Perasaan yang tertekan
Setelah waktu yang hampir dua bulan ini, Tina yang sering kali di tidurin oleh Nathan saat dia tidak sadar, saat ini ia merasa lebih lelah saat bekerja. Badannya terasa berbeda dari sebelumnya. "Ada apa, non? Apa kamu sakit?" tanya bik Ina yang terus memperhatikannya dalam dalam. "Tidak ada apa apa, bik. Mungkin aku hanya lelah saja." "Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat saja dulu. Jangan terlalu di paksakan kalau lagi tidak sanggup." Tina mengangguk dan lalu membaringkan tubuh mungilnya di kasurnya. Bik Ina pun segera keluar kamar dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. "Di mana Tina?" tanya Nathan pada bik Ina. "Ada di kamar Tuan. Ada perlu apa ya, biar saya panggilkan." jawab bik Ina sopan. "Tidak ada. Ahh tidak perlu di panggilkan bik. Kau bisa melanjutkan kerja mu saja." "Baik, Tuan. Non Tina terlihat begitu pucat dan lemas. Bibi minta dia untuk istirahat sebentar." ujar bik Ina. Nathan tak menjawab, ia segera pergi dari hadapan bik Ina. Karena rasa penasaran, Nathan melangkahkan kakinya menuju kamar Tina. "Apa kau sakit?" tanya Nathan yang tiba tiba saja datang. Tina perlahan membuka matanya yang agak berat. "Maaf, Tuan. Aku tidur. Tidak tau kenapa badanku terasa lemas." jawab Tina serak. "Sudah kau minum obat?" Tina menggelengkan kepalanya pelan. "Tanda di lehermu itu kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Nathan tegas. Tina mendongakkan kepalanya dan menatap Nathan dengan lesu. "Tuan tidak ingat apapun? Ahh lupakan. Jika tidak ada yang perlu lagi, biarkan aku istirahat sebentar." "Istirahatlah! Apa yang terjadi?" tanya Nathan sekali lagi. Tina tidak menjawab. Dirinya bingung harus menjawab apa. Melihat ekspresi Tina yang diam, Nathan segera keluar dari sana dengan berdecak kesal. Setibanya di kamarnya, Nathan baru ingat ada CCTV di lorong menuju kamarnya. Nathan segera mengecek rekaman CCTV itu dengan seksama. Ddddrrrrrr.... Namun, belum sempat Nathan melihat rekaman itu, tiba tiba ponsel Nathan berdering. Nathan langsung menjawab panggilan itu, laptopnya dia tinggalkan begitu saja. Begitu setelah Nathan bicara di telepon nya pun, laptopnya langsung di tutup dan bergegas pergi keluar. "Mau kemana kamu?" tanya Marissa tegas. "Ada pekerjaan mendadak ma. Aku harus segera tiba di sana." jawabnya datar. "Pekerjaan mulu. Kapan cari istri?" "Mama ini selalu tanya soal istri. Iya, nanti aku bawakan." Nathan yang malas berdebat dengan ibunya segera pergi dari hadapan ibunya. Aish! Decak Marissa kesal. Setibanya di kantor pun Nathan bukan fokus pada pekerjaan yang penting itu. Nathan sering terpaku dan melamun sendiri. Apa yang terjadi ya? Banyak pertanyaan timbul dari beberapa staf dalam ruangan rapat itu. Mereka melihat Nathan dengan ekspresi yang heran. Kenapa bosnya kali ini hanya diam saja? Biasanya bosnya itu langsung komplain jika ada kendala atau tidak kesukaan di hatinya. "Bagaimana, pak? Apakah penjelasan barusan bisa di ambil?" tanya sekretarisnya yang memang duduk di sampingnya. "Kamu periksa saja dulu. Kamu kan sudah sering ikut rapat, jadi kamu tau mana yang bagus dan yang tidak." ketusnya. "Baiklah rapat ini sampai di sini saja. Keputusannya akan di berikan besok." sambungnya lagi. Setelah itupun Nathan langsung keluar menuju ruangannya. Pikirannya campur aduk antara pekerjaan dan juga apa yang terjadi di rumah. Dan apa yang terjadi pada Tina. Dan kenapa Tina jadi sakit? Apakah ada kaitannya dengannya? Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di pikirannya. Nathan pun baru ingat kalau tadinya mau ngecek CCTV yang tertunda. Nathan pun segera meraih laptopnya dan membuka kembali rekaman itu. Begitu terkejut dan syok saat melihat detail rekaman CCTV tersebut. Bagaimana ini? Jadi yang jadi pelampiasan ku selama ini adalah Tina? Lalu kenapa dia menyembunyikan itu dari ku? Aish! Aaarrgggghhh!!! Nathan berdecak kesal setelah mengetahui semua hal yang terjadi. Tidak tau apa yang harus di lakukannya. Nathan begitu frustasi saat melihat rekaman itu. Setelah begitu lama, Nathan berdiam diri dan istirahat. Kini Nathan bangkit dan menuju garasi mobil. Nathan mengemudi mobilnya dalam kecepatan tinggi. Tujuannya yaitu menuju rumah. Nathan tiba di rumah saat semuanya sedang duduk menunggunya pulang di meja makan. "Baru pulang?" tanya Marissa tegas. "Apa sedang menungguku? Sudah, kalian makan saja duluan tidak perlu menungguku. Di mana Tina? Apa dia belum sembuh?" "Sudah kok Tuan. Dia ada di belakang." tukas bik Ina. Nathan tidak menjawab. Dia langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Bik Ina langsung memberitahu Tina bahwa Nathan sudah pulang. Dan segera menyiapkan makan malam untuknya. Lagi lagi hati Tina teriris saat mendengar nama Nathan. Entah kenapa rasanya hati kecil itu cukup sesak jika harus bertemu lagi dengan Nathan. Tok.. Tok.. Tuan, aku mengantarkan makan malammu. Nathan tidak menjawab. Tina masuk dan menyajikan makanan serta minuman di atas nakas. "Silahkan di makan Tuan selagi makanannya masih hangat." ujar Tina, namun dengan suara serak dan gemetar. "Kenapa dengan suaramu?" "Tidak tau Tuan. Mungkin karena tadi sakit. Tapi sekarang sudah tidak apa apa kok." Jelas Nathan melihat bahwa Tina menyimpan rasa takut padanya. "Katakan ada apa! Apa yang terjadi?" tekannya. Tekanan itu malah membuat wanita mungil ini takut. Tina tidak berani menatap Nathan yang masih saja menatapnya dengan tajam. "Tuan tidak apapun?" tanya Tina singkat sambil menundukkan kepalanya. "Sudah jelas ada yang terjadi. Katakan semuanya! Dan juga tanda di lehermu itu.." "Aku bingung cara menjelaskan. Tapi Tuan melakukannya. Dan juga Tuan merenggut keperawanan ku. Padahal aku hanya membantu mu saja, tapi.." Tina akhirnya menjelaskan apa yang terjadi dengan isak tangis. Tidak bisa, membendung lagi air matanya, Tina langsung menangis sesenggukan. Bukannya kasian melihat keadaan Tina, Nathan bahkan langsung berpaling menatap ke jendela. "Maaf." Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya tanpa menatap gadis itu. Tiba tiba saja Tina merasa pusing mungkin kelamaan berdiri di sana. "Ada apa?" "Tidak tau. Aku pusing. Aku juga tidak datang bulan." Deghhh... Tidak datang bulan? "Jangan bilang kamu hamil." tekannya. "Sepertinya begitu. Aku juga belum cek testpack." "Besok kamu harus cek dulu. Dan ingat, jika benar kamu hamil kamu harus berhenti bekerja. Paham!" "Ke-kenapa Tuan?" tanya Tina dengan gemetar. "Kamu masih ingin bertanya?" Tina merasa terkejut dan terluka dengan kata kata Nathan. Dia tidak tau apa yang harus di lakukan selanjutnya. Dia hanya bisa berdiri disana, menatap Nathan dengan perasaan sedih dan kecewa. Tekanan itu semakin membuat Tina teriris. Perasaannya hancur, tubuhnya hancur. Hatinya sakit yang teramat dalam. Namun, dia tidak bisa mencurahkan nya. Dengan hati yang sakit dan berat, Tina melangkah keluar dari kamar itu dengan langkah gontai. Kok bisa Tina di perlakukan seperti itu? Apa kesalahan Tina? Setelah cek testpack besok, jika di ketahui hamil bagaimana reaksi Nathan? Apakah dia akan menerima bayi itu? Atau dia malah marah dengan kondisi kehamilan Tina. Bersambung...Keesokan harinya, paman pulang kerumah dengan tatapan kosong. "Ada apa pak? Kenapa begini, bapak sakit?" Tanya bik Seri yang panik melihat kondisi sang paman. "Dimana Tina?" "Mereka masih di kamar. Kenapa pak?" "Mereka harus kembali pulang saja. Tidak ada guna juga tetap disini. Salma masih tidak berubah terhadapnya. Uang segalanya di depannya. Dasar serakah!" Dengan emosi yang mendalam, mata yang memerah, rahang mengeras, dengan tangan meninju. Paman mengepal kuat tangannya. "Sudah, jangan marah-marah dulu. Belum sarapan kan? Sana sarapan dulu biar tenang." Memang dari dulu dulu istrinya itu paling mengerti dirinya dan paling mudah untuk menenangkannya. Sang istri tidak takut sedikitpun padanya walaupun saat ia sedang marah. *** Kembali lagi ke Nathan dan Tina. "Lalu apa rencanamu?" Tanya Nathan datar. "Balik saja. Hari ini juga kita pulang." "Kenapa mendadak? Ibumu belum sembuh total dan masih dirumah sakit. Kenapa, nggak betah ya?
Tina menoleh sesaat lalu menunduk lesu. Tubuhnya yang gemetar perlahan membaik. Ia tak langsung menjawab, rasa takut masih menjalar di tubuhnya. "Ayo, istirahat. Kamu butuh banyak istirahat. Tidurlah." Tina sejenak termenung. Terkagum melihat sikap Nathan yang sekarang. Ada apa dengannya? Dan ada apa denganku? Tina langsung ikut merebahkan tubuhnya di samping Nathan. Namun, hatinya terus berdebar hebat tak karuan. Kini, Nathan malah berbalik lagi. Nathan tidur dengan menghadap langsung kearahnya. Tina semakin linglung dibuatnya. "Apa yang salah? Kenapa kamu?" Tanyanya dengan mata yang masih menatap lurus kearah Tina. "Apa maksudmu, Tuan?" "Entahlah. Apa yang kamu punya? Kenapa aku aku melakukan itu waktu itu? Kenapa aku harus menikahimu? Padahal begitu banyak cewek-cewek berkelas dan cantik yang selalu saja mengejarku. Tapi, kenapa kamu yang aku pilih?" "Kenapa kamu nanya itu padaku? Mana aku tau." "Apa mungkin karna anak yang tumbuh di rahimmu i
"Bik, siapkan barangmu juga. Kamu akan ikut dengan mereka." Bik Misna hanya bisa mengangguk pelan tanpa membantah apalagi bertanya. Tak lama kemudian, Nathan pun tiba di rumah. Ia melihat Tina yang sudah siap dengan barangnya begitu juga dengan pelayan mereka. "Cepat angkat ini ke mobil!" Titah Marissa lantang. Nathan memutar balek tubuhnya dengan malas dan segera mengangkat koper itu ke bagasi mobil. "Terimakasih, Tuan" Hmmm... Tina masih berdiri dengan alis mengerut. "Jawabannya begitu ya?" Sontak, Nathan segera berbalik menoleh menatap Tina dengan tatapan datar. "Capat masuk. Katanya terburu-buru." "Nathan. Langsung di suruh masuk aja, pintunya tidak kamu buka bagaimana dia bisa masuk. Dasar kamu!" Hhhffff.. Lagi lagi Nathan hanya menghela nafas. Setelah 6 jam di perjalanan, akhirnya mereka tiba di rumah sakit Bhayangkara. Itu rumah sakit yang tidak jauh yang terletak di pertengahan kota dan desa. Tina langsung turun dan ber
Kakinya melangkah mantap menuju rumahnya. Semakin jauh ke dalam tampak rumah rumah sudah sunyi. Mungkin sebagian orang sudah tidur. Herlina membuka pintu rumahnya yang ternyata tidak di kunci. Ibu Salma sudah berapa hari ini tidak kelihatan di komplek desa. Namun, mereka juga enggan mencarinya. Begitu syok, Herlina mendapati ibunya dalam keadaan menggigil di dalam rumah itu seorang diri. Tubuhnya kusut, kurus kering. Herlina menangis sejadi-jadinya. Sama siapa ia harus meminta tolong? Jika semua orang desa ini mengucilkan dirinya. Hanya dua orang yang terlintas di hati Herlina yaitu paman dan bibinya. Dengan panik Herlina menelpon pamannya. Dia menceritakan kondisi ibunya pada sang paman. Mendengar kabar itu, paman pun segera datang kerumah bersama istrinya. "Kita harus bawa dia kerumah sakit, ayo." Mereka pun langsung mengangkut ibu Salma ke atas kereta yang ada. Hanya satu kendaraan yang ada, hanya paman yang ambil alih berkendara dan istrinya yang dudu
Sang paman melihat adik iparnya yang sering kali mencari makanan bekas dan juga sering kali mencuri makanan orang. Melihat adiknya yang sudah hilang akal membuat dirinya tidak tega. Masih ada rasa welas asih terhadap adik iparnya tersebut. Untung saja sang paman mengingat dua keponakannya itu, jika tidak dia sudah lama tidak sudi menjalin hubungan dengannya. "Ini, makanlah." Ibu Salma melirik kakak iparnya sejenak, lalu langsung menarik kantong makanan yang di bawakan sang paman. "Terimakasih kak." Air mata berlinang saat menyuapkan nasi ke mulutnya. Ternyata kakak iparnya masih peduli padanya. Dia tidak benar-benar dibuang. Ada rasa haru sekaligus malu terhadap kakak iparnya. *** "Bagaimana bang? Apa yang terjadi dengan Salma? Benarkah yang di bicarakan orang-orang?" Tanya istrinya dengan lembut. Namun hatinya merasakan kekhawatiran yang mendalam. "Aku sudah melihatnya. Keadaannya persis seperti yang di bicarakan orang-orang. Sudahlah. Biarkan saja sepert
Herlina malahan pergi.. Seminggu kemudian, kehidupan mereka terasa tenang. Tampak Herlina pun tidak pernah muncul lagi mengganggu mereka. Lalu, kemana Herlina menghilang begitu saja? Bahkan ibu Salma pun tidak tau kemana perginya Herlina. Walaupun sudah satu minggu mereka menikah, tapi Tina masih takut berdekatan dengan Nathan. Begitu pula dengan lelaki itu, ia pun tidak memaksa Tina dengan hasratnya. "Makan malam dulu, Tuan." Ujar Tina. "Kamu yang siapkan makanan ini?" Belakangan ini, dan malam ini, Nathan pulang larut malam. Bahkan dia masih belum makan. Ada apa? Kenapa dia belum sudah jam segini? Melihat hidangan makanan di hadapannya, Nathan langsung mengambil sendok dan menyuapkan nasi itu ke mulutnya. Selesai Nathan makan, ia malah beranjak pergi begitu saja. Hal itu membuat Tina menjadi kesel. "Sifatnya tak pernah berubah. Hargailah sedikit bantuan orang. Ini malah pergi gitu aja. Ihhh." Decak Tina dengan mood emosional. Begitu Tina selesai