"APA? Kalian mau cerai?"
"Iya, Mi."
"Kalian ini apa-apaan sih? Masa baru satu tahun menikah udah mau cerai?!"
"Iya, kalian ini gimana, sih? Apa kata orang-orang nanti kalau tau kalian mau cerai? Teman-teman mama-papa, sodara-sodara, tetangga kita? Enggak, enggak! Enggak ada yang namanya perceraian!"
Kaori meniup ujung poninya lalu bertopang dagu. Dia tahu kalau dirinya akan disidang habis-habisan oleh ibu mertua dan ibunya sendiri sesudah dia menyatakan niatnya yang ingin bercerai dengan Davin, pria yang dijodohkan dengannya yang tak lain dan tak bukan adalah rivalnya sejak jaman SMA, yang juga anak dari sahabat mamanya sejak duduk di bangku SD.
Ah, ya ampun! Mereka ini memang sahabat rempong! Hobinya mengurusi masalah anak dan menantu! Kaori benar-benar jengkel dibuatnya.
"Kaori, kamu masih ingat kan, resepsi pernikahan kalian itu diadakan tiga hari tiga malam di Bali? Mewah banget! Sampai Mama ngundang artis untuk nyanyi di resepsi kamu dan Davin! Mama sama Papa udah habis duit banyak loh buat resepsi itu!"
"Iya, Kaori, Mami juga udah pernah kasih sepuluh tiket bulan madu ke sepuluh negara, masa iya kalian mau cerai gitu aja? Ingat-ingat lagi dong kemesraan itu! Enggak, enggak, Mami nggak setuju!"
Kaori mendesah, mulai merasa muak. "Aku sama Davin emang udah nggak cocok, Ma, Mi."
"Nggak cocok gimana? Apa goyangannya Davin kurang kenceng?" tanya Kintan, ibu mertuanya.
Kaori mendelik. Kenceng apaan? Digoyang aja nggak pernah!
"Atau, jangan-jangan, kamu yang desahnya kurang greget?" Bella, mamanya, mulai ikut-ikutan.
"Gayanya Davin monoton? Makanya kamu bosen?"
"Atau, mungkin kamu yang selalu pake gaya patung? Nggak mau bales grepe-grepe?"
Pembicaraan apa ini? Apa begini cara orangtua membereskan masalah anaknya yang akan bercerai?
"Mami punya jamu yang bakal bikin ranjang kalian bergoyang kenceng."
"Mama juga punya resep yang bikin kamu bakal 'tapakiak' kalau kata orang Padang."
"Siapa tau itu bisa bikin kalian nggak jadi pisah."
Kaori menutup telinganya mendengar kata-kata kotor yang mengisi jiwa sucinya. Ia lalu berdiri dan berseru dengan tegas, "Pokoknya aku sama Davin tetap akan bercerai. Suka atau nggak suka, Mami dan Mama harus terima!"
Pada saat yang sama, Davin juga sedang disidang oleh ayah mertua dan ayahnya sendiri. Pria berambut cokelat itu hanya bisa mendelik setiap mendengar nasihat yang diberikan padanya.
"Mungkin kamu kurang strong, Vin."
"Atau jangan-jangan punyamu loyo, ya?"
Davin tertawa mendengus, tak mengira bahwa pria-pria tua ini akan berbicara sevulgar itu padanya yang masih perjaka ini.
"Pa, Pi, pernikahan itu kan bukan soal ranjang aja. Banyak hal yang membuat kami merasa tidak cocok. Mungkin, memang kami nggak berjodoh," ucap Davin, berusaha memberi pengertian.
"Justru, setelah menikah itu, yang harus dinomorsatukan adalah soal urusan ranjang."
"Lihat Mami sama Papimu, tua-tua begini, kami masih langgeng sampai sekarang. Karena apa? Ya karena memang Papimu ini jago di kamar."
"Benar itu, Vin. Kamu harus buat istrimu bahagia. Buat dia jatuh cinta setiap hari sama kamu. Seperti yang Papa lakukan selama ini ke mama mertuamu."
Davin mendesah. "Udahlah, Pa, Pi, semua udah terlambat. Kami memang harus pisah. Kami nggak jodoh."
Dan Davin pun beranjak, menuju kamarnya. Di dalam kamar, ia mendapati Kaori sedang membereskan barang-barangnya.
Sejenak mereka saling menatap.
"Gimana? Mereka setuju?" tanya Kaori kemudian.
"Setuju nggak setuju, kita tetap harus pisah, kan?"
Kaori mengangguk-angguk. "Sesuai perjanjian kita waktu itu, setelah satu tahun menikah, kita cerai."
Davin berdeham, lalu menatap ke dalam mata Kaori lekat-lekat. "Mulai hari ini, lo... gue talak."
Ada hening panjang setelahnya, seolah waktu baru saja membekukan momen itu.
Kaori tersenyum, meski sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Akhirnya, gue bebas dari ngurusin hidup cowok jorok kayak lo."
Davin tak mau kalah, "Dan gue seneng, bebas dari cewek bar-bar kayak lo!"
"Diem lu, Badak!"
"Lu yang badak!"
"Lemes banget sih tuh mulut!"
"Nggak usah ngegas juga kali!"
"Biarin! Udah sana pergi, nggak usah ganggu gue!" Kaori kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.
Davin mendengkus namun tetap beranjak. Setelah tiba di luar pintu kamar, dia diam sejenak, memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Di sisi lain, Kaori tertegun ketika pandangannya berhenti pada foto pernikahan mereka yang ada di atas meja riasnya.
Pernikahan kontrak yang sudah mereka rencanakan demi menyenangkan kedua orang tua, harus berakhir pada hari ini. Namun, entah mengapa ada sesuatu di dalam diri mereka yang membuat perpisahan ini terasa salah. Entah apa....
***
Bab. 1\ Jodoh dari lahir****"Gimana kalau setelah tamat kuliah nanti, Davin sama Kaori kita nikahin?""Wah! Ide bagus itu, Say! Lagian, mereka kan udah dekat. Dari kecil sampai sekarang, sekolahnya juga bareng terus. Mungkin, memang udah jodoh."Kaori mendelik, begitu pun Davin. Ketika Kaori menunjukkan ekspresi ingin muntah, Davin pun melakukan hal yang sama."Gimana, Pa? Setuju nggak kalau Davin nikahin Kaori? Davin kan juga udah punya usaha sendiri. Jadi, nggak harus nunggu dia kerja dulu buat ngelamar Kaori." Bella menoleh menatap Fatih, suaminya, yang kemudian mengangguk."Papa sih setuju-setuju aja. Yang penting, bibit, bebet, dan bobotnya sudah jelas.""Kalau Papi, setuju nggak kalau misalnya Kaori ini jadi mantunya kita?" Gantian Kintan yang bertanya pada suaminya.Surya mengangguk. "Papi sih semua terserah mereka. Kalau mereka saling su
😊 selamat membaca~~~***Berbulan-bulan kemudian, setelah Kaori dan Davin menyelesaikan pendidikan sarjananya, pertemuan keluarga kembali dilakukan. Seperti sebelumnya, untuk mengatur perjodohan keduanya yang masih tertunda akibat penolakan Kaori maupun Davin waktu itu."Jadi, gimana? Apa kalian masih menolak perjodohan ini?" Kintan memulai sesi pertanyaannnya.Kaori dan Davin mengangguk kompak."Apa belum cukup waktu enam bulan untuk memikirkan keputusan kalian itu? Kami sudah cukup sabar untuk menunggu kepastian dari kalian loh ini, Kaori, Davin...." Bella menimpali dan mendengus frustasi."Ma, keputusannya kan udah jelas. Kaori nggak mau nikah sama Davin. Kami juga nggak saling cinta. Buat apa coba nikah tanpa cinta?" protes Kaori, nyaris putus asa. Rasanya dia sudah lelah untuk berkata tidak setiap kali mamanya memaksanya untuk menerima perjodohan itu. Padahal sudah berkali
*Masih sepi, nggak pa-pa. I'm fine 😌***Bab 3. Perfect Wedding"Saya terima nikah dan kawinnya Kaori Larasati Binti Fatih Wicaksono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ucap Davin lantang dan mantap. Ia bahkan tak menyangka bahwa dirinya akan semudah itu melontarkan ijab kabul.Davin kemudian menoleh menatap Kaori yang tampak termangu di sampingnya. Dia baru bereaksi ketika Davin menyenggol lengannya. Lalu, keduanya saling berpandangan, dan saat itulah Davin melihat ada kesedihan di matanya. Kesedihan yang merupakan gambaran hatinya. Davin tahu apa yang tengah dirasakan oleh Kaori saat ini, karena dia pun merasakan hal yang sama. Hanya saja, dia mampu menutupi rasa itu dibandingkan Kaori.Pernikahan ini, bukanlah pernikahan impian mereka."Bella! Akhirnyaaa!" Kintan memeluk Bella dan mereka menangis bersama di hadapan Davin dan Kaori.
"Dav, sini duduk! Minum kopi dulu sama Papi." Surya menepuk tempat kosong di sampingnya.Resepsi hari pertama sudah selesai setengah jam yang lalu. Dan katanya, selama dua hari ke depan, akan diadakan resepsi lagi, dengan konsep yang berbeda, namun tetap diadakan di Bali. Meski sudah menolak untuk diadakan pesta besar-besaran, namun tetap saja, orangtua Kaori tetap mengadakannya dengan semangat yang menggelora. Davin sih pasrah, mau bagaimana lagi, orang kaya mah bebas."Ini kopi buat anak Mami yang paling ganteng," ucap Kintan, dan menaruh secangkir kopi hitam di hadapan Davin."Mi, Davin kan capek ya seharian duduk di pelaminan. Kenapa Mami malah bikinin Davin kopi, sih? Davin kan mau tidur, Mi," kata Davin lemas. Ternyata duduk di pelaminan seharian, membuat pantatnya terasa panas dan pinggangnya sakit. Davin butuh kasur sekarang juga."Udahlah, nggak apa-apa, sesekali doang. Kapan lagi kita bisa ngumpul ba
🌷Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Kaori perlahan-lahan membuka mata dan mengambil posisi duduk. Dipandanginya sekitar, dan ia terkejut bukan main begitu melihat Davin tertidur pulas di sampingnya, sambil memeluk guling. Kontan, Kaori mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Davin."Kok lo bisa tidur di sini?!" Kaori bertanya tepat ketika Davin membuka mata, menatapnya dengan malas."Nggak tau, kayaknya diangkut setan," jawab Davin asal."Lo pasti mau modusin gue, kan? Atau jangan-jangan, tadi malem lo udah grepe-grepe gue?"Giliran Davin yang melempar bantal ke muka Kaori sambil tertawa mendengus. "Lo bisa nggak sih... sekali aja nggak buruk sangka sama gue?"Kaori hanya mendelik dan bergegas turun dari ranjang. Ketika ia berjalan menuju kamar
"Kenapa lo nggak coba buka hati lo aja buat si Davin? Bukannya waktu SMA lo sempat naksir dia, ya?"Kaori menganga. "Wah! Gila lo! Dapat info dari mana tuh? Ngarang deh. Nggak mungkin gue naksir cowok kayak dia!"“Udahlah, Ri, ngapain sih lo harus bohong sama gue? Gue sempat baca sendiri kok buku diary lo yang lo bakar beberapa tahun yang lalu itu.”“Hah? Ngaco lo! Buku diary yang mana pula?”“Haduh, udah deh. Tinggal jujur aja sama gue apa salahnya sih? Di situ jelas-jelas lo tulis, lo suka sama dia.”Kaori terkesiap. Selama beberapa detik, dia terdiam, bingung harus mengatakan apa. “Kok lo baru bilang ini sama gue?” tanyanya.“Karena gue nggak mau aja bikin lo merasa malu. Dan gue tau lo pasti nggak bakalan ngaku. Tapi, sekarang gue beneran serius nanya, kenapa sih lo bisa benci sama dia? Emangnya ada hal apa sampai-sampai lo nggak suka banget sama dia?”Kaori ingin menjawab, namun tahu-tahu orang yang menjadi topik pembicaraan mereka munc
"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya."Okey, udah," kata Putri kemudian."Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu."Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?""Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan ra
Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun