LOGIN"Anda mau kemana ? " tanya seorang pria berpakain hitam dan nerbadan tegap, membuat Bu Hanum dan Pak Rustam terperanjat."Eum... saya mau caei Alin." kawab Bu Hanum singkat."Acara akan segera dimulai. Tuan Rizan meminta kepada saya untuk membawa anda kelokasi sekarang.""Hah ? T-tapi...""Sudahlah, Bu. Ayo," Ucap pak Rustam. Akhirnya Bu Hanum pun nurut.Ballroom itu tidak terlalu ramai, tapi jelas mewah.Dekorasinya didominasi warna putih kabut dan abu lembut, dengan sentuhan denim gelap di beberapa sudut ruangan. Kesannya modern, rapi, tapi tetap punya aura dingin yang elegan. Lampu-lampu putih kebiruan dipasang redup, membuat ruangan terasa tenang dan tidak menyilaukan. Tidak ada bunga berlebihan.Hanya jajaran anggrek putih, hydrangea biru gelap, dan beberapa rangkaian mawar abu keperakan di sepanjang lorong utama. Aromanya lembut, mahal, dan tidak menusuk hidung. Musik violin mengalun pelan, seperti soundtrack film classy. Para tamu. sekitar lima puluh orang saja, berdiri rapi
Pagi merayap masuk perlahan, menembus tirai tipis berwarna gading. Cahaya keemasan itu jatuh di pipi Alin, membuatnya meringis kecil sebelum akhirnya membuka mata. Pandangannya masih buram, tapi detik berikutnya tubuhnya menegang. Ini… bukan kamarnya tadi malam. Alin terduduk cepat. Rambutnya berantakan, napasnya terengah karena panik yang tiba-tiba menghantam. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan inderanya tidak berkhianat. Kamar itu… terlalu luas. Terlalu bersih. Terlalu mewah. Dinding krem dengan ukiran elegan, karpet tebal yang tampak baru, dan aroma bunga segar yang memenuhi udara. semua mengisyaratkan satu hal, Hotel berbintang lima. Ia buru-buru menyingkap selimut tebalnya. Matanya membesar sesaat, lalu bahunya mengendur lega. Baju yang ia kenakan masih utuh. Tidak ada yang tersentuh. Tidak ada yang berubah. Syukurlah… Namun rasa lega itu hanya bertahan sekejap. Ketika menoleh ke kiri, ia melihat rangkaian dekorasi lembut di atas meja rias. mawar putih, pita
“Mas, kamu tahu… besok Rizan mau menikah!!!” Faruq mengernyit sekilas, kemudian duduk santai di sofa, menyilangkan kaki seolah berita itu bukan apa-apa.“Oh… ya bagus dong. Semakin cepat dia menikahi Raisa, semakin gampang kita kuasai Atmajaya Group. Tanpa perlu kita kotori tangan kita ini.” Valerian mendesis, “Aduuuh mas! Masalahnya Rizan menikahnya bukan sama Raisa, Mas!” Faruq spontan bangkit.“Apa?! Terus sama siapa? Anak siapa? Dari perusahaan mana?” Valerian mengusap wajahnya frustasi.“Ck! Sama wanita kampung, Mas. Yang dia bawa dari klub malam!” Rahang Faruq terhenti di tengah gerak. Ia perlahan menatap istrinya, tatapan yang turun beberapa derajat lebih dingin dari sebelumnya.“Katakan sekali lagi.” suaranya rendah, terkontrol, tapi bahaya bergetar halus di baliknya. Valerian mengangkat dagu, menahan geram.“Wanita. Kampung. Dari klub malam. Yang entah dapat keberanian dari mana sampai bisa dibawa masuk ke lingkaran Atmajaya.” Kini ruangan modern itu terasa seperti men
“Ini Mama.”Alin membeku.'Mama?Jadi… ini tujuan Rizan kerumah sakit?'“Mama sudah tiga bulan tidak sadar,” lanjut Rizan, masih menatap ibunya.“Sejak... kecelakaan”Ada jeda.Rahangnya mengeras menahan sesuatu yang tidak ia izinkan keluar.Alin perlahan mendekat.Ia menatap wanita itu dengan hati-hati, takut, tapi juga iba.“Cantik sekali, Mas… Mamanya Mas Rizan. Pasti... Beliau orang yang baik ya, seperti parasnya.” ucap Alin pelan.Rizan menutup mata sejenak.Kalimat sederhana itu, jujur. lembut, tanpa dibuat-buat. entah bagaimana menenangkan hatinya.“Aku bawa kamu ke sini karena…”Ia berhenti sejenak, menelan salivanya.“…karena aku ingin Mama melihat siapa yang akan menikah denganku.”Jantung Alin berdetak keras.Ia terpaku.Rizan melanjutkan, suaranya lebih lembut dari biasanya tetapi tetap dingin di ujungnya. seperti ia takut terlihat lemah.“Entah dia sadar atau tidak… entah dia dengar atau tidak…”Ia menatap wajah ibunya yang tenang.“…Mama berhak tahu.”Alin menunduk horma
Mobil melaju melewati jalanan Jakarta malam hari. Lampu-lampu gedung tinggi memantul di kaca, sementara Alin hanya memandangi kota yang asing itu dengan rasa penasarannya yang makin besar. Rizan menyetir tanpa suara, hanya sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan Alin.Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di sebuah bangunan besar dengan tulisan International Medical Center yang terpampang elegan, hangat, dan sangat… mahal.Alin terpaku menatap gedung itu.Begitu mobil parkir, Rizan mematikan mesin. Suasana jadi hening. Terlalu hening.Alin menelan ludah, lalu perlahan memutar tubuhnya ke arah Rizan.“R-rumah sakit?” suaranya naik satu oktaf. “Siapa yang sakit?”Rizan tidak menjawab.Alin langsung panik setengah mati.“Eum... apa Mas Rizan yang sakit?”Ia mendekat, wajahnya serius. serius polos.“Apa yang sakit? Tenggorokan? Dada? Atau jantung? Mas pucat gak? Mas pusing? Mas...”Rizan menoleh cepat.Tatapannya tajam…Tapi mulutnya nyaris tersenyum.Nyaris.Entah kenapa, mel
"Bisa pelankan suara Tante ?!" Valerian menghela nafas, lalu kembali duduk di posisinya."Tante dengar, besok kamu akan menikah ? Katakan kalau kabar ini tidak benar, Rizan." tanya Valerian "Sayangnya... kabar itu benar Tante." "HAH ? Jadi benar ? kenapa bisa tante tidak tahu soal ini, Rizan ? Tante ini pengganti Mamamu loh. Mamamu sudah menitipkanmu pada tante. Jadi apapun soal kamu, harisnya kamu libatin tante.""Tante, bukankah beberapa minggu ini, tante sibuk juga dengan pengobatan Om Faruq?" "Oke. Dan... sama siapa kamu mau menikah ? Dari keluarga Mana dia ? Jangan bilang..." "Ya, sama perempuan yang bersamaku di meja makan tadi, Tante Val," "What the hell?!"“Kamu mau menghancurkan reputasi keluarga ini, Rizan ?”Suaranya pelan, tapi penuh ancaman.“Katakan padaku, Rizan… siapa yang mencuci otakmu hingga kau membuat keputusan sebodoh itu?”Keheningan tiba-tiba menyergap ruang keluarga megah itu. Aroma parfum mahal bercampur pahitnya konflik yang menggelayut di udara. Rizan







