Share

Menantu yang Tersakiti
Menantu yang Tersakiti
Penulis: Icha1109

Pengantin Baru

"Saya terima nikah dan kawinnya, Kahiyang Ayu Jelita binti Purwanto dengan mas kawin tersebut, tunai,"

Ucapan Ijab kabul dari suamiku, Zidan Anggara telah resmi menjadikan kami sebagai pasangan suami istri. Suasana gembira dan penuh haru menyelimuti masjid Al - Ikhlas hari itu sebagai penanda bahwa ada dua orang insan yang telah menyatu sebagai pasangan suami istri dalam suatu mahligai rumah tangga.

"Selamat ya nak, semoga pernikahan kalian sakinah, mawaddah dan warahmah. Langgeng sampai kakek nenek dan cepat dapat momongan supaya ibu bisa punya cucu," ucap Ibuku sambil memelukku dengan erat dan berlinang air mata menyaksikan putri kesayangannya yang telah resmi menjadi seorang istri.

Perasaanku hari itu sangat bahagia, bagaimana tidak? Pria yang baru aku kenal selama tiga bulan tersebut resmi menjadikanku sebagai istri sahnya.

"Sekarang kita sudah resmi menjadi suami istri sayang," ucap Suamiku, sambil tersenyum manis kepadaku.

Malam itu juga kami menyelenggarakam seremoni pernikahan kami di sebuah hotel mewah. Dengan dekorasi yang indah membuat siapapun takjub melihatnya. Semua biaya pernikahan kami ditanggung oleh suamiku dan keluarganya. Aku memang sangat beruntung mempunyai suami yang sudah terbilang mapan.

"Wah, selamat ya Kahiyang! Selamat menempuh hidup baru!" Mentari sahabatku datang ke resepsi pernikahanku dengan membawakanku kado pernikahan.

"Terima kasih sayang, kamu cepat menyusul juga ya!" jawabku kepada Mentari, sahabatku.

Malam itu banyak teman - teman dan keluargaku yang datang, karena banyaknya tamu undangan sampai - sampai aku tidak sempat untuk makan dan hanya menghabiskan satu gelas es buah saja.

"Tenang ya sayang, habis ini nanti aku suapin kamu," ucap Zidan suamiku, yang mengerti bahwa aku sedang kelaparan.

Aku tersenyum bahagia karena suamiku pengertian, betapa senangnya hati ini bisa menikah dengan pria idamanku.

Acara resepsi kami digelar dari jam tujuh malam hingga selesai jam sepuluh malam. Tubuh ini sangat lelah karena banyaknya tamu yang berdatangan membuatku hampir berdiri terus dipelaminan.

Seluruh sahabat dan keluarga hadir memeriahkan pesta kami. Kado pernikahan sampai menggunung, membuatku berpikir keras bagaimana cara membawanya pulang. Ucapan selamat dan do'a yang diucapkan untukku dan sang suami, semakin membuatku senang dan terharu. Selepas acara, aku langsung menuju ke rumah suami dan tinggal disana selama beberapa hari.

Tak terasa, acara resepsi kami telah usai. Setelah gedung telah beres dan barang - barang telah diangkat, aku beserta keluarga suami langsung pulang ke rumah.

"Sayang, kamu pasti capek kan?" tanya Suamiku sambil memijat kedua bahuku.

Aku mengangguk manja dan tersenyum manis kepada suamiku. Ia memijat kedua bahuku dan membawakanku sepiring makanan.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam, meski tubuhku sangatlah lelah tetapi mata ini belum ingin terpejam.

Zidan saat itu menyuapiku makan malam, kami makan sepiring berdua. Alangkah ini romantisnya suamiku malam itu.

"Sayang, sudah ini kita boleh melakukan itu kan?" tanya Zidan sambil melirikku dengan senyumnya yang menggoda.

Aku tersipu malu karena paham dengan apa yang ia ucapkan. Malam itu adalah malam pertama kami dan kami melaluinya dengan sangat berbahagia sebagai pengantin baru.

"Kahiyang! Kahiyang!" suara Ibu mertuaku, Lidia membangunkanku dari tidur nyenyakku.

Dengan terpaksa diri ini bangkit dari tidur nyenyak dan dengan malas kaki ini melangkah membukakan pintu.

"Ada apa ibu?" tanyaku sambil menggosok - gosok mataku.

"Kamu itu mentang - mentang sudah jadi mantu di rumah ini tapi tidak boleh malas ya!" bentak Ibu Lidia dengan wajah marah.

Selama ini, tidak pernah kudengar suara Ibu Lidia yang kasar. Dia selalu bersikap manis kepadaku sewaktu aku dan Zidan masih berpacaran. Entah mengapa sikapnya langsung berubah saat aku sudah resmi menjadi istri sah dari anaknya.

"Maksud ibu?" tanyaku kembali karena tidak begitu mengerti dengan perkataan Ibu mertuaku tersebut.

"Ya bangun! kamu sekarang ke dapur dan masak terus bersih - bersih rumah juga!" pinta Ibu Lidia.

Setelah itu, Ibu Lidia langsung pergi dengan tatapan penuh kebencian kepadaku.

Padahal baru pukul enam pagi, sang baskara baru saja terbit tetapi diri ini sudah harus ke dapur untuk memasak juga bersih - bersih rumah, tubuhku juga masih terasa pegal dan sakit karena acara semalam.

Dengan langkah malas, aku menuju ke dapur. Terlihat banyak tumpukan piring kotor dimana - mana.

"Astaga, disini berantakan sekali," gumamku dalam hati sambil menggeleng - gelengkan kepalaku.

Memang ada banyak tamu juga yang datang ke rumah kemarin dan menyisakan tumpukan piring kotor. Aku tidak pernah membayangkan harus mencuci segunung piring kotor saat pagi - pagi buta seperti ini.

Aku pun mulai membersihkan semua walau dengan perasaan jengkel.

"Hei, apa kau sudah memasak? Aku sudah lapar!" bentak Ibu Lidia sambil memukul meja makan.

"Belum bu, aku baru selesai mencuci piring. Tadi ada banyak sekali tumpukan cucian piring," jawabku sembari menggeleng - gelengkan kepalaku.

"Halah, banyak alasan kamu! dasar mantu pemalas! cepat sana buatkan sarapan, aku sudah lapar!" perintah Ibu Lidia.

Aku tidak bisa menolak dan terpaksa memasak sarapan pagi itu. Bahan - bahan yang tersedia dikulkas aku olah menjadi masakan lezat. Beruntung Mas Zidan mempunyai istri yang pandai masak sepertiku karena aku pernah mengikuti kelas tata boga.

"Pagi ibu," Kak Diana, kakak pertama dari suamiku sudah bangun dan langsung menghampiri Ibu Lidia di dapur.

"Pagi sayang," ucap Ibu Lidia dengan senyum mengembang dibibirnya.

"Eh, Kahiyang kamu belum selesai masak ya? padahal aku sudah mau ke kantor ini!" keluh Kak Diana dengan muka masam.

"Tuh dengarkan Kahiyang! Anakku ini sudah mau berangkat kerja dan tidak sempat sarapan karena kamu!" ucap Ibu Lidia sambil menunjuk - nunjuk ke arahku.

Aku tidak bisa berkata apa - apa lagi, keluarga ini seperti memiliki dua kepribadian. Dulu Kak Diana sangat baik kepadaku, tak kusangka itu semua hanya sandiwara mereka dan dengan bodohnya aku tertipu.

"Maaf," ucapku dengan pelan seraya menunduk.

Kak Diana menatapku dengan tatapan sinisnya dan langsung pergi dari dapur, sepertinya ia akan pergi bekerja.

Ibu Lidia langsung menyusul anaknya keluar dan meninggalkanku sendirian di dapur.

Aku langsung dengan cepat menyelesaikan masakanku dan ingin kembali ke kamar untuk merebahkan tubuh ini yang sangat lelah.

"Duh, Mas Zidan belum bangun juga!" keluhku.

Seandainya suamiku ada disini, pastinya dia akan membelaku terhadap perlakuan ibu dan kakaknya yang seenaknya kepadaku.

"Fiuh, selesai juga," aku mengusap keringat yang membasahi dahiku karena lelah memasak dan akhirnya masakanku pun jadi.

Aku segera menata serapi mungkin makanan serta gelas dan piring diatas meja.

"Oke, sudah selesai," gumamku sambil tersenyum puas.

Setelah semua pekerjaan di dapur beres, aku langsung melangkahkan kaki menuju ke kamar kembali untuk beristirahat.

[KRIET]

Aku membuka pintu dengan pelan dan nampak suamiku masih tertidur dengan pulasnya.

"Tidurnya enak banget sayang," ucapku pelan sambil mengecup pelan kening suamiku.

Untuk satu minggu, suamiku cuti. Kami berencana berbulan madu ke Bali. Rasanya sangat senang, karena itu akan menjadi pengalaman pertamaku menginjak tanah Bali.

Karena sudah merasa sangat lelah, aku langsung menghamburkan tubuhku ke suamiku dan memejamkan mata.

[TOK]

[TOK]

[TOK]

Belum sempat lima menit diriku beristirahat, sudah ada yang mengetuk pintu kamarku lagi.

"Pasti Ibu Lidia," gumamku dengan sangat yakin.

Dengan langkah malas, aku menuju ke pintu dan membukanya.

[KRIET]

Benar saja, Ibu mertuaku sudah berdiri dengan tatapannya yang penuh amarah. Dengan kasar dia langsung menarik tanganku dengan kasar menjauh dari kamar, mungkin takut jika suaranya terdengar oleh suamiku.

"Heh, kamu tidak becus sekali ya! Semua makanan di meja di santap sama kucing!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status