“Tega, Antum membohongi saya.”
Aku masuk ke kamar untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Marah dan kecewa bercampur menjadi satu memenuhi ruangan di hati. Aku tidak boleh menitikkan air mata, apalagi untuk lelaki seperti Mas Yanto.
Awas saja kamu Mas. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalas kebohonganmu selama ini. Mengaku duda mati, nyatanya masih ada bini. Dan tadi itu ... diam-diam dia mengirim uang untuk istri pertamanya memakai uang hasil keringatku?
Jangan-jangan uang yang sering diminta untuk dikirimkan pada ibunya, malah dia kirimkan ke rekening istrinya?
~A.M~
“Mi, abi minta maaf. Abi akui, kalau abi memang salah. Tapi, abi mohon umi maafin abi.” Mas Yanto tiba-tiba berlutut di hadapanku.
Halah, paling cuma akal-akalan Mas Yanto saja, biar aku merasa iba, hingga dengan mudah memaafkannya.
“Apa istri Antum tahu tentang pernikahan ini?”
Aku sudah kehilangan kepercayaan padanya, sehingga kuputuskan untuk menggunakan panggilan seperti saat pertama kalinya kami kenal di Medsos.
Penjahat berkedok agama. Membawa nama agama untuk menjerat korbannya.
“Terus terang, dia belum tahu. Mereka tahunya aku sendang merantau di Jakarta.”
“Jadi anak Antum ada berapa? Kenapa Antum tega membohongi mereka? Tidak takutkah Antum pada hari pembalasan? Hari di mana semua manusia diadili seadil-adilnya sesuai dengan perbuatan mereka? “ Aku berkata dengan bibir bergetar.
Dia yang sering memposting artikel berisi ceramah, seharusnya dia ebih tahu.
“Maka dari itu, abi minta maaf sama Umi.”
“Tidak semudah itu. Orang yang seharusnya Antum mintai maaf itu istri Antum, karena Antum sudah mengkhianati cinta dan juga kepercayaannya.”
Mas Yanto terdiam. Sepertinya lelaki itu sedang memikirkan sesuatu.
“Antum bisa pulang ke rumah istri Antum sekarang juga untuk mengatakan yang sejujurnya. Katakan juga pada istri Antum kalau saya sudah siap kapan pun Antum tinggalkan.”
Pernikahan yang diawali dengan suatu kebohongan, buat apalagi dipertahankan? Nanti malah akan menambah rasa sakit. Bukan hanya hatiku, tetapi juga hati istri pertamanya.
Pantas saja waktu pernikahan kami, dari keluarga Mas Yanto tidak ada satu orang pun yang datang. Alasannya, ibunya sudah lanjut usia, sudah tidak kuat lagi bepergian jauh. Hanya video call simbok alias ibunya Mas Yanto sebagai alat untuk komunikasi antara aku dengan ibu mertuaku itu. Bodohnya aku dulu, kenapa tidak membaca kejanggalan itu?
“Abi enggak mau kita bercerai, Mi. Abi yakin, Ranti bakal menerima Umi sebagai adik madunya. Anak-anak abi juga bakal menerima anak-anak umi sebagai saudara mereka.”
Aku tersenyum sinis mendengar kalimat Mas Yanto. Baiklah, karena dia sudah mempermainkanku, tidak ada salahnya kan kalau sekarang aku benar-benar mengikuti permainannya?
“Antum tidak perlu banyak omong. Kalau memang sanggup, silakan dibuktikan. Pulang dan beritahu istri Antum tentang semuanya.”
Sebenarnya itu cara halusku untuk mengusirnya. Namun, sepertinya lelaki itu tidak peka. Atau mungkin itu salah satu modus, biar dia tetap bertahan di rumah ini?
“Abi janji bakal mencari pekerjaan lagi, biar enggak terus-terusan nyusahin Ummi," cicitnya.
“Saya masih mampu menafkahi anak-anak saya, Akh. Sebaiknya Antum fokus aja menafkahi anak-anak Antum. Insya Allah, saya dan anak-anak baik-baik saja di sini.”
“Enggak bisa, Mi. Sebagai imam, sudah tugas abi untuk menafkahi Umi sebagai istri abi.”
Ya Allah, Dia apa tidak ngaca? Selama hampir empat bulan ini yang banting-tulang siapa? Pintar sebatas di bibir saja, tetapi praktiknya ... nol besar.
“Biar Antum ringan tugasnya, nanti saya minta tolong sama paman untuk mengurus perceraian kita. Jadi untuk sementara ini, Antum bisa pulang dulu ke rumah istri pertama Antum.”
“Tapi, Mi ....”
Kutatap tajam mata Mas Yanto. Sampai akhirnya lelaki itu pasrah dan mengemas semua bajunya yang ada di lemari.
Mas Yanto pamit sambil mengulurkan tangannya, berharap aku mencium seperti biasa yang kulakukan. Akan tetapi, aku tak memedulikannya. Sibuk membalas pesan masuk dari calon pembeli kavling yang kemarin kuposting di Medsos.
Aku masih bertahan di kamar saat lelaki itu melangkahkan kaki untuk meninggalkan rumah ini. Hingga, kemudian ....
“Abi mau pergi ke mana?! Abi jangan tinggalin Ohim!”
“Mbok, titip anak anak-anak ya.” Ke sekian kalinya aku merepotkan Mbok Darmi.Kali ini kepergianku untuk urusan yang sangat penting. Menemui Paman Kiswo dan ustadz yang menikahkan aku dengan Mas Yanto.“Kamu sudah yakin, San sama keputusanmu?”“Insya Allah yakin Mbok. Tidak ada alasan lain yang membuat Susan ragu lagi.”“Ya sudah. Hati-hati di jalan.”“Iya Mbok.”Aku meninggalkan rumah dengan hati mantap, agar masa depanku dengan anak-anak lebih baik lagi.Ampuni hama-Mu ini ya Allah jika lagi-lagi memilih perceraian sebagai jalan keluar dari masalah. Karena hamba tidak sanggup jika terus menerus dibohongi. Lebih baik capek fisik, daripada lelah hati.**Tiba di rumah Paman Kiswo, disambut istri paman yang biasa kusapa Bi Asih. Bi Asih sudah seperti ibuku sendiri. Tidak pernah membedakan antara aku dengan anak-anak beliau.“Bibi sedih ikut kalau nasib rumah tanggamu, San,” ucap Bi Asih dengan mata berkaca-kaca. “Bibi masih ingat dulu waktu awal awal pernikahan bibi dengan pamanmu, ibu
Tidurku pulas sekali. Kalau saja tidak dibangunkan Akbar karena harus salat Magrib, mungkin aku masih keenakan tidur. Bahkan, Asar pun sudah terlewati. Aku pun beristigfar berkali-kali.“Kayaknya Ranti kecepekan banget ya. Sampe tidurnya lama gitu,” ucap simbok yang terdengar seperti sebuah nyinyiran. Masa bodoh. Lagi pula kedatanganku ke sini juga karena terpaksa. Dan satu lagi yang membuatku tambah kesal, panggilan ngawur wanita tua itu.“Susan, Mbok.” Mas Yanto meralat.“Oh, iya Susan. Maaf, simbok keingetnya sama Ranti terus.” Simbok terkekeh.Mereka pikir aku akan cemburu sama Ranti? Mereka salah besar. Malah rasaku pada Mas Yanto sudah menguap begitu saja saat kebohongannya itu sudah terungkap.“Kalau simbok kangen sama Ranti, kenapa dia nggak disuruh ke sini saja, bantu-bantu di dapur,” cetusku, lalu memasukkan makanan ke mulut. Tidak peduli siapa yang masak. Aku di sini sebagai tamu, karena Mas Yanto yang membawaku, jadi untuk apa aku ikut sibuk membantu mereka.“Yan, kenapa
Mas Yanto benar-benar mengibarkan bendera perang. Bisa-bisanya dia berani menjejakkan kakinya di rumahku. “Langsung saja, mau apa lagi Antum datang ke rumah ini?” Masih kuredam amarahku, mengingat ada anak-anak di rumah. Memang seharusnya tempat kami beradu bukanlah di rumah. Langsung saja di ring, biar kutinju sampai babak belur muka yang tidak tahu malu itu. “Umi lupa ya? Umi kan sudah janji mau ikut silaturahmi ke rumah simbok di kampung, kalau abi bersedia menjenguk Ohim di rumah sakit kemarin. Nah, abi kan sudah penuhi tuh permintaan Umi. Sekarang giliran Umi.” Ke rumah orang tua Mas Yanto? Kalau tidak penuhi, nanti aku dicap ingkar janji. Akan tetapi, apa yang harus kulakukan di sana, sementara mengenal mereka saja belum pernah? Lagi pula, aku sama Mas Yanto kan sebentar lagi mau cerai. Seharusnya tidak perlu lagi menjaga hubungan baik dengan keluarga besarnya. “Mi,” ucap Yanto, seolah menyadari kalau aku tengah melamun. “Iya aku mengerti.” Alhamdulillah. Kalau gitu, kita
“Ya Allah Cal, hati-hati kalau nyetir.”Untung mobil Faisal tidak sampai memukul pejalan kaki.“Kamu nggak apa-apa, San?” Faisal tampak rugi keadaanku.“Aku ngga papa kok. Justru yang kukhawatirkan itu kamu.”Lelaki itu malah nyengir. Entah apa yang ada di pikirannya?Mobil kembali melaju, dan kali ini Faisal tampak fokus mengemudikannya. Sampai akhirnya belok dan berhenti di halaman Masjid. Kami berdua turun untuk menunaikan kewajiban sebagai orang muslim.*Saya tidak menyangka kalau sore ini ada kejutan besar. Calon pembeli tanah yang kukukunjungi tidak lain dan bukan orang yang sudah lama kukenal. Temanku sendiri. Faisal. Dia membeli untuk membangun cabang butik yang akan dia kelola sendiri.“Kamu pasti sengaja mau ngerjai aku kan Cal?”Lelaki itu sejak tadi tidak henti-hentinya tertawa.“Maaf, saya hanya ingin tahu reaksi kamu aja. Lagi pula, sebenarnya ini tuh idenya mbakku. Kalau kamu mau protes, protes aja sama dia.”Ide Bu RT?“Mana berani aku protes sama majikanku sendiri. Y
“Tenangkan dirimu dulu, San. Ohim biar simbok yang jagain,” ujar Mbok Darmi.Saya sedang di warung Mbok Darmi. Menceritakan kejadian di rumah sakit yang mirip drama ikan buntal tadi. “Apa mungkin Rohim sudah diguna-guna Mas Yanto ya Mbok?” cetusku, tidak terima putraku terobsesi dengan lelaki pembohong itu.“Kamu ada-ada aja, San. Ohim itu Cuma butuh figur seorang ayah. Menurut simbok, kalau kamu mau Ohim lupa sama Yanto, ya kamu tinggal bawa aja pengganti Yanto.”“Maksud simbok?”“Ya kamu mencari suami baru buat gantiin Yanto.”Mataku membulat mendengar ide ngawur Mbok Darmi.“Ya Allah Mbok. Sebenarnya setelah apa yang menimpa rumah tangga Susan, Susan jadi tidak kepikiran mau menikah lagi. Susan masih trauma.”Mbok Darmi mengusap punggungku dengan lembut, hingga kurasakan kenyamanan di sana.“Yang sabar ya San. Insya Allah akan ada pelangi demi hujan badai.”“Ya Allah… simbok ternyata gaul juga ya. Bisa tahu kata-kata gitu.”“Oh… jangan salah. Gini-gini simbok hobi baca juga loh S
Ya Allah, ujian apa lagi yang akan Kau berikan pada hamba-Mu ini? Putra bungsuku terlihat sangat lahap menyantap makanan dari tangan Mas Yanto. Entah, pelet apa yang lelaki pembohong itu berikan pada putraku, sehingga ia seperti tidak bisa jauh-jauh darinya. “Sudah Bi. Ohim sudah kenyang.” “Sekali lagi deh. Habis itu Ohim minum obat ya.” Bocah itu pun menurut. Membuka mulutnya lebar-lebar saat suapan itu kembali masuk. “Ohim pinter banget ya. Sekarang minum obatnya.” Mas Yanto membuka bungkusan berisi obat yang tadi sempat kuberikan padanya. Satu per satu obat itu diberikan pada bungsuku, hingga menandaskan segelas air putih. “Tuh Mi. Dek Ohim pinter kan,” kata Mas Yanto mencoba menarik simpatiku. Sayangnya aku sudah tidak tertarik lagi. “Ohim istirahat ya, biar cepat sembuh,” imbuhnya merebahkan Rohim. “Abi jangan pergi ya,” pinta Bocah itu. Seakan takut ditinggalkan Mas Yanto lagi. “Nggak. Abi bakal di sini nemenin Ohim sampai Ohim sembuh, terus bisa pulang.” “Beneran ya B