Share

Chapter 7

Author: NamNamjoo
last update Huling Na-update: 2025-10-14 14:51:40

Sekar mengajar di PAUD seperti biasa. Suara riang anak-anak bernyanyi membuat suasana kelas terasa hangat. Sekar berusaha tersenyum di depan mereka, meski kepalanya penuh dengan beban pikiran. Setiap kali ia menatap wajah Arga yang ikut belajar di sudut kelas, hatinya semakin diliputi ketakutan.

Saat bel pulang berbunyi, anak-anak mulai dijemput orangtua masing-masing. Sekar menggandeng tangan Arga, berjalan melewati jalan setapak yang dipenuhi pepohonan rimbun. Udara sore cukup sejuk, burung-burung kecil terbang berhamburan. Namun langkah Sekar terasa berat, pikirannya sibuk membayangkan satu nama—Praja.

“Bu,” suara kecil Arga memecah lamunannya. Bocah itu menoleh dengan senyum lebar, matanya berbinar. “Kalau aku besar nanti, aku mau jadi kayak Komandan itu. Keren sekali menjaga desa. Aku juga mau pakai seragam hijau, berdiri tegak, semua orang hormat sama aku!”

Sekar langsung berhenti melangkah. Senyum tipis yang tadinya terpaksa ia ukir di wajahnya lenyap begitu saja. Kata-kata Arga bagai pisau yang menusuk luka lama. Tentara. Komandan. Seragam hijau. Semua itu adalah bayangan yang ingin ia kubur dalam-dalam.

“Diam, Arga.” Suaranya meninggi, tanpa ia sadari.

Anak itu terkejut, menatap ibunya dengan mata melebar. “Tapi Bu, aku cuma bilang—”

“Diam!” Sekar menatap tajam, matanya bergetar. “Ibu tidak pernah memperbolehkan kamu punya cita-cita jadi tentara. Apa pun, Nak, apa pun selain itu! Tentara itu bahaya, Arga. Nyawa kamu taruhannya! Ibu belum siap kehilangan kamu!”

Nada keras itu membuat dada Arga sesak. Matanya memanas, bibirnya bergetar.

“Memangnya kenapa kalau Arga punya cita-cita jadi tentara, Bu? Kenapa selalu dilarang?”

Sekar ingin menjawab, ingin menjelaskan semua, tapi suaranya tercekat. Bagaimana mungkin ia mengatakan kebenaran? Bagaimana mungkin ia mengungkap kalau ayah biologis Arga adalah seorang komandan yang dulu merenggut paksa harga dirinya?

“Aku benci kalau Ibu marah-marah terus!” seru Arga akhirnya, sebelum melepaskan genggaman tangan ibunya. Bocah itu berlari kencang ke arah berlawanan, meninggalkan Sekar yang masih berdiri dengan wajah pucat.

“Arga! Jangan lari! Pulang sama Ibu!” Sekar menjerit panik, berusaha mengejar, tapi langkah kecil itu lebih gesit.

Riri, rekan kerjanya yang kebetulan baru keluar dari warung dekat jalan, buru-buru menahan bahu Sekar. “Sudahlah, Sekar. Jangan terlalu keras sama anakmu. Kasihan, dia masih kecil, belum mengerti apa-apa.”

“Tapi Riri—” suara Sekar serak, matanya berkaca-kaca.

“Biarkan dia menenangkan diri sebentar. Kau juga harus tarik napas dulu.”

Sekar terdiam, tubuhnya lemas. Air matanya jatuh begitu saja.

Arga terus berlari, matanya sembab. Ia tidak peduli dengan teriakan ibunya. Kakinya menembus jalan tanah hingga tiba di tepi hutan perkebunan warga. Napasnya terengah-engah, tapi ia terus berlari sampai akhirnya tiba di sebuah sungai kecil yang tenang.

Di sana, ia duduk di atas batu besar di pinggir aliran air. Ia mengambil batu-batu kecil, lalu melemparkannya satu per satu ke sungai.

Plup… plup… Riak air memantul, seolah mengiringi tangis tertahannya.

“Kenapa sih, Bu? Memangnya salah kalau aku punya cita-cita?” gumamnya lirih.

Batu di tangannya kembali dilempar, lebih keras dari sebelumnya.

“Aku cuma ingin jadi seperti Komandan itu. Kenapa Ibu nggak pernah mau dengar aku?”

Angin sore berhembus, menggoyangkan ranting-ranting pohon di atasnya. Arga mendongak, menatap langit yang mulai berubah jingga. Di balik matanya yang masih berkaca-kaca, ada semangat kecil yang berusaha melawan larangan ibunya.

“Aku nggak peduli. Aku tetap mau jadi tentara,” bisiknya pelan, sebelum ia kembali melempar batu ke aliran sungai.

Langit sore kian meredup, warna jingga perlahan berubah keabu-abuan. Arga masih duduk di atas batu, kakinya digoyang-goyangkan, sesekali melempar batu ke sungai. Tangisnya sudah reda, tapi wajahnya masih murung.

Dari kejauhan terdengar suara ranting patah dan langkah berat menghampiri. Arga buru-buru menyeka matanya dengan punggung tangan. Saat ia menoleh, seorang pria berseragam hijau dengan topi loreng berdiri di bawah bayangan pohon.

Komandan Praja.

Arga refleks berdiri, matanya berbinar, seolah rasa lelah dan sedih tadi mendadak hilang. “Ko... Komandan?” suaranya bergetar.

Praja menatapnya heran. Ia tidak menyangka akan menemukan seorang bocah sendirian di pinggir hutan sore-sore begini. “Hei, kamu ngapain di sini? Bukannya sudah sore? Anak seusiamu seharusnya pulang.” Suaranya tegas, tapi tidak kasar.

Arga menggigit bibirnya, menunduk. “Aku, aku nggak mau pulang dulu.”

“Kenapa?” tanya Praja sambil melangkah lebih dekat.

Anak itu diam sejenak, lalu menghela napas panjang.

“Aku habis dimarahi Ibu. Soalnya aku bilang kalau aku besar mau jadi tentara. Ibu nggak suka.”

Praja tertegun, menatap lekat-lekat wajah kecil itu. Ada semacam keberanian sekaligus luka di mata bocah tersebut.

Arga mendongak, wajahnya serius meski masih ada bekas air mata. “Tapi aku tetap mau jadi tentara, Komandan. Aku mau seperti Komandan, menjaga desa, melindungi orang-orang.”

Praja tak segera menjawab. Angin sore berhembus, membuat dedaunan berdesir. Ia mengingat dirinya di usia bocah—teguh dengan mimpi yang sama, meski banyak orang meragukan. Ada semacam rasa haru menyeruak dalam dadanya melihat anak kecil ini begitu yakin dengan cita-citanya.

Praja berjongkok agar sejajar dengan Arga. “Jadi tentara itu bukan main-main. Banyak pengorbanan, banyak bahaya. Kamu yakin sanggup?”

Arga mengangguk mantap, meski suaranya masih lirih. “Aku sanggup.”

Sekilas senyum tipis terukir di wajah Praja. Ia mengangkat tangan, menepuk bahu kecil itu dengan lembut. “Kalau begitu, jangan cuma mimpi. Belajar yang rajin dulu. Tentara itu harus kuat, pintar, dan tangguh. Kalau kamu sungguh-sungguh, suatu hari nanti, kamu bisa.”

Praja menepuk bahu kecil itu sekali lagi, kali ini dengan tatapan lebih dalam. “Begini, besok hari Minggu, kamu libur sekolah kan?”

Arga mengangguk cepat. “Iya, Komandan.”

“Kalau begitu, datanglah ke markas terdekat. Aku akan mengajarimu dasar pertama—bukan latihan berat, tapi hal-hal sederhana. Disiplin, hormat, dan cara berdiri tegak sebagai seorang calon prajurit.”

Mata Arga langsung berbinar, lebih terang daripada sebelumnya. Seakan-akan janji kecil itu menjadi cahaya baru di hatinya. “Benarkah, Komandan? Aku boleh datang?”

Praja mengangkat alis sambil tersenyum tipis. “Boleh. Tapi satu syarat—jangan pernah main-main dengan janji. Kalau kamu setuju, kamu harus benar-benar datang.”

Tanpa ragu, Arga mengangguk mantap. “Aku janji!”

Praja terkekeh kecil melihat semangat polos itu. “Bagus. Sekarang ayo pulang, jangan bikin ibumu makin cemas.” Ia lalu menuntun Arga melewati jalan setapak menuju desa.

Di rumah, Sekar berdiri di depan pintu dengan wajah cemas. Matanya berulang kali menatap ke arah jalan gelap, penuh kekhawatiran. Begitu melihat sosok anaknya muncul, napasnya tercekat.

“Arga!” suaranya setengah teriak.

Arga langsung melepaskan tangan Praja, berlari kecil ke arah ibunya. Wajah Sekar tegang, matanya sempat menatap sosok berseragam itu di kejauhan, tapi ia lebih dulu meraih putranya. “Dari mana saja kamu, Nak? Ibu cari ke mana-mana, kamu bikin Ibu hampir gila!”

Arga menunduk, hatinya sempat goyah. Ia ingin sekali berkata jujur—bahwa tadi ia bertemu Komandan Praja, bahkan dijanjikan sesuatu yang membuat jiwanya bersemangat lagi. Tapi ia tahu, kalau itu sampai terucap, ibunya pasti langsung marah.

Maka Arga berbohong kecil, suara lirih tapi mantap, “Tadi aku main sama teman-teman, Bu.”

Sekar menghela napas panjang, masih memeluknya erat. “Jangan ulangi lagi ya, Arga. Ibu benar-benar khawatir.”

“Hmm.” Arga hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan senyumnya sendiri. Dalam hati, ia menahan kegembiraan besar yang ingin meledak.

Begitu mereka masuk rumah, Arga tiba-tiba bersuara riang. “Oh iya, Bu, besok Arga mau bangun cepat ya! Hari Minggu kan? Hehe.”

Sekar mengernyit, bingung dengan nada aneh anaknya. “Untuk apa kamu bangun cepat? Biasanya malah susah dibangunin kalau libur.”

Arga hanya menggeleng sambil tersenyum penuh rahasia. “Nggak apa-apa. Pokoknya besok Arga bangun cepat.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 21

    Praja akhirnya meninggalkan tenda. Langkah kakinya pelan, menuju rumah sederhana tempat Sekar dan Riri tinggal sementara. Dari kejauhan, ia melihat Sekar duduk sendirian di beranda. Riri tampaknya sudah masuk, meninggalkan Sekar yang menatap langit penuh bintang.“Sekar,” suara itu pelan, tapi cukup untuk membuat Sekar menoleh.Sekar terkejut, tapi cepat-cepat menunduk. “Komandan, malam-malam begini seharusnya istirahat. Ada apa?”Praja berhenti beberapa langkah darinya, seakan ragu untuk lebih dekat. Namun akhirnya ia menarik napas dan melangkah maju. “Aku tidak bisa tidur kalau kita masih dalam keadaan seperti ini.”Sekar menelan ludah. “Keadaan seperti apa?”Praja menatapnya dalam-dalam. “Keadaan di mana kamu menjauh dariku, padahal aku ingin lebih dekat. Keadaan di mana kamu menutup hatimu, padahal aku sudah membukanya lebar-lebar untukmu.”Sekar menghela napas berat, jemarinya meremas ujung kain selendangnya. “Komandan, jangan mempersulit. Kita sudah berbeda sejak awal. Kamu seor

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 20

    Sekar berjalan cepat meninggalkan tenda, langkahnya terburu-buru, nyaris berlari. Dadanya bergemuruh hebat, entah marah, kecewa, atau terluka—ia tak tahu. Hanya satu hal yang jelas: melihat Praja begitu dekat dengan Kirana membuatnya merasa hampa.“Sekar!” suara Praja memecah keheningan senja, terdengar di belakangnya.Sekar tak menggubris, malah mempercepat langkah. Namun suara langkah sepatu Praja makin mendekat, hingga akhirnya tangan kokoh itu meraih lengannya.“Sekar, tunggu sebentar!”Sekar berbalik dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. “Lepaskan aku, Komandan! Saya tidak ingin ikut campur urusan pribadi Komandan dengan Dokter Kirana.”Praja terdiam sesaat, terkejut oleh nada suaranya. “Sekar, kamu salah paham.”“Tidak ada yang salah paham!” Sekar memotong cepat, suaranya bergetar. “Saya jelas melihatnya sendiri, Komandan berbicara berdua, begitu dekat, seakan ... seakan ...” suaranya tercekat, “seakan kalian memang berjodoh.”Praja menghela napas

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 19

    Pagi itu, suasana desa terasa lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Praja berdiri di depan pos penjagaan, menatap ke arah hamparan sawah yang diselimuti kabut tipis.Dari jauh, Sekar datang membawa keranjang berisi sayuran segar untuk para prajurit. Praja melihat langkahnya yang anggun, sederhana, namun entah mengapa membuat dadanya bergetar. Ia menoleh sekilas, seolah tidak peduli, tetapi mata dan pikirannya tetap menuntunnya untuk memperhatikan Sekar.“Pagi, Komandan,” sapa Sekar sambil tersenyum tipis.“Pagi,” jawab Praja singkat. Suaranya dalam, tapi ada nada lembut yang jarang sekali ia keluarkan.Sekar menunduk, meletakkan keranjang di meja kayu. “Ini sayuran dari ladang. Untuk persediaan makan siang kalian. Aku titip sama prajurit yang lain saja.”Praja mengangguk, tapi sebelum Sekar beranjak pergi, ia memberanikan diri. “Sekar, tunggu.”Sekar berhenti, menoleh pelan. “Ada apa?”Praja menelan ludah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya terasa kelu. “Aku ..

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 18

    Suasana pos berubah hening saat iring-iringan kendaraan militer berhenti di depan. Para prajurit langsung berdiri tegak, memberi hormat. Dari mobil utama, seorang pria paruh baya turun dengan wibawa penuhJenderal Sudirman.“Siap grak!” suara lantang komandan jaga menggema.Praja melangkah ke depan, memberi hormat dengan sikap sempurna. “Selamat datang, Jenderal!”Sudirman menepuk bahu Praja dengan bangga. “Kerja bagus, Komandan. Desa ini mulai pulih, rakyat merasa terlindungi. Aku bangga padamu.”Senyum tipis itu lalu berubah serius. Ia menatap Praja dalam-dalam.“Praja, setelah misi ini selesai, aku ingin kau mempertimbangkan sesuatu.”“Perintah, Jenderal?”“Bukan sekadar perintah. Aku hanya percaya padamu. Karena itu, apakah kau bersedia menikah dengan putriku, Kirana?”Seketika dada Praja sesak. Ia menunduk, wajahnya tegang. Kata-kata itu berat, jauh lebih berat daripada memimpin pertempuran.“Jenderal, saya.” suaranya tertahan.Tak jauh dari sana, Sekar yang tengah membawa kain un

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 17

    Malam itu markas terasa sunyi setelah hiruk-pikuk penyelamatan Arga. Hanya suara jangkrik dan sesekali langkah prajurit yang berkeliling membuat suasana tidak sepenuhnya hening.Sekar berdiri ragu di depan ruang komando. Cahaya lampu minyak dari dalam membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang di tanah. Setelah menarik napas dalam, ia memberanikan diri mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat itu terdengar.Praja duduk di balik meja, map laporan berserakan. Tatapannya langsung terarah pada sosok Sekar yang melangkah masuk dengan hati-hati. Wanita itu menunduk sebentar, lalu berkata lirih, “Komandan aku ingin minta maaf. Waktu itu, aku pernah menuduhmu dan aku menyesal. Terima kasih karena sudah menyelamatkan putraku. Kalau bukan karena keberanianmu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Arga.”Ruangan seketika hening. Praja hanya menatapnya lama, seakan sedang mencari jawaban dari wajah Sekar. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya kenangan lama, malam kelam yang selama ini ia kubur rapa

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 16

    Suasana pos militer pagi itu riuh. Para prajurit sudah berkumpul di halaman, sebagian sibuk membersihkan senjata, sebagian lagi mendengarkan pengarahan. Namun di balik semua itu, wajah Praja terlihat lebih tegang dari biasanya.Doni, Yudha, Seno, dan Tama sempat saling pandang. Mereka tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hati komandannya.“Komandan, laporan dari markas baru masuk,” ujar Doni sambil menyerahkan map. “Ada indikasi bandit yang semalam lolos, bergerak ke arah utara. Mereka kemungkinan menyusun kekuatan kembali.”Praja menerima map itu, matanya sekilas menatap dokumen, tapi pikirannya melayang. Yang ia lihat bukanlah peta pergerakan musuh, melainkan wajah Sekar semalam—murung, penuh luka, lalu pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasannya.Praja menghela napas, menutup map dengan cepat. “Kita tidak boleh lengah. Siapkan regu patroli. Jangan beri kesempatan mereka menyakiti warga desa lagi.”Para prajurit serentak mengangguk. Namun Doni memperhatikan mata Praja yang sayu.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status