imbuhnya merebahkan Rohim. “Abi jangan pergi ya,” pinta Bocah itu. Seakan takut ditinggalkan Mas Yanto lagi. “Nggak. Abi bakal di sini nemenin Ohim sampai Ohim sembuh, terus bisa pulang.” “Beneran ya B