Gumaman terdengar dari mulut Bolet. Erik yang baru saja selesai mengoles salep di luka Mei segera mendekati pria itu. Dengan kasar, dia menarik kresek yang menutupi wajah Bolet ke atas. Terdengar umpatan dari Bolet. Erik tidak terganggu sama sekali. Dia kembali menarik paksa kain yang menutupi mata Bolet.“Jan**k!!” Kali ini Bolet mengumpat lebih keras.Erik terkekeh mendengarnya.Bolet menutup matanya rapat-rapat. Cahaya yang tiba-tiba memasuki matanya menyakitinya. Setelah beberapa saat, matanya mulai terbiasa. Matanya pun terbuka perlahan. Di depannya sudah berdiri seorang wanita. Matanya tampak dingin, angkuh, dan menyimpan dendam membara. Seketikaa Bolet merasa tengkuknya merinding melihat betapa kuat tekad wanita ini untuk menghancurkannya.Bolet melirik sekitarnya. Dia merasa asing dengan ruangan ini. Dia menyadari mereka sudah tidak lagi berada di warung makan.“Sial!!” batinnya. Jika mereka masih di warung pelabuhan, Bolet yakin dia akan cepat mendapat pertolongan. Di sini???
Mei tidak bisa tenang. Dia terus saja memikirkan pengakuan Bolet tentang seorang wanita yang menginginkan kematiannya. Siapa dan siapa terus menggerogoti pikirannya. Ingin rasanya dia menelepon Retno dan bertanya pada ibu mertuanya itu tentang kenalan Albert yang mungkin tinggal di Jakarta. Namu Mei tidak ingin wanita yang sangat baik itu mengetahui kalau dia sedang mengejar seorang pembunuh. Dia yakin Retno akan histeris dan menyuruhnya mundur.Malam sudah semakin larut dan matanya tetap saja terbuka lebar. Angin malam menerobos melalui jendelanya yang sengaja tidak dia tutup sempurna. Gordennya berkibar-kibar tertiup angin. Semakin dia menutup matanya erat, dia semakin teringat Bolet yang kini masih berada di gudang sasana. Ingin rasanya dia memaksa preman itu untuk mengatakan yang sebanyak-banyaknya. Namun Erik melarangnya. Pria itu masih memiliki hati nurani untuk tidak menyiksa Bolet lebih hebat.Ponsel Bolet sudah dia serahkan pada Lili tadi. Adiknya berjanji akan memberikan jaw
“Aku harus ke Jakarta.” Mei mengucapkan kalimat itu saat makan malam dengan Lily.Kedua kakak beradik itu tengah menikmati santap malam dengan menu nasi goreng Jawa lengkap dengan sawi, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tidak lupa kerupuk juga di dalam stoples.“Kau serius, Kak?” Lily tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Mei mangangguk. “Aku terus saja terngiang Albert. Aku merasa bersalah karena aku sudah separuh jalan untuk mengetahui siapa penjahat aslinya.”Lily tidak bisa menjawab. Dia tahu bagaimana sukitnya kehidupan kakaknya dulu saat ditinggal Albert. Jika sekarang dia sudah menemukan petunjuk, wajar da akan terus mengejarnya.“Maaf aku tidak bisa menemanimu sekarang, Kak,” ucap Lily. “Tugas liburanku menggunung. Tapi kalau kakak butuh bantuanku dengan kamera keamanan, kirim pesan saja. Aku akan mengurusnya dari sini.”Mei menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah. Terima kasih kau sudah bersedia menolongku. Aku sudah memesan tiket untuk besok siang.”“Kenapa cepat sekali?
Cuaca Jakarta cukup terik. Sepasang pria dan wanita baru saja keluar dari bandara Soetta. Masing-masing dari mereka membawa satu ransel berukuran sedang. Wajah si wanita tampak tegang dengan raut dingin sedangkan si pria tampak lebih santai tapi tetap waspada.“Aku harus ke toilet,” ucap Mei sambil melirik Erik di sebelahnya.“Oke. Aku akan menunggumu di cafe itu.” Erik menunjuk satu cafe yang berada tidak jauh dari pintu toilet.Mei mengangguk. “Oke, pesankan aku latte.”“Siap. Ada lagi?”Mei menggeleng. “Itu saja.”Saat mereka hendak berpisah, tiba-tiba saja Erik menahan tangan Mei. “Mana tasmu? Biar aku bawakan,” ucapnya.Mei langsung tersenyum. “Kau memang teman terbaik,” ucapnya tulus.“Hanya teman? Yakin?” Erik mencoba menggoda Mei.Namun Mei malah berdecak. “Jangan aneh-aneh, Erik! Aku tidak ingin penggemarmu di sasana membenciku.”Jawaban yang Mei berikan justru membuat Erik semakin enggan melepas tangan Mei. “Apa itu berarti jika tidak ada penggemar, kamu mempertimbangkan unt
“Ini akan menjadi tempat tinggal kita selama berada di Jakarta.” Dengan sebuah kartu, Erik membuka pintu apartemen yang dipinjamnya dari Dodi.Sebuah apartemen dengan dua kamar tidur, sebuah dapur sederhana dan satu set sofa. Dalam hati, Mei cukup bersyukur dengan tempat ini. Dia masih bisa beristrahat dengan baik tanpa takut Erik harus tidur di sofa.Mei berjalan ke arah dapur, membuka lemari esnya yang ternyata sudah terisi. Mungkin ini memang fasilitas yang diberikan Dodi.“Dodi beneran tidak tinggal di sini, ‘kan?” Mei memastikan sekali lagi.Erik mengangguk. “Tenang aja, dia punya tiga apartemen. Dia pakai satu, yang dua disewakan. Kebetulan yang baru dua minggu yang lalu dikembalikan oleh penyewa terakhir. Dan untungnya masih belum ada lagi yang menyewa. Jadi kita bisa pakai sampai semua urusan kita di sini tuntas.”“Urusan kita?” Mei menatap Erik dalam-dalam.“Urusan kita, Mei.” Erik berjalan perlahan ke arah Mei. Dia berdiri tepat di depan wanita yang sudah menawan hatinya. Ma
“Lily sudah memberiku lokasi terkini Toni Kurniawan,” ucap Mei saat sedang sibuk memasak sarapan.Erik baru saja keluar dari kamar. Rambutnya masih basah dan wangi sabun tercium kuat di hidung Mei. Dengan santainya, Erik duduk menghadap kitchen island¸ memperhatikan gerak-gerik wanita yang sudah mengobrak-abrik hatinya.“Di mana?” tanya Erik. Dia mengambil satu gelas jus apel tanpa es yang ada di meja. “Eh, ini memang buat aku, ‘kan?”Mei menoleh sebentar lalu mengangguk. “Ambil aja! Itu memang buat kamu. Aku lebih suka teh hangat,” jawab Mei. “Oh iya, Lily bilang Toni ada di Jakarta Selatan.”“Oke, kita bisa berangkat setelah sarapan,” sahut Erik.Mei mengangguk. Dia mulai memindahkan masakannya ke atas piring. Telur mata sapi setengah matang, sosis bakar, kentang tumbuk, dan buncis, siap dinikmati.“Tumben masak begini? Biasanya nasi,” ujar Erik sambil mencomot kentang tumbuknya. Kepalanya mengangguk tanda menikmati masakan Mei.“Aku tahu kau jarang makan nasi kalau pagi begini. Jad
Matahari telah terbenam sempurna. Mei sudah meyakinkan dirinya untuk totalitas mencari pembunuh suaminya. Dia bersumpah tidak akan membuat penjahat brengsek itu hidup dengan tenang.Tok! Tok!“Mei, sudah belum? Kenapa lama?” Erik berteriak dari luar kamar Mei.Ketukan itu sontak membuyarkan lamunan Mei. “Iya, sebentar!!” teriak Mei.Mei kembai mematut dirinya di cermin. Dia memakai atasan halter yang bawahnya dipasang karet dengan panjang tepat sampai di pinggang Mei. Baju itu terbuat dari kain sifon hingga memamerkan lekuk tubuh atasnya dengan sangat baik meski baju itu tidak ketat.Untuk bawahan, Mei tetap nyaman dengan celana panjang. Ibu satu anak itu mempercantik tampilannya dengan memakai sepatu setinggi tujuh sentimeter yang cantik meski modelnya sederhana.Mei membuka pintu kamarnya dan Erik mematung begitu saja. Pria itu merasa seakan seluruh kesadarannya tersedot pada satu sosok di depannya.“Erik!!” Mei menjentikkan jarinya di depan wajah pria yang melamun itu.“Eh?” Erik g
Mei terus diseret oleh dua pengawal itu. Sesekali, dia berpura-pura menoleh ke belakang, memastikan Erik masih mengawasinya. Bagaimana pun juga, Mei rasa dia akan bertemu dengan teman-teman penjaga yang menyeretnya ini ke mana pun dia akan dibawa. Dan Mei akan sangat kesulitan menghadapi beberapa pria besar seperti mereka ini sekaligus.Setelah menaiki dua tangga, Mama Alan itu dibawa masuk ke sebuah ruangan di lantai tiga. Ruangan itu tidak begitu luas. Dindingnya dicat merah. Kursi-kursi dan meja besar dari kayu yang dipelitur diletakkan di tengah. Gordennya yang tebal dan tinggi menggunakan kain berwarna cokelat. Ada juga lukisan-lukisan berukuran besar dipajang di tembok. Secara keseluruhan, ruangan ini cukup suram bagi Mei. Tidak ada kehangatan dalam udaranya.“Duduk!”Bahu Mei ditekan ke bawah, memaksanya untuk duduk. Mei menurut saja. lengannya sudah dilepas. Kemudian dia mendengar suara langkah menjauh disusul dengan pintu yang tertutup.Mei mengedarkan pandangannya. Sendiri.