"Hmmm...mungkin memang dia sedang ada pekerjaan, tolong di maklum ya sayang," ucap Mama Anita, sambil mengelus rambut mantunya itu. "Nanti agak siangan kamu antar mama yah! Kita jalan ke mall sebentar. Ada hal yang harus mama beli sayang," ajak mama Anita. Membuat Miranda terdiam sejenak, memikirkan ajakan mertuanya itu. "Aah iya mah," jawab Miranda pasrah. Baginya, memenuhi keinginan mertuanya merupakan sebuah kebanggan. Karena dengan mama Anita yang menyukainya, siapa tahu Barak semakin lama akan menyukainya pula. "Kalau begitu, kau siap-siap saja dulu. Mamah mau mengobrol sebentar dengan nenekmu," perintah mama Anita, sambil mengelus lembut pipi Miranda, yang saat ini tertunduk malu, mendapat perhatian dari mama mertuanya yang penuh kasih sayang padanya. Dengan segera, Miranda menuju kamarnya. Ia tak mau mengecewakan mama Anita yang mau mengajaknya jalan. "Tak apa, sekarang, mama yang mengajakku, semoga ke depannya, mas Barak akan jatuh cinta juga padaku," harap Miranda dalam
"Kamu tunggu sebentar ya, mama mau telpon Barak. Biar dia yang menjemputmu," ujar mama sambil mencoba mencari kontak Barak. Miranda diam tak mengerti. "Bukannya tadi kita kemari naik mobil mama? kenapa harus menyuruh mas Barak?" sebuah tanda tanya besar di benak Miranda, yang tak berani ia ungkapkan. "Tak usah heran bagitu sayang. Mama sengaja suruh Barak jemput kamu. Biar kalian bisa makin deket," ujar mama sambil mencubit sedikit pipi mulus Miranda. Dengan cepat Miranda mengusap pipinya bekas cubitan mama Anita. "Hallo sayang!" " Iya mah, kenapa? tumben telpon siang begini?" "Sayang, bisa jemput mama di salon langganan mama sekarang enggak?" Barak tak langsung menjawab. Dia yang sedang sibuk menandatangani banyak berkas di mejanya, membuat kurang fokus dan kurang mendengarkan apa yang mama Anita sampaikan. "Kenapa mah? Maaf barusan aku tak dengar," Bara mengulangi pertanyaannya. "Kau jemput mama sekarang ya, di salon langganan mama. Masih ingat kan?" Barak hanya menghela n
"Apa maksdumu menggulung rambutmu ke atas? kau mau aku tergoda melihat kulit lehermu itu? jangan harap!" kata menohok yang tiba-tiba Barak ucapkan pada Miranda, berhasil membuat Miranda menoleh ke arah suaminya. Tak ada niatan sedikitpun di hatinya untuk menggoda laki-laki angkuh dan sombong seperti Barak. "Aah ti tidak! Aku memang kegerahan. Aku jalan begitu jauh. Sehingga keringat ini membuatku teriksa. Jadi aku ikat saja rambutku, setidaknya ini bisa membuat rasa gerahku sedikit berkurang," jawab Miranda polos. Ia malah menggosok gosok Lehernya, hingga nampak sedikit kemerahan di leher putihnya itu. Lagi-lagi, itu berhasil membuat Barak semakin tak bisa diam. Sebagai lelaki normal, ia tentu merasa tergoda melihat kemolekan tubuh istrinya itu. Walau hanya di pandang dari luar, sudah bisa ditebak, kalau isinya sama mulus dan putihnya seperti apa yang nampak. "Kalau kau terus menggosok lehermu begitu. Aku akan menurunkanmu di jalan sekarang juga!" hardik Barak, yang semakin tak kua
"Cepat turun! perihal barusan tak usah kau anggap serius. Itu hanya kesalahan kecil yang tak akan pernah terulang lagi!" gertak Barak menyuruh Miranda untuk tak mengingat kejadian barusan di mobil. Rasa malu sebenarnya yang sedang di rasakannya saat ini, membuatnya harus bersikap lebih dingin dan kejam, agar Miranda benar bisa melupakan kejadian yang hampir membuatnya tak bisa tidur semalaman. "Lagian juga, siapa yang mau dicium sama dia?" dasar laki-laki aneh!" Miranda yang geram mendengar perkataan Barak, mengelus perutnya, seperti seorang ibu hamil. Barak terus berlalu meninggalkan Miranda yang masih terpaku. seolah tak terjadi apa-apa, Barak sangat pandai menyimpan ekspresi wajahnya dengan keangkuhannya. "Kau pilih Pilihlah! baju mana yang akan kau ambil. Ingat, kau harus memilih pakaian yang sesuai dengan selera Mama!" kata Barak sambil memainkan ponselnya, tanpa sedikit pun menatap wajah istrinya. Miranda hanya berjalan-jalan melihat semua pakaian yang tergantung
"Ceroboh kau ini! sudah tak pandai menjaga penampilan, tak pandai juga kau menjaga matamu?! Hanya membawa barang begini saja, kau tak bisa? Lalu apa kelebihanmu?!" sambil berkacak pinggang, Barak menghakimi Miranda yang jatuh terpeleset. Bukannya menolong, justru dengan seenaknya, Barak memaki istrinya di depan umum. Ia tak peduli seberapa pasang mata menatapnya dan Miranda. Dengan keangkuhannya, Barak mempertontonkan siapa dirinya pada orang yang berlalu lalang. "Tega sekali kamu mas, kenapa sampai hati kamu memarahiku di tempat umum begini? Apa tak bisa kau membantuku, aku sedang kesulitan membereskan semua baju ini?" lirih Miranda sambil menahan tangis yang siap meledak. Barak jongkok, dan memegang dagu Miranda. "Ini hanyalah permulaan, atas keberanianmu menerima lamaran mamaku," sambil memicingkan sebelah matanya, tatapan Barak terlihat penuh dendam. Namun, tiba-tiba sebuah tangan kekar meraih Miranda dan membantunya untuk berdiri, dari ke tidak berdayaannya. "Mbak engg
"Mas... kau tak apa-apa kan?" tanya Miranda yang khawatir dengan kondisi Barak. Namun Barak tak menjawab sepatah kata pun.Ia hanya fokus dengan setir didepannya. Miranda memberanikan diri memegang tangan Barak. Ia berharap, Barak bisa menoleh dan menjawab pertanyaannya. Namun sikap angkuh yang sudah melekat dalam jiwanya, membuatnya tak sedikitpun peduli dengan perhatian Miranda."Lepaskan tanganmu! Berani nya kau memegang tanganku begitu?!" bentak Barak, sambil melepaskan tangan Miranda dari atas tangannya. "Maaf mas, aku hanya_ "Hanya apa? Dasar wanita jalang! Beraninya memegangku. Aku tak suka kau perhatikan!" sungguh hinaan yang keluar dari mulut Barak, telah berhasil mengiris hati Miranda. Sosok yang sangat ia hormati, bisa mengeluarkan perkataan buruk seperti itu? Miranda tak bisa lagi membendung air mata nya. Semenjak tadi ia bertahan untuk tak mengeluarkan air mata, namun ia hanya manusia biasa. Rasa sakit mendengar perkataan yang amat kotor keluar dari seseorang
Saat mereka berdua sedang bersitegang, tiba-tiba nenek mengetuk pintu dari kamar. Belum sempat terucap maaf dari mulut Barak, nenek sudah menggagalkan niat Barak. "Miranda! Ada tamu yang mau bertemu denganmu!" ujar nenek dibalik pintu kamar. Seketika Miranda dan Barak terdiam, mendengarkan nenek berbicara. "Siapa nek?" tanya Miranda. Seingatnya, ia tak mengenal siapa pun di tempat neneknya ini. "Aku keluar dulu mas," ucap Miranda dan bergegas keluar kamar, untuk menemui orang yang nenek maksud. Barak hanya bergeming. Dia tak mau berbicara apapun pada Miranda, yang lebih memilih meninggalkannya sendirian, ketimbang berdiam di kamar bersamanya. Dengan berlari kecil, Miranda menemui tamu yang sudah menunggunya. Langkahnya sejenak ia pelankan, saat melihat punggung seseorang yang berdiri menatap keluar. "Laki-laki? siapa dia? Apa temannya mas Barak?" Miranda bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian, untuk memastikannya, ia semakin mendekati lelaki itu. "Ehemm... maaf, den
Seperti biasa, Barak berlalu tanpa menghiraukan Miranda sama sekali. Kedatangan Miller ia jadikan alasan untuk bisa pergi dari rumah nenek. Ia akan membawa segudang alasan untuk mama Anita, agar mama Anita mau mengabulkan keinginannya ,untuk berpisah dengan Miranda. "Hahaha...sebuah alasan yang sangat bagus. Dengan begini, aku bisa dengan mudah melepaskan gadis kampung itu," batin Barak, yang saat ini sedang mengendarai mobilnya. Barak bersiul dengan bersemangat. Betapa dia sangat bahagia karena perkiraannya, pernikahannya dengan Miranda akan segera berakhir dan Barak bisa bebas dari hubungan yang tak membuatnya nyaman. Barak memasang wajah kecewa. Kini, ia tengah bersandiwara di hadapan Mama nya. Sambil sedikit memijit hidungnya agar terlihat merah. Ia memang pandai berakting. Pandangan Anita langsung tertuju pada Barak, ketika anak semata wayangnya itu menginjakan kaki di rumahnya tanpa istrinya. Ia memandang dengan heran. Pasalnya, Mama Anita yakin, kalau usahanya kemarin, denga