Share

Chapter 6

Author: NamNamjoo
last update Last Updated: 2025-10-13 19:26:32

Suara terompet pagi meraung keras, membangunkan seluruh pasukan. Di bawah langit yang masih abu-abu, barisan tentara mulai berkumpul di lapangan tanah merah yang basah oleh embun.

Sepatu lars menghentak serentak, menimbulkan dentuman ritmis yang menggema ke bukit-bukit sekitar desa.

“Siap, grak!”

Komando suara lantang itu menggema. Praja berdiri tegap di depan pasukan, wajahnya dingin dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan.

Seragam loreng yang melekat di tubuhnya tampak rapi, pita komandan di bahunya berkilau tertimpa sinar matahari pagi yang mulai menyembul.

Para prajurit menatapnya penuh wibawa. Meski usianya belum terlalu tua, Praja dikenal keras, disiplin, tapi adil.

“Patroli hari ini, sektor barat dan utara. Jangan lengah. Ada laporan gerakan mencurigakan dari kelompok penyelundup,” suara Praja datar, tapi tajam.

“Siap, Komandan!” sahut barisan kompak.

Latihan pagi selesai, mereka langsung membagi regu. Beberapa prajurit muda tampak mengeluh pelan ketika harus membawa senjata penuh beban. Salah satunya, prajurit Seno, melirik temannya sambil bergumam.

“Gila, Komandan ini nggak kenal ampun. Baru balik patroli malam, pagi udah suruh jalan lagi.”

Prajurit Doni menepuk bahunya, menahan tawa. “Udah biasa, No. Kalau nggak keras gini, kita udah lama jadi korban musuh. Mending keras di sini daripada mati di lapangan.”

Seno hanya mendengus, lalu memperbaiki letak ranselnya. Meski sering menggerutu, ia sebenarnya kagum dengan Praja. Komandan itu selalu ikut terjun langsung, bukan sekadar memerintah dari belakang.

Di pos utama, aktivitas berlangsung cepat. Beberapa prajurit membersihkan senjata, ada yang menyiapkan logistik, sebagian lagi memeriksa peta wilayah. Aroma kopi hitam dari dapur sederhana bercampur dengan bau solar dari kendaraan patroli.

Praja berjalan mengitari pos, matanya tajam mengawasi setiap detail. Ia berhenti ketika melihat seorang prajurit muda salah memasang magasin di senjata.

“Kau mau bunuh dirimu sendiri?” tegurnya dingin.

Prajurit itu langsung pucat, lalu buru-buru memperbaiki.

“Maaf, Komandan! Tidak akan terulang!”

Praja hanya mengangguk tipis, kemudian melangkah lagi.

Di balik sikap dinginnya, semua orang tahu Praja peduli. Ia tidak ingin satu pun dari mereka lengah. Perbatasan bukanlah tempat main-main. Satu kelalaian bisa jadi tiket menuju liang lahat.

Siang menjelang, panas mulai menyengat. Regu patroli bersiap berangkat, deru mesin mobil taktis terdengar. Praja ikut naik ke salah satunya, duduk di kursi depan bersama sopir. Di tangannya tergenggam peta, matanya menatap lurus ke jalanan berdebu yang terbentang ke arah desa.

“Komandan,” Seno yang duduk di belakang mencondongkan tubuh, suaranya lirih. “Benar ada kabar kalau kelompok penyelundup itu bawa perempuan-perempuan dari kota?”

Praja menoleh sekilas. “Itu yang sedang kita pastikan. Kalau benar, mereka tidak akan bisa lolos. Selama aku di sini, tidak ada manusia yang bisa diperdagangkan seenaknya.”

Matahari siang semakin tinggi, panasnya menelusup sampai ke kulit meski seragam loreng cukup tebal. Mobil patroli berderet, berbelok menuju jalur berbatu yang menanjak ke arah bukit. Suara mesin berpadu dengan kicau burung dan desir angin.

Praja tetap duduk tegak, menatap jalan dengan sorot mata tajam. Sementara prajurit lain mulai bergumam kecil, ada yang mengusap keringat, ada pula yang sesekali melirik jam di pergelangan tangan.

“Komandan ini kayak mesin, nggak ada capeknya,” bisik Seno ke Doni.

“Diam, No. Kalau kedengaran, bisa kena push-up satu jam,” balas Doni sambil menahan tawa.

Suasana sedikit cair, meski tetap terjaga ketegangan khas patroli.

Tak lama, regu berhenti di sebuah pos kecil di pinggir hutan. Pos itu sederhana: bangunan papan dengan atap seng, bendera merah putih berkibar tegak di depannya. Beberapa prajurit yang berjaga di sana langsung berdiri memberi hormat.

“Laporan, Komandan! Situasi aman terkendali,” ucap salah satu prajurit senior sambil menegakkan badan.

Praja mengangguk. “Tetap waspada. Jangan abaikan gerakan sekecil apa pun.”

Setelah memeriksa pos, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Namun kali ini lebih santai, mereka memutari desa untuk memastikan keamanan. Anak-anak desa berlarian di pematang sawah, melambaikan tangan. Beberapa bahkan bersorak riang saat mobil tentara lewat.

“Komandan, lihat tuh. Kalau kita lewat, mereka kayak liat artis aja,” kata Seno sambil nyengir.

Praja melirik sejenak ke arah anak-anak itu, wajahnya tetap datar. “Artis tidak akan menyelamatkan mereka kalau musuh datang.”

Hening mendadak tercipta, membuat semua prajurit kembali duduk tegap.

Sore menjelang, pasukan kembali ke barak utama. Bangunan itu berdiri kokoh di tepi desa, terbuat dari kayu besar dengan atap seng yang berlapis daun kering.

Suasana riuh mulai terdengar, sebagian prajurit sibuk membersihkan senjata, ada yang mencuci pakaian, sebagian lagi menyiapkan makan malam.

Di dapur, aroma nasi hangat bercampur dengan wangi sayur asem dan sambal.

Suara gelak tawa terdengar di meja panjang tempat beberapa prajurit melepas penat.

“Eh, No, katanya bapakmu nyuruh cepet nikah, ya?” canda Doni sambil mendorong bahu Seno.

Seno mendengus. “Iya, tapi siapa yang mau sama prajurit pangkat rendah? Gaji nggak seberapa, tiap hari nyawa di ujung tanduk.”

Prajurit lain menimpali, “Eh, jangan salah. Tentara tuh idaman banyak perempuan, apalagi kalau gagah kayak Komandan.”

Sontak tawa meledak di ruangan itu.

Seno hanya mendengus, tapi dalam hati ia setuju. Sosok Praja memang jadi panutan, bahkan di mata warga desa.

Usai apel malam, sebagian prajurit memilih duduk berkelompok di teras barak. Lampu gantung dari bohlam kecil menyinari wajah-wajah lelah mereka, namun obrolan ringan membuat suasana jadi lebih hangat.

Seno duduk sambil menyeduh kopi sachet. Asap tipis mengepul dari gelas kaleng. Di sampingnya, Doni yang sudah beristri tampak merebahkan badan, sementara dua prajurit lain, Yudha dan Tama, ikut nimbrung.

“Kalau sudah pulang cuti, rasanya nggak mau balik lagi ke barak,” keluh Doni sambil menatap langit malam. “Anak pertamaku udah bisa jalan. Tapi aku cuma lihat sebentar, sudah harus berangkat lagi.”

Yudha menepuk bahunya. “Makanya jangan nikah buru-buru, Don. Hidup tentara tuh nggak gampang. Waktu kita lebih banyak buat negara daripada buat keluarga.”

Seno tertawa kecil. “Lah, bukannya kamu dulu yang paling semangat nikah? Katanya biar ada yang nunggu di rumah.”

Doni mendesah. “Iya, tapi kenyataannya berat, No. Kadang kasihan sama istri. Dia sendirian ngurus anak, aku nggak bisa selalu ada.”

Obrolan itu membuat suasana hening sejenak. Mereka semua tahu, hidup tentara bukan hanya soal latihan keras dan disiplin baja, tapi juga pengorbanan pribadi yang tak sedikit.

Tama, prajurit yang masih lajang, tiba-tiba menyahut dengan nada bercanda.

“Kalau aku sih mending belum nikah. Nggak ada yang nungguin, jadi nggak ada yang marah kalau aku pulang telat.”

Yudha mendengus.

“Alasannya klasik. Padahal mah, kamu nggak laku.”

Semua tertawa, pecah di tengah malam yang sunyi.

Seno ikut menimpali, “Eh, jangan salah. Di desa sini banyak gadis cantik, loh. Tinggal pilih aja. Cuma masalahnya, kalau kita bawa pulang ke rumah, langsung ditolak keluarga besar.”

“Kenapa?” tanya Doni.

“Ya jelas. Pangkat masih rendah, gaji pas-pasan. Orang tua maunya calon menantu mapan. Mana ada yang rela anaknya hidup sederhana bareng tentara rendahan.”

Kata-kata itu seketika membuat beberapa prajurit menghela napas. Kenyataan itu pahit, tapi mereka sudah sering menghadapinya.

Doni menatap kosong ke arah kegelapan. “Tapi ada yang lebih berat, No. Kadang perempuan takut. Takut kita nggak pulang. Takut kita gugur di medan tugas.”

Suasana kembali sunyi. Semua terdiam, menyadari betapa tipis jarak mereka dengan maut.

Tiba-tiba Yudha mencoba mencairkan keadaan.

“Kalau soal cewek, aku salut sama Komandan kita. Ganteng, pangkat udah lumayan, pasti gampang kalau mau cari pasangan.”

Seno terkekeh. “Halah, jangan salah. Komandan itu kayaknya nggak ada urat cinta. Sehari-hari mukanya datar aja. Coba aja tanyain, pasti jawabannya‘Wanita bukan prioritas, tugas negara di atas segalanya."

Semua tertawa keras. Bahkan Doni sampai menyemburkan sedikit kopi.

Tak jauh dari sana, Praja berdiri di beranda komando, mendengar sayup-sayup tawa prajuritnya. Wajahnya tetap tenang, meski sesungguhnya ia paham isi obrolan

mereka. Namun bagi Praja, membuka hati sama sulitnya dengan menurunkan senjata di tengah perang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 6

    Suara terompet pagi meraung keras, membangunkan seluruh pasukan. Di bawah langit yang masih abu-abu, barisan tentara mulai berkumpul di lapangan tanah merah yang basah oleh embun. Sepatu lars menghentak serentak, menimbulkan dentuman ritmis yang menggema ke bukit-bukit sekitar desa.“Siap, grak!”Komando suara lantang itu menggema. Praja berdiri tegap di depan pasukan, wajahnya dingin dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Seragam loreng yang melekat di tubuhnya tampak rapi, pita komandan di bahunya berkilau tertimpa sinar matahari pagi yang mulai menyembul.Para prajurit menatapnya penuh wibawa. Meski usianya belum terlalu tua, Praja dikenal keras, disiplin, tapi adil.“Patroli hari ini, sektor barat dan utara. Jangan lengah. Ada laporan gerakan mencurigakan dari kelompok penyelundup,” suara Praja datar, tapi tajam.“Siap, Komandan!” sahut barisan kompak.Latihan pagi selesai, mereka langsung membagi regu. Beberapa prajurit muda tampak mengeluh pelan ketika harus membawa senjata

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 5

    Suara jangkrik malam menutupi keheningan desa ketika mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Arga, dengan mata berbinar, langsung menunjuk rumah itu.“Ini, Komandan! Rumahku!” katanya polos.Praja menoleh, menatap rumah dengan lampu teras temaram. Ia mengangguk kecil, lalu membuka sabuk pengaman. “Baiklah, turunlah. Jangan suka berkelahi lagi, ya.”Arga mengangguk patuh. Baru saja ia turun dari mobil, suara seorang perempuan terdengar dari balik pintu.“Arga? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu sudah khawatir sekali!”Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap anggun. Matanya langsung menatap anaknya yang berlari kecil ke pelukannya.Sekar.Praja menatapnya tanpa suara. Ada sesuatu yang menusuk ingatannya, samar, seperti bayangan dari masa lalu. Namun wajah itu, ia tak benar-benar bisa mengingatnya.Sekar pun tertegun melihat sosok berseragam militer berdiri di samping mobil patroli. Dadanya berdegup kencang, napasnya terce

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 4

    Suara deru mesin kendaraan patroli membelah jalan desa yang sepi sore itu. Mobil lapis sederhana dengan cat hijau khas militer berjalan pelan, rodanya menimbulkan debu tipis di jalan tanah. Praja duduk di kursi depan, matanya tajam mengawasi kiri-kanan.“Komandan, desa ini kelihatannya aman-aman saja,” ucap Seno, yang duduk di sampingnya.Praja menggeleng pelan. “Jangan terkecoh oleh permukaan. Justru saat kelihatan aman, kita harus lebih waspada.”Mobil itu terus menyusuri jalan. Sesekali warga melambaikan tangan, menghormati mereka dengan senyum hangat. Namun tiba-tiba, suara riuh terdengar di persimpangan dekat sekolah dasar.“Anak pungut! Anak pungut! Hahaha, pantas saja nggak ada yang jemput kau, ayahmu aja nggak jelas!”Seorang bocah laki-laki berteriak sambil mendorong tubuh seorang anak lain. Anak itu, dengan wajah keras kepala dan bola mata yang menyalak penuh amarah, balas mendorong. Tinju kecilnya melayang, menghantam pipi lawannya. Anak-anak lain di sekitar mereka menjeri

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 3

    Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan.“Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!”Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi.“Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana.Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupa

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 2

    Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing. Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi.Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian.Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga.Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana.“Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.”Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik b

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 1

    Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan. Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor. Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.Tiba-tibaDORRR!Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.“Siapa itu?!”“Sial, tentara!”Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status