Share

If He Love Me

Alya melambaikan tangannya pada sang suami yang sudah menaiki mobilnya. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Demi apapun. Dulu menyapa lelaki yang berprofesi dokter itu terasa mustahil. Tapi, sekarang dia bisa hidup bersama dan menjadi bagian dari hidup lelaki bersurai hitam itu. Terima kasih pada hubungan orang tuanya yang sangat baik dengan kedua orang tua Mas Atha. Cintanya yang dulu hanya bagaikan api di atas air kini menjadi kenyataan.

"Assalamualaikum. " Atha menjinjak pedal gas agar mobil hitam melaju meninggalkan rumah.

"Waallaikumsalam. Hati-hati mas."

****

Atha menghela nafas berat. Entah sudah keberapa kalinya. Gundah adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya hari ini. Sudah dua bulan dia menikahi wanita baik bernama Alya. Wanita pilihan kedua orang tuanya yang sejujurnya memiliki wajah imut. Tubuhnya yang tidak terlali tinggi dan pipi tembam menambah kesan imut wanita berhijab tersebut. Tapi, sekalipun wanita yang kini masih kuliah jurusan bahasa inggris itu sangat menawan, hal tersebut tidak bisa membuatnya melupakan sang mantan.

Bagaimana kabar wanita yang pernah dan masih mengisi hatinya tersebut. Sudah hampir tiga bulan dia tidak mendapat kabar tentangnya. Terakhir kali mereka bertemu adalah satu bulan sebelum pernikahannya dengan Alya. Tepatnya bulan juli lalu.

Masih segar di ingatannya bagaimana wajah cantik wanita kurus itu memerah dengan air mata bercucuran. Sungguh itu adalah momen yang tidak pernah ingin Atha ingat namun selalu mampir ke setiap lamunannya. Bagaimana dia buat wanita yang ia ingin agar menjadi ibu dari anaknya kelak, menangis tersedu-sedu. Cincin yang dia berikan telah kembali ke tangan. Kini berada di jari manis sang istri. Sang mantanlah yang meminta agar Atha memberikannya kepada siapapun wanita yang akan dinikahinya.

"Hah..." ia menghembuskan nafas kasar.

Rasa bersalah memenuhi dadanya mengingat Siska, teman sekelas yang juga mantan kekasihnya. Tidak bisa dia bayangkan betapa kecewanya wanita bermata hazel gelap itu ketika Atha memutuskan hubungan yang sudah terjalin hampir tiga tahun.

Namun begitu Atha tahu betul mengapa kedua orang tuanya menentang hubungan mereka. Perbedaan agama adalah faktor utama. Siapa sangka bahwa wanita yang baik dengan wajah menawan yang sudah amat ia cintai adalah seorang nasrani. Tentu Atha tidak mungkin menikahinya.

Tak terasa waktu 20 menit berlalu begitu saja hanya untuk mengenang Siska. Atha sampai di rumah sakit. Dalam hati kagum bahwa dia tidak menabrak setelah menyetir sambil melamun.

Mengais bungkusan bekal yang Alya bawakan untuknya. Entah apa isinya. Tapi, dari aromanya saja Atha bisa tahu bahwa di dalamnya ada tumis kentang favoritnya.

Hm..hebat juga Alya bisa tahu makanan yang Atha sukai.

"Wah...hari ini bawa bekal? Aromanya enak. Istrinya mas yang masak?" Seorang lelaki berjas hitam menghampirinya dengan wajah sumringah.

Atha menyipitkan mata heran. Waktu belum genap menunjuk angka 6 dan anak dari pemilik rumah sakit tempatnya bekerja sudah berada di sana. Ada apa gerangan.

"Kenapa kamu di sini, Fan?" Tanya Atha tak menghiraukan lelaki 25 tahun yang telah merebut bekal makanan dari tangannya.

"Papa memintaku untuk mengambil beberapa berkas di kantornya." Difan menjawab dengan nada malas. Dia menarik sebuah kursi yang ada di depan meja kerja kakak kelasnya saat SMA kemudian mendudukinya. Membuka kotak makan berwarna hijau itu dan ber-wow-ria mendapati tiga jenis hidangan di sana lengkap dengan nasi yang masih mengepulkan asap.

"Wah...sepertinya enak." Ucapnya sambil mengusap perutnya yang keroncongan minta diisi.

"Makan saja kalau mau." Atha berucap tanpa menatap lawan bicaranya. Mengambil jas putih khas seorang dokter dari loker tinggi di samping jendela dan mengenakannya.

"Yang benar. Ini masakan istrimu lho." Tanya Difan memastikan. Mungkin Atha ngelindur. Biasanya pelit sekali sekarang tiba-tiba memberikan bekal buatan istri pula padanya. Tambahan dengan cuma-cuma. Sepertinya akan terjadi badai nanti.

"Mau apa tidak?" Atha sepertinya dalam mood jelek untuk diajak bercanda hari ini.

"Tentu saja mau." Difan segera mengambil kotak makan yang masih terbuka di atas meja. Menutupnya kembali dan memegangnya erat-erat.

Kemudian lelaki dengan wajah tampan itu segera pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status