LOGINSaat pakaian Kalea disingkap, Hamish melihat sebuah pemandangan mengerikan.
Punggung gadis itu penuh lebam. Sebagian sudah mulai memudar keunguan, sementara sebagian lain masih hijau terang, tanda jelas bahwa memar itu baru saja terbentuk.
“Apa ini perbuatan ayahmu, Kalea?” tanya Diana lirih, yang tentunya tidak mampu mendapatkan jawaban dari gadis yang sedang tidak sadarkan diri itu. Meski baru mengenal Kalea, tapi dia sudah ikut merasakan sakit dan marah.
Hamish menegakkan tubuhnya. Tatapannya sempat terarah pada wajah Kalea yang memerah, merintih lirih dalam tidur. Namun, perhatiannya kemudian bergeser pada ikat rambut yang terikat di karet pinggang piyama kebesaran yang dikenakan gadis itu.
“Kompres juga bagian yang memar,” perintah Hamish datar.
Diana mengangguk patuh.
Beberapa waktu kemudian, Stephen datang. Dokter muda itu bukan hanya dokter pribadi Hamish, tapi juga sahabat baiknya sejak kuliah. Setelah memeriksa Kalea, dia meminta Diana keluar sebentar. dia ingin berbicara empat mata dengan Hamish.
“Dia… bukan wanitamu, kan?” tanya Stephen, memicingkan mata kepada sahabatnya itu.
“Berhenti menanyakan hal konyol.” Hamish berdecak, melempar tatapan tajam.
Stephen menghela napas. “Hamish … dia masih terlalu muda. Kamu—”
“Dia pekerjaku!” tukas Hamish ketus, tidak menyukai arah kesalahpahaman sahabatnya itu.
Mendengar itu, Stephen mengerjapkan mata, sebelum kemudian menaikkan alis kanannya selagi tersenyum penuh arti. “Serius? Kukira dia wanitamu... karena baru kali ini kamu meneleponku di tengah malam hanya untuk memeriksa seorang perempuan.”
Balasan Stephen membuat Hamish mendelik. “Lakukan tugasmu dengan baik sebelum aku memutuskan untuk mengakhiri kerja sama kita.”
Stephen mengangkat tangan, lalu tertawa tak berdaya. “Oke, oke. Santai sedikit, Bung.”
Saat Stephen memeriksa Kalea, Hamish yang menunggu di sebelah Stephen menautkan alis ketika melihat sahabatnya itu menyentuh tubuh Kalea. “Tidak bisakah kamu berikan obat saja agar dia bisa sembuh?”
“Sabar dulu, Hamish.” Stephen mengangkat alis, lalu menggeleng sebentar sebelum melanjutkan pemeriksaan singkat.
Selesai pemeriksaan, Stephen menghela napas berat. “Kirim saja dia ke rumah sakitku. Sepertinya dia harus menjalani pemeriksaan kesehatan lengkap. Menurut perkiraanku, dia mengalami malnutrisi dan kelelahan berat. Belum lagi…” Stephen menunjuk punggung Kalea, “…jelas sekali dia korban kekerasan. Dia harus diperiksa menyeluruh.”
Hamish menyilangkan tangan di dada, menyimak dengan wajah dingin.
“Menyusahkan,” gumamnya pendek.
Stephen menyeringai. “Menyusahkan bagaimana? Memangnya kamu yang mau repot-repot mengantarnya ke rumah sakit?”
“Ck! Tentu saja tidak.” Hamish mendengus.
Stephen tertawa kecil, lalu mengeluarkan kantong kecil berisi obat.
“Sementara, berikan saja ini dulu. Supaya dia bisa tidur dengan tenang. Besok, kalau hasil pemeriksaan sudah ada, aku akan buatkan resep lengkap.”
Dokter berkacamata itu menepuk bahu Hamish, lalu bersiap pulang.
“Jangan lupa, bayaranku dobel! Lihat jam berapa sekarang! Kamu memanggilku tengah malam begini, benar-benar tidak tahu waktu!” serunya sambil berlalu.
Hamish hanya mendesah, tak menanggapi. Dia melangkah mendekati Kalea untuk meletakkan obat di nakas. Namun, langkahnya tertahan ketika mendengar gadis itu kembali mengigau.
“Ibu… Ibu…” suara Kalea pelan, namun jelas. Sebulir air mata jatuh dari sudut matanya.
“Jangan pergi, Bu… jangan tinggalkan aku…”
Hamish terdiam. Ada rasa asing yang tiba-tiba muncul di dadanya. Perasaan itu begitu familiar, mengingatkannya pada luka lama. Dia tahu betul rasanya kehilangan seorang ibu di usia muda.
“Ibu… aku mohon… bawa aku pergi ke surga bersamamu. Aku tidak kuat lagi, Bu…” Kalea merintih, air mata pun kembali luruh membasahi pipi, menetes, berjatuhan dan menghilang di permukaan bantal.
Tanpa sadar, satu tangan Hamish terulur, hendak mengusap air mata yang kembali turun dalam hening itu. Namun, sebelum sempat menyentuh pipi Kalea, pintu kamar terbuka. Diana masuk membawa kompresan baru.
Hamish buru-buru menarik kembali tangannya, wajahnya kembali datar. Dia berdiri tegak, lalu menyodorkan obat kepada Diana.
“Bangunkan dia, suruh minum ini!”
“Apa harus makan dulu, atau bisa langsung diminum, Tuan?” tanya Diana hati-hati.
“Apa kamu tidak tahu cara membaca? Baca sendiri aturan pakainya!” sahut Hamish ketus seraya langsung berbalik keluar kamar dengan wajah kesal.
Diana mengusap dadanya, bergidik kecil. “Kenapa Tuan tiba-tiba marah begitu?” gumamnya heran, merasa bahwa seakan-akan dia telah mengganggu sesuatu.
***
“Apa kita tak berpamitan dulu pada Pak Elias?” tanya Kalea. Ia menonton Hamish yang sedang menutup koper kecilnya di ambang pintu flatnya.“Buat apa? Tak perlu!” jawab Hamish pendek.“Dan aku tak ingin kamu berkomunikasi dengan pria tua itu! Kalau dia menghubungimu, bilang padaku! Aku harus tahu apa saja yang dia bicarakan denganmu. Jangan meladeninya! Dan jangan pernah mau diajak bertemu lagi. Kamu hanya boleh menemuinya jika bersamaku!”Kalea mengerjap, tetapi tak ada pilihan selain mengangguk.“Pria tua bangka itu malah mau jadi duda, lagi! Sialan!” Hamish mengerutu. Kesal dengan status yang akan disandang ayahnya. Tak dipungkiri jika dalam dadanya tersimpan was-was ayahnya akan menggatal pada Kalea.Tentu saja kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan, pengalaman di masa lalu sudah memberikannya trauma mendalam.“Kamu yakin akan membiarkan dua temanmu itu ikut mengantar sampai ke bandara?” Hamish berbisik pada Kalea, lalu melirik ke belakang, ke dalam ruangan flat. Di sana, Ginna dan
Hamish mondar-mandir gelisah di depan kamar mandi. Kalea lama sekali di dalam sana. Membuatnya benar-benar khawatir.Ia tak bisa masuk untuk melihat keadaan gadis itu karena pintu terkunci dari dalam.“Lea, lagi apa? Kamu kalau kesulitan tak apa minta tolong padaku. Aku mau bantu.” Hamish mengetuk lagi pintu kamar mandi.“Kamu sedang sakit, Lea. Kamu jangan malu.” Pria itu tak putus asa. Sesekali menempelkan telinganya ke daun pintu.“Aku janji akan menutup mataku. Aku bukan pria mesum, Lea. Aku hanya mencemaskanmu.”Di dalam, Kalea memang kesulitan. Mengandalkan satu tangan dan tangannya pun tersambung ke selang infus. Ia harus dengan sabar melakukan segalanya pelan-pelan dan bergantian.Saat gadis itu menyelesaikan urusannya, ia keluar dengan bagian depan piyama yang basah dan selang infus yang berdarah karena terlalu banyak bergerak.Hamish menghela napas melihat Kalea. Tetapi tak banyak bicara.Pria itu hanya memeluknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.“Aku sudah menyuruh
Langit seakan langsung mendung kelabu saat dokter menyatakan bahwa tangan Kalea memerlukan pemulihan hingga satu sampai dua bulan untuk kembali ke kondisi semula. Ada bagian syaraf yang terkena ujung pisau yang membuat fleksibilitas jari-jari Kalea terganggu. Dan itu artinya, Kalea tak bisa menggambar hingga selama itu.“Bagaimana project tugas akhir saya?” Kalea menatap hampa ujung ranjang pasiennya. Padahal ia tengah semangat-semangatnya.Ia juga sudah merencanakan banyak hal termasuk menyelesaikan kuliah di tenggat waktu yang sudah dirancang sedemikian rupa dari jauh hari. Ia bahkan sudah membayangkan hari wisudanya.Dengan tangan seperti ini, bagaimana ia mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan tepat waktu? Bisa-bisa ia tak bisa lulus tahun ini bersama Ginna dan Brady.“Masih ada waktu sedikit lagi sampai tenggat akhir biar bisa ikut wisuda tahun ini. Kalau pun memang tak bisa, tak apa, Lea. Kamu masih bisa ikut wisuda tahun depan. Tak perlu terburu-buru. Yang terpenting tangan
Mendengar pertanyaan Kalea, Hamish hanya mendengkus, lalu mencubit pipi gadis itu.“Aku lupa kalau kau juga perempuan. Perempuan senang sekali validasi, kan?” ucapnya, lalu menyimpan mangkuk di tangannya ke nakas.Ia menatap lekat Kalea. Keduanya pun bertatapan.“Kamu ingin tahu?” tanyanya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu hingga hampir tak berjarak.Kalea sontak memundurkan kepalanya, tetapi dengan cepat tengkuknya ditahan oleh tangan Hamish.“Ya. Aku cemburu!” bisik pria itu dengan suara parau.“Cemburu sampai rasanya ingin kupatahkan tangan siapa saja yang berani mengusikmu. Cemburu hingga rasanya ingin kumusnahkan siapa saja yang berani menggodamu.”Kalea meremang. Matanya memejam dengan tubuh menegang. Embusan hangat napas Hamish membelai kulitnya dan ia bisa merasakan bibir lembut pria itu menyentuh ujung hidungnya.“Kamu … milikku. Hanya milikku,” bisiknya lagi dan perlahan bibirnya turun, mengecup ringan bibir Kalea yang mengatup erat.Hamish tersenyum, lalu mengec
Elias panik. Ia tahu betul tempramen anaknya. Memang, sebelas dua belas dengannya.Putranya yang pemarah itu tak ada bedanya dengan dirinya ketika muda. Mudah meledak dan tak segan melakukan apa pun untuk mencapai sesuatu.Dan ia yakin Hamish akan lebih parah lagi karena didorong rasa sakit dan dendam yang dipendam sejak lama.“Tidak, Hamish! Hentikan!” Elias segera mendekat dan mencekal lengan putranya. Ia pun menoleh pada Jordi, meminta pria itu untuk mencegah Hamish melakukan hal gila.Akan tetapi, Jordi hanya bisa menggeleng lemah. Suatu kemustahilan baginya meredam amarah Hamish jika sudah seperti itu. Yang ada, ia akan menjadi bagian dari kegilaan atasannya tersebut.“Jangan ikut campur! Perempuan itu sudah terlalu banyak berulah!” sergah Hamish.“Tidak! Tolong jangan main hakim sendiri! Ini urusanku. Bagimanapun dia masih istri sahku!”Hamish menoleh perlahan. Menatap Elias dengan api kebencian yang menyala.“Jika kau dan istrimu itu tak ingin kusentuh, tak bisakah kalian biark
“Sabar dulu. Dengarkan dulu! Tak bisakah kamu atur sedikit emosimu yang meledak-ledak itu?” Elias berkata dengan tenang. Berusaha mendinginkan situasi.“Tidak! Aku tak bisa sabar jika itu menyangkut denganmu! Aku tak bisa menahan emosi jika itu ada sangkut pautnya denganmu!” balas Hamish dengan tajam.“Sekarang katakan! Kenapa Kalea sampai terluka? Kau apakan dia, hah?” Hamish benar-benar tak terkendali setiap bertatap muka dengan Elias. Dipaksa untuk tak emosi pun sangat sulit.Amarah yang sudah terlanjur tertimbun begitu lama membuatnya selalu ingin menyerang tiap kali melihat ayahnya dari dekat.“Tuan, tenang dulu. Lebih baik Anda lihat keadaan Nona Kalea dulu.” Jordi berusaha menengahi.Ia tak ingin ada pertumpahan darah lebih awal di rumah sakit.Hamish tersentak. Ia baru saja melupakan Kalea. Padahal ia begitu mencemaskannya dari sejak di perjalanan hingga sesak napas.Pria itu pun mendekati ranjang pasien dan Elias dengan cepat menyingkir. Tak ingin pergesekan mereka semakin me







