"Kita enggak usah nginap, Sayang. Lagi pula Ibu bisa jalan." Mas Damar yang tadi sudah tegang, kembali rileks, dan duduk. Tangannya juga menggenggam tanganku agar ikut duduk. "Sekarang kita juga enggak perlu sarapan di sini, bentar lagi kita pulang, dan makan di restoran besar," lanjutnya membuatku tersenyum lebar.
"Iya, Mas. Aku setuju banget." Aku memeluk lengan kanannya dan ikut bersantai sambil menikmati teh botolan yang aku keluarkan dari tas, tapi kita memang hanya bawa dua."Mas, kamu enggak bisa gitu, dong. Harus kirim uang terus sama Ibu dan Bapak," bentak Wina tapi kami sama sekali tidak mendengarnya.Sejujurnya kami sudah lelah dengan sikap mereka yang selalu membalas jasa dengan air tuba. Aku enggak masalah kalau mereka memperlakukan aku dengan buruk, tapi setidaknya jaga sopan santun di hadapan Mas Damar.Makan dan semuanya yang menjadi keperluan bumer dan bapak ditanggung Mas Damar. Sementara anak-anak perempuan yang mengaku kaya itu, aku sendiri tidak tahu apa yang mereka lakukan selama ini. Hanya tahu kalau mereka pandai memutar balikkan fakta."Kenapa harus suamiku? Katanya kamu kerja kantoran, ya, kamu dong yang kirim uang." Aku dan Mas Damar meneguk teh botolan yang harganya lumayan mahal karena untuk kesehatan dengan berbagai gaya.Bahkan Wina dan kedua kakaknya terlihat ingin menikmati juga, sayangnya aku enggan berbagi dengan orang yang seperti itu. Sudah bagus aku tidak melempar botol ini pada mereka."Iya, Damar. Sekarang Ibu sudah sakit-sakitan," sahut bumer dengan tatapan yang mengkhawatirkan. Anehnya langsung keluar ketika mendengar kata uang. Kami berdua sampai menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap ibu dan adik-adik iparku ini."Iya yang mana, Bu?" tanyaku tersenyum tipis. "Iya mulai bulan depan Wina yang kirimkan uang atau iya anak-anak Ibu harus menginap semuanya di sini?"Anak-anaknya Ibu langsung menatap tajam ke arahku, kecuali Mas Damar. Sungguh aku sangat menyayangkan sikap mereka yang tidak mau peduli kepada orang tuanya sendiri.Ibu terdiam, lalu melihat ke arah ketiga anak perempuannya yang ternyata malah memintanya untuk menggeleng."Tapi Ibu benar-benar sakit, Nak." Ibu berucap lirih kepada Wina dan aku bisa melihat lingkaran tebal di sekitar matanya. Kemungkinan besar ibu sakit karena terlalu banyak begadang.Di satu sisi aku kasihan, tapi di sisi lain aku juga tidak mau tinggal di rumah ini kalau hanya sendiri. Apalagi kedua kakaknya Wina tinggal di sini. Aku yakin Wina juga tidak akan pulang kalau aku sudah memutuskan untuk tinggal.Dasar anak itu."Sudahlah, kalian kan anak-anak Ibu. Menginap saja selama satu minggu atau satu bulan, toh kalian juga tidak bisa memberikan Ibu uang sebanyak yang Mas Damar berikan," bujukku pada mereka, "jadi kami berdua akan pulang.""Ada apa ini ribut-ribut?" Bulek, adik ibu datang dengan dua kantong besar."Bulek?" Aku dan Mas Damar langsung berlari ke arah beliau. Karena ketika tinggal di sini selama satu minggu, bulek inilah yang menemani aku dan Mas Damar.Beliau juga yang memberikan wejangan setelah kami menikah dan membiarkan aku melakukan apa pun yang diinginkan. Termasuk pergi ke restoran yang aku kunjungi dan beberapa angkringan.Kalau orang tua Mas Damar bisanya melarang. Ketika baru selangkah pun, mereka langsung berteriak seolah aku mau minggat dari rumah ini."MasyaAllah, apa kabar kalian?" tanyanya dengan satu tangan memelukku dan satu tangan memeluk Mas Damar.Bulek Putri adalah adik dari bapak dan tinggal di ujung kecamatan. Sikapnya sangat lembut dan tidak pilih kasih seperti adiknya. Beliau tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Tidak berat sebelah seperti mertuaku.Dulu, aku masih berpikir positif tentang mertuaku ini dan sungguh tidak tahu kalau sikap mereka ternyata seperti itu. "Alhamdulillah baik, Bulek. Ibu sedang sakit, tapi anak-anaknya malah mau pulang." Aku mengadu.Bulek masuk ke dalam rumah dan menatap tajam ke arah bapak. Entah apa maksud dari tatapannya, tapi bapak sepertinya paham karena langsung memalingkan wajah."Kalian tinggal saja di sini untuk sementara. Lagi pula kalian kerja di rumah masing-masing, kecuali Damar. Dia bisa berangkat dari sini dengan motor atau mobil," tutur Bulek.Tidak ada yang protes, tapi ketiga adik Mas Damar langsung saling melemparkan tatapan seolah menyatakan kalau mereka keberatan dengan keputusan ini. Sementara aku dan Mas Damar hanya diam. Apa pun yang menjadi keputusan bulek, kami mau menerimanya. Apalagi keputusannya baik dan bagusnya aku juga jadi bisa mengenal bagaimana sikap dari suami adik-adik iparku ini.Jangan sampai mereka punya sikap yang sama seperti istri-istrinya atau diam saja dengan perilaku makmum yang menurutku menyimpang."Tapi Bulek ... aku sibuk di rumah," protes Wina. Dia adalah orang yang pertama. Memang paling suka ngeyel dan segala kemajuannya harus dituruti."Sibuk apa? Mainan hp?" bentak bulek membuat nyalinya kembali ciut. "Bulek itu tahu kegiatan apa yang kalian lakukan selama ini, jadi jangan coba-coba untuk membantah."Bulek menghela napas panjang. "Memangnya Bulek tidak tahu kebiasaan kamu, Wina? Bikin status tentang kebaikan kepada ipar, tapi kamu sendiri malah berlaku kasar. Bikin status tentang keagamaan, tapi sambil membuat video yang mempertontonkan aurat. Apa itu pantas?" Kami semua lagi-lagi terdiam. Apa yang bulek katakan memang benar adanya, tapi selama ini aku tidak berani bicara karena aku pikir Wina adalah gadis baik yang penurut. Aku pikir dia akan memperlakukan aku dengan sangat baik, nyatanya ... sungguh di luar logika.Wina menundukkan kepalanya, dia tidak lagi bicara karena tahu semakin dia banyak protes, Bulek akan semakin membicarakan tentang kegiatan yang selama ini dia lakukan.Bulek duduk di antara ibu dan bapak. "Kalian itu harus jadi orang tua yang adil, kenapa aku bilang orang tua, karena mantu juga sudah menikah dengan anak kita. Jadi, mereka juga adalah anak-anak kita. Jangan beda-bedakan mereka," pesannya dan aku mengacungkan dua jempol."Kalian juga sebagai keluarga harus rukun. Risya adalah istri dari anak pertama, yang artinya kalian harus hormat sama mereka." Bulek kembali memberikan nasihat dan aku juga kembali memberikan dua jempol tangan.Anak-anak dan menantu yang lain hanya bisa diam. Sementara aku dan Mas Damar berinteraksi seperti biasa."Bulek salut sama kamu Risya, karena masih patuh kepada keluarga orang tua suamimu walau mereka memperlakukan kamu secara tidak adil," pujinya padaku.Aku hanya tersenyum tipis sambil menggenggam tangan Mas Damar. Aku baik sama mereka, karena aku yakin mereka pasti akan berubah. Kalau mereka bisa melahirkan anak yang baik seperti Mas Damar, berarti ini merupakan tanda kalau mereka juga bisa menjadi baik."Alhamdulilah." Mas Damar menjawab lirih sambil memberi tatapan cinta.Wina dan yang lainnya terlihat keberatan dengan pujian yang bulek berikan. Tidak lama kemudian, Wina bangkit dari duduknya dan akan segera beranjak, tapi bulek menahannya."Mau ke mana kamu?" tanyanya membuatku Wina memutar tubuh dengan enggan. "Itu Bulek bawa lele, sana bersihkan!" Wina terdiam mematung. "Aku tidak suka menyentuh ikan, Bulek.""Biar saya saja," sahut suaminya lalu mendekat menyentuh kantong yang dibawa bulek."Hentikan! Kamu duduk di samping Damar, biarkan istrimu melayanimu jangan kamu terus yang memperlakukan dia seperti ratu," tegas bulek membuat kami semua terdiam, terutama aku.Ya, ampun, ternyata sikap Wina lebih parah dari yang aku ketahui."Aku sudah menceraikan Ayu, jadi mulai sekarang aku hanya akan fokus pada keluarga kecilku." Panji duduk bersimpuh di hadapan Wina yang hanya diam, tapi bibirnya beberapa kali tersenyum tipis.Aku tahu sebenarnya Wina juga sangat bahagia dengan keputusan Panji, begitu juga dengan aku dan keluarga ini. Bagaimanapun juga dia berhak bahagia. Apalagi akhir-akhir ini Wina sudah berubah menjadi wanita hebat yang sopan dan santun.Tidak ada lagi Wina yang menghinaku atau mengejek. Apalagi Maya, dia sungguh wanita sabar dan tidak pernah sekalipun marah dengan sikap Wahyu yang terkadang masih seenaknya sendiri."Terimalah dia kembali, Wina. Kalian berhak bahagia." Mas Damar mengusap air mata haru yang keluar dari mataku.Ya, akulah yang menangis ketika menyaksikan kebahagiaan keluarga ini. Meski dulu aku hanyalah debu yang tidak dianggap, seonggok sampah yang hanya dijadikan lelucon, tapi tetap saja mereka adalah keluargaku, dan orang-orang yang aku sayangi."Iya, Ma. Aku akan menerimanya kemb
Bab 20 Menantu Miskin di Mata Mertua"Dasim?" Mas Damar mencekal pergelangan tangannya, sementara aku hanya diam sambil memeluk tubuh yang terasa dingin dan bibir juga gemetar. "Kau menipu pria dengan pakaianmu lalu memperalatnya? Apa kau pikir agama untuk dipermainkan?"Suara Mas Damar terdengar menggelegar. Orang-orang yang awalnya terdengar membela dia dan mencaci maki aku, sekarang mulai diam. Mungkin mereka bingung siapa yang benar dan salah. Padahal, mereka tidak tahu apa pun tentang masalah ini, bukankah seharusnya mereka diam?"Apa yang kau katakan? Aku benar-benar sudah hijrah dan jangan bawa pakaianku karena sikapku yang tidak baik," bentak Ayu. Dia benar-benar pandai playing viktim. Kalau saja membenci manusia tidak dilarang oleh Allah, dia adalah orang pertama yang aku benci, dan mungkin satu-satunya.Dialah Ayu yang sebenarnya. Bersembunyi dalam jilbab lebar yang dipakainya dan gamis panjangnya. Dia menyembunyikan sikap aslinya dengan sikap lemah lembutnya dan sungguh aku
Bab 19 Menantu Miskin di Mata Mertua"Apa separah itu?" bisik Mas Damar.Pria ini memang tidak tahu menahu tentang Ayu. Ketika aku menikah pun dia memang tidak diberitahu. Lagi pula dikasih tahu pun belum tentu dia akan datang dengan itikad baik.Aku masih ingat jelas beberapa tahun lalu saat dia membawa pria tua ke rumah. Sebenarnya dewasa, bukan tua. Tapi bagiku tetap saja tua karena kulitnya sudah agak keriput. Beda dengan Mas Damar. Meski usianya sudah tiga puluh tahunan, wajahnya tidak kalah muda seperti anak belasan. Kerja di ruangan yang ber-AC membuatnya terlihat lebih muda daripada teman-teman seusianya. Ketika itu usiaku dan Ayu sama-sama baru menginjak 18 tahun. Lalu, kita terlibat perdebatan singkat. Dia pun berteriak, "jika kau menikah nanti, aku akan merebut suamimu, dan semua kebahagiaan yang kau miliki," tandasnya.Dari sejak itu, dia selalu membuat masalah yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang wanita, terutama wanita muslimah. Seperti merokok dan yang lainnya.
Bab 18 Menantu Miskin di Mata Mertua"Kenapa? Kamu tidak terima aku mengatakan yang sebenarnya?" tanyaku sambil menatapnya kesal. "Oh, ya, aku lupa memberitahu kamu. Ayu itu adalah temanku.""Tetap saja, Mbak tidak boleh menilainya seperti itu karena bisa saja hatinya selalu beristigfar, memohon ampun ampunan kepada Allah," hardiknya membuatku semakin marah, tapi sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak emosi. Karena aku tipe orang yang menyesal setelah melampiaskan amarah."Lagi pula Mbak bukan orang yang selalu ada di sampingnya selama 24 jam," tegasnya lagi.Aku tersenyum kecut dan Wina juga menatapnya murka. "Tandanya kamu bersama dia selama 24 jam, Mas?" tanya Wina mendesaknya.Panji hanya dia sambil menundukkan kepalanya. Aku akui, memang hanya kepada Wina dia tidak berani mengangkat wajahnya. Tidak seperti padaku apalagi ayu, bawaannya selalu emosi."Dasar pria pembohong!" teriak Wina, lalu kembali ke kamarnya dan mengunci pintu.Aku tertawa kecil. "Wina saja tahu siapa yang
Bab 17 Menantu Miskin di Mata Mertua"Mas, kira-kira nanti Wina berubah lagi jadi menyebalkan enggak, ya?" Aku bertanya dengan sikap Wina selama ini terbayang langsung.Menghadapi yang dulu saja rasanya aku tidak sanggup, apalagi yang sekarang. Tandanya aku harus lebih kuat lagi."Bisa jadi, manusia kan sangat suka berubah. Punya ini, berubah. Punya itu, berubah. Tapi biarlah Allah saja yang bekerja, kita cukup jalani kehidupan kita saja," jawabnya dewasa dan bener banget.Aku juga lelah kalau harus selalu meladeninya karena aku juga hanya manusia biasa. Jadi kita hanya bisa melihat untuk ke depannya dia akan seperti apa."Pak Le setuju dengan apa yang kamu katakan. Kalau melihat bagaimana sikap Wina selama ini, boleh jadi dia kembali seperti dulu, dan lebih parah. Karena sekarang dia memegang uang dua puluh juta perbulan yang bisa dia habiskan bersama keluarganya. Beda dengan dulu," jelas Pak Le dan itulah yang aku takutkan. Sementara gajinya Mas Damar tidak besar, jadi sudah pasti d
Bab 16 Menantu Miskin di Mata Mertua"Pak Le tidak bisa setuju dengan mudah. Di sini, aku juga tidak sepenuhnya salah, Pak Le," ucap Panji keberatan."Apalagi yang perlu dibicarakan? Kamu itu pria. Mengalah saja, apa susahnya?" sentak Pak Le. Beliau terlihat tidak suka dengan perkataan Panji yang hanya memikirkan perasannya saja tanpa ingat dengan perasaan wanita yang mudah patah dan hancur."Tolong berikan saya kesempatan kedua, Pak Le. Saya janji akan menjadikan Wina satu-satunya Ratu di hati dan kehidupan saya dan akan saya jadikan semua ini pelajaran untuk ke depannya," sahut Panji mantap.Dia terlihat bersungguh-sungguh, sayangnya aku tidak suka. Dia sudah melakukan kesalahan berulang kali tanpa ingat kalau dirinya sudah menjadi suami yang zalim."Lagi pula Wina belum bekerja, Pak Le. Selama ini saja dia masih suka membuat masalah. Bagaimana kalau nanti tambah menyusahkan Mas Damar dan Mbak Risya, Pak Le?" tanya Panji membuat bulek yang tadi bangkit dan baru jalan beberapa langka