Share

BAB 02

Menantu Egois

Aku pulang dengan perasaan sangat marah dan kesal.

Awas kamu Mas! Sudah mulai berani kamu memberi uang Ibu tanpa sepengetahuan Ku! gumamku dalam perjalanan pulang.

Setelah sampai rumah, aku segera menyuruh Mbok Nah untuk membuatkan minum untuk ku karena sangat haus.

"Ini Bu minumnya."ujarnya sambil menyodorkan gelas berisi air yang sudah dicampur sirup dan ditambah es batu.

Aku langsung meraih gelas itu dan langsung menenggak isinya.

"Pelan-pelan Bu nanti kesedak."ujar Mbok Nah.

"Mbok! Aku mau tanya tapi mbok harus jawab dengan jujur. Apa aku salah jika marah kepada Bapak, karena ngasih uang ke Ibunya untuk renovasi rumah?"tanyaku padanya.

"Gak salah dong Bu."jawabnya.

"Nah kan benar. Aku berhak atas uang suamiku lalu kenapa Ibu mertuaku marah ya Mbok?"tanyaku.

"Mungkin ada penyampaian Ibu yang menyinggung Beliau."jawabnya.

Aku diam sejenak untuk mengingat kejadian tadi. Seingatku tak ada ucapanku yang bisa membuat ibu mertauku tersinggung dech.

"Gak ada dech Mbok. Aku cuma bilang kalau Ibu mertuaku tidak berhak meminta uang kepada Bapak, karena Ibu kan masih sehat dan masih bisa kerja."jawabku santai tanpa rasa bersalah.

Wajah si Mbok terlihat sedikit terkejut mendengar ucapanku. Memang ada yang salah dengan apa yang aku lakukan kok si Mbok ini wajahnya sedikit berubah.

"Ya kalau Ibu mengatakan seperti itu jelas Ibu salah."jawabnya tegas.

Aku terbelalak mendengar penuturan Mbok Nah.

"Tadi kata Mbok. Aku bener jika marah karena Bapak ngasih uang Ibunya? Mbok ini gimana sich! Mbok kok plin-plan!"ucapku dengan nada sedikit tinggi

"Maksud Mbok itu adalah, Bapak salah, karena memberi uang kepada Ibunya secara diam-diam, jadi wajar dan bisa di maklumi jika Ibu marah kepada Bapak. Tapi, Ibu juga salah jika berpikir uang Bapak hanya untuk Ibu. Karena, tanggung jawab anak laki-laki adalah menafkahi dan berbakti kepada orang tuanya, apalagi sang ibu sudah bersetatus Janda, jadi walaupun sianak sudah berkeluarga dia tetap berkewajiban mencukupi ibunya."jawabnya tegas.

Aku sangat marah dan tak terima mendengar penuturan Mbok Nah.

"Ah! Mbok dan Ibu itu sama saja dasar orang tua kolot!"bentakku. Mbok Nah wajahnya sedikit memerah sepertinya dia sedang menahan marah. Bodo amat dengannya.

Lalu aku kekamar untuk meredakan amarahku. Aku tidak terima jika disalahkan karena posisi aku benar.

Emang ada anak yang harus biayai orang tuanya? padahal orang tuanya masih sehat bugar dan masih bisa kerja. Ibu juga punya warung. Jadi ibu pasti bisalah memenuhi kebutuhannya sendiri, ibu kan hidupnya sederhana, pasti uang hasil warungnya cukuplah. Jadi benar dong jika ibu itu sebenarnya amat serakah.

Aku tahu itu sebenarnya alasan mereka saja, biar bisa menikmati uang anaknya. Sedangkan mereka para orang tua hanya duduk santai dirumah ongkang kaki sambil menunggu transferan dari anaknya setiap bulan.

Aku bukan menantu bodoh yang bisa digitukan. Aku tidak mau seperti di sinetron TV itu yang selalu mengalah demi mertua. Aku yang menemani mas Tejo berjuang jadi sudah seharusnya aku yang menikmati hasilnya. Bukan Ibu mertuaku.

Aku akan berusaha agar uang Mas Tejo hanya untukku.

Aku yang mengurus dan melayaninya setiap hari. Kok enak banget Ibu mertuaku seenaknya saja main minta uang.

Setelah emosi ku sedikit reda. Aku membaringkan tubuhku diatas kasur untuk istirahat, karena ini sudah waktunya tidur siang.

***

Sore hari Mas Tejo pulang, aku menyambutnya dengan bibir manyun.

"Ada apa sich istri Mas yang paling cantik ini? Kok suami pulang disambut dengan bibir manyun begini."godanya sambil memelukku.

"Alah sudahlah Mas! Gak usah sok perhatian gitu sama aku!"jawabku ketus.

"Lho. Ada apa to Dek?"tanyanya sambil menggaruk kepalanya.

"Mas kasih uang sama Ibu ya?"ujarku kesal.

"Iya Dek."jawabnya santai.

"Mas! Kok bisa kamu kasih uang Ibu tidak ijin aku dulu!"bentakku.

"Lho! Mas kasih Ibu. Karena kita dulu sering pinjam uang sama Ibu, jadi apa salahnya jika Mas membayarnya sekarang to itu tidak menganggu jatah bulananmu."jawabnya santai sambil berjalan kearah kamar.

"Ya gak bisa gitu dong Mas! Uang kamu ya uang aku! Seharusnya kamu ngomong dulu sama aku."ujarku ketus.

"Kalau Mas ngomong dulu memang Adek ijinin Mas?"tanyanya sambil melepas kancing bajunya.

"Ya pasti aku laranglah Mas! Ibu itu masih sehat masih bisa kerja dan ibu juga punya warung, jadi kita tidak usah mikirin Ibu lagi."jawabku ketus.

"Mas itu tidak ngasih Ibu. Tapi, Mas bayar hutang sama Ibu."jawabnya mulai sedikit kesal denganku.

"Bayar hutang kan bisa kapan-kapan Mas! Perhitungan banget sich Ibumu itu! Masak minjami uang anak sendiri saja sampai ditagih gitu."sungutku

"Dek! kenapa kamu itu sebegitu serakahnya jadi manusia. kita ini punya hutang sama Ibu jadi wajar dong kita bayar, to keuangan kita juga bisa dikatakan lebih dari cukup sekarang."jawabnya kesal.

"Mas! Ingat gak dulu, sebelum kamu diterima kerja, siapa yang biayai kebutuhan kita?"ujarku ketus.

"Iya Dek! Mas ingat ketika kita baru menikah dan Mas belum diterima kerja, kamu yang bekerja sebagai buruh cuci piring untuk kita bertahan hidup."jawabnya.

"Nah Mas ingat Itu kan! Jadi apa aku salah kalau aku marah sama Mas, karena ngasih uang ke Ibu?"tanyaku dengan lantang dan percaya diri.

"Sangat salah Dek. Dulu Ibu juga sering bantu kita ketika kita susah. Apa adek lupa hal itu?"ujarnya menatap tajam kearah ku.

Aku menelan saliva...

"Salahnya aku dimana Mas? Ibu bantu kita itu karena Dia adalah orang tua mu jadi ya wajar dong!"jawabku ketus.

"Ya berarti Mas juga wajar dong bayar hutang ke Ibu karena kondisi kita sudah sangat lebih dari cukup dan ibu juga adalah tanggung jawabku"ujarnya enteng sambil masuk kekamar mandi.

"Ya gak bisa dong! Mas...Mas... aku belum selesai ngomong."ujarku kesal karena diacuhkan.

Aku menunggu Mas Tejo sampai selesai mandi, pokoknya semuanya harus jelas dan aku harus bisa mendapatkan uang itu kembali. Aku benar-benar tidak ikhlas jika uang itu ibu nikmati.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status