Share

3. Siapa Dia?

Setelah si Bandi itu menyosor pipiku, aku pun mengejar dirinya.

Alhasil aku dapat sampai ke toko hanya dalam waktu lima belas menitan.

"Dasar Bandi! Awas kamu kalau nongol di toko malam ini, aku jadiin kamu umpan kucing nanti," gerutuku.

Saat itu, Ani terlihat sudah bersiap pulang dan aku harus segera menggantikannya di kasir dan menunggu toko seorang diri.

"Mbak, tumben lari-lari mulu? Apa habis dikejar demit?" canda wanita cantik bernama Ani tersebut.

"Edan! Mana ada yang mau dikejar demit, kecuali kalau demitnya ganteng," tukasku.

Kami pun akhirnya tertawa bersama.Tak lama datang Mbah Juju, sang kuncen makam yang sudah akrab dengaan kami, aku dan Ani.

"Husss, Maghrib lho ini! Ga baik cekikikan pas Magrib, nanti ada yang ikutan ketawa gimana?" tukas Mbah Juju.

Seketika kami terdiam, kata-kata Mbah Juju sukses membuat Ani lari tunggang-langgang meninggalkan aku berdua dengan Mbah Juju yang menahan tawa melihat tingkah Ani yang memang penakut itu.

"Ani, Ani! Mbok yo ga begitu juga takutnya!" seru Mbah Juju.

Aku hanya tersenyum dan bergegas mengemas barang jualan yang mulai menipis di rak barang.

"Na, mbah mau kopi hitam satu, ya!" pinta kuncen makam itu.

"Gimana Mbah? Mau langsung seduh atau bungkusan aja?" tanyaku.

Kebetulan aku saat itu sedang mengatur dispenser agar mode panas dan dinginnya aktif. Memang dispenser itu hanya dipakai saat jam kerja malam saja, sebab banyaknya para pembeli yang mayoritas Bapak-Bapak memesan kopi saat malam. Para Bapak yang meronda, kadangnya para pemuda yang nongkrong menghabiskan waktu bermain game online dan membayar wifi per jam di toko ini. Sayangnya semenjak merebak pemasangan wifi murah meriah membuat hampir setiap rumah memasang wifi. Tentu saja membuat para pemuda tak ada lagi yang nongkrong dan menemaniku di toko, hitung-hitung membunuh bosan seorang diri.

"Diseduh dong, Na! Malam ini mbah Juju akan selalu ada di makam, kamu tahu ga! Makam keramat yang di ujung sana itu tiba-tiba makamnya bergeser, kabar itu mbah dapatkan pagi ini dari seorang dukun yang kerap melakukan ritual di makam sana, kamu semalam ga lihat hal aneh, kan?" tanya Mbah Juju.

Aku yang tengah membuatkan kopi untuk Mbah Juju hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memang aku tak merasa hal aneh, kecuali kedatangan Bandi yang memakan kembang dan berpakaian aneh layaknya seorang dari jaman kerajaan.

"Syukur kalau begitu, soalnya kalau ada apa-apa kasihan juga kamu. Kan belum kawin!" celetuk Mbah Juju.

"Mbah, kok malah sangkutannya ke acara belum kawin segala sih! Duh, pengen deh siram kopi panas ini ke muka Mbah Juju," ucapku.

Mbah Juju tertawa, "Canda Na, canda. Kayak ga tahu mbah aja. Tapi kalau memang kebelet kawin bisa kok mandi di telaga di dekat makam keramat itu, nanti sama mbah diarahinnya, gimana?"

Aku hanya menghela napas panjang, "Mbah, sebelumya Una berterima kasih atas tawarannya. Bukannya Una jual mahal lho, Mbah! Una sudah banyakkan dilamar ... tapi Una masih belum ada yang sreg gitu. Jadi ga terlalu mau maksakan, biar sedatangnya aja." Aku mulai bicara serius pada Mbah Juju.

Sedikit banyaknya, Mbah Juju mengetahui jalan kisahku yang terlalu sering menolak lamaran para pria. Pada lelaki sepuh ini juga aku menceritakan semuanya, darinya juga aku belajar berdamai dengan hati sendiri. Hasilnya, aku sama sekali tak membenci Mbak Ina dan Mas Irgi.

"Coba belajar lupakan rasa sakitnya tho, Na! Biar kamu bisa membuka hati pada pria lain. Mbah lihat pria yang datang melamarmu itu bukan pria sembarang, wong mbak-mu menyesuaikan sama taraf kamu yang anak berpendidikan tinggi, seharusnya kamu bisa menelaah itu. Itu sih saran mbah aja, semua kembali pada Una sendiri," jelas Mbah Juju panjang lebar.

Aku yang duduk di kursi kasir, sempat tertegun mendengar perkataan kuncen makam yang sudah sepuh ini.

"Iya, Mbah! Nanti Una pikir-pikir lagi dan membulatkan hati juga tekad, supaya dapat mengikuti perjodohan konyol itu. Coba seandainya ada demit ganteng yang mau sama Una, ga apa deh. Asal ganteng dan setia, hahaha!" kelakarku saat itu.

"Huss, ga boleh ngomong gitu. Kalau beneran begitu gimana kamu? Memang mau dikawinin demit. Manusia ya sama manusia tho pasangannya," sahut Mbah Juju mengingatkan.

Aku yang tertawa segera menutup mulut, takut kalau itu terjadi, berabe!

"Udah, ah! Kopinya udah habis, mbah mau jaga lagi. Takut-takut pas dukun itu datang nanti membutuhkan bantuan mbah di sana, kan lumayan suka bawa pengikut. Mbah jadi dapat rejeki tambahan." Mbah Juju kemudian melangkah ke arahku, memberikan selembar uang seratus ribu.

"Widih, lagi banyak duit nih!" candaku.

Mbah Juju hanya tersenyum, "Ini hasil nunggu makam semalam, rejeki satu suro. Una bikin kopi buat Una ya, biar mbah yang bayar."

"Wah, serius ini! Terima kasih, Mbah!" ucapku kegirangan.

"Ya, sekali-kali mbah traktir kamu, wong kamu aja kalau gajian ga tanggung selalu berbagi sama mbah dan anak mbah," jawabnya.

"Jangan diingat, Mbah! Saya ini hidup seorang diri dan ga punya adik. Kalau lihat Roni yang rajin dan selalu semangat belajar serta sekolah membuat Una kesal kalau ga peduli sama Roni, toh Roni juga sering bantuin Una, kok! Sekarang sekolah ke kota, ya Mbah. Jadi kangen sama celotehannya," tukasku.

Kembali Mbah Juju hanya tersenyum, lalu menunjuk sebungkus rokok di belakangku.

"Hitung sekalian, ya! Roni sudah SMP dan mau ikut mbaknya di kota, biar bisa dapat beasiswa katanya. Terima kasih, lho, Na! Selama ini kamu peduli sama Roni." Lelaki tua itu lalu pergi meninggalkan toko saat rokok dan uang kembaliannya aku berikan.

"Pasti banyak upah yang di dapat Mbah Juju malam ini, semoga selalu begitu," gumamku.

Bagaimana tidak, aku begitu peduli pada Mbah Juju sekeluarga. Sosok lelaki tua renta yang sudah bungkuk itu harusnya duduk manis di rumah, mengingat umurnya yang sudah hampir delapan puluh tahun tersebut.

Sayangnya, kakek tua tersebut masih harus menghidupi anak-anaknya yang sudah menikah dan banyak yang bercerai serta tak bekerja, hanya pada Mbah Juju, mereka banyak berharap.

Sedang Roni, adalah anak dari istrinya yang selingkuh dengan supir truk.

Nasib Mbah Juju yang sudah tua semakin pilu, di mana istrinya meninggalkannya dan menyerahkan bayi yang tak mau diakui selingkuhannya.

Padahal menurut Mbah Juju, selama tiga tahun belakangan dirinya tak pernah menyentuh sang istri ... maka barang tentu anak itu bukanlah anak Mbah Juju, meski begitu Mbah Juju begitu telaten dan menyayangi Roni yang kerap dihina warga sebagai anak haram.

"Ah, kurang apalagi nikmat Tuhan berikan padaku, mungkin masalah jodoh bisa menyusul. Seperti kata orang, ngopi mazzehh," gumamku.

Aku pun menyeduh kopi hasil traktiran Mbah Juju, tak lama kemudian kopi moccacino ala Rauna sudah tersaji.

"Hmmm, bagaimana kalau menyeruput kopi ini di depan saja, sambil mengkhayal kaya, siapa tahu kaya beneran." Aku pun melangkah ke depan dan saat itu, Bandi berjalan dari arah makam menuju ke arahku, lelaki itu tersenyum manis namun ada satu hal yang aku pengen jitak kepalanya.

"Bandi, kenapa kamu belum ganti baju!" pekikku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status