LOGINTanah masih basah. Udara lembab menahan sisa hujan siang tadi.
Aku berdiri agak jauh dari prosesi pemakaman, tersembunyi di balik deretan payung hitam.
Tak banyak yang datang.
Hanya beberapa teman dekat Ayah, dan perwakilan perusahaan—orang-orang yang tampak hadir karena kewajiban.
Tak ada duka di pemakaman. Di antara gumam rendah, tak terdengar satupun doa dipanjatkan. Yang terdengar hanya percakapan tentang aset, saham, dan proyek yang belum selesai.
Kini, Ayah sudah dimakamkan. Orang-orang mulai pergi. Hujan mulai turun lagi, tipis, menyisakan aroma tanah yang berat.
Aku melangkah mendekat ke gundukan tanah. “Ayah, bilang kalau semua ini cuma mimpi.”
Rasanya aneh berbicara pada nisan. Lebih aneh lagi karena nama Ayah yang tertera di sana.
“Ayah, apakah kematian menakutkan?”
Aku tersenyum tipis. “Karena rasanya… hidup justru lebih menakutkan.”
Langit mulai gelap. “Ayah, kunjungi aku dalam mimpi. Kalau bisa… bangunkan Tama dari tidur panjangnya.”
“Selamat beristirahat, Ayah.”
Aku menunduk lama, menutup mata sejenak, membiarkan semua kenangan tentang Ayah melintas. Sunyi menyelimuti sekelilingku.
Hingga suara langkah di belakang memecah keheningan.
“Nona Anya.”
Aku menoleh. Pak Damian berdiri beberapa meter dariku, wajahnya serius tapi tenang.
“Sudah siap?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk. Tidak ada yang siap untuk ini, sebenarnya. Lalu aku menghampiri Pak Damian mengikutinya sampai ke bangsal milik Tama.
Ruangan terlalu kosong untuk sebuah pernikahan—hanya cahaya redup dari lampu di langit-langit dan suara monitor di sisi tempat tidur. Aku menatap sekeliling, dada terasa sesak. “Ibu, dimana?” tanyaku.
“Direksi belum tahu. Termasuk Nyonya Miranda.” jawab Pak Damian.
Aku menatapnya, tak percaya. “Maksudnya? Jadi aku menikah diam-diam?”
Rasanya aneh, tak masuk akal, tapi aku bisa merasakan urgensi di matanya. “Dan kau pikir ini etis? Tanpa satupun keluarga yang hadir?”
“Ini terlalu berisiko,” kataku pelan. “Aku tidak mau sesuatu terjadi—terutama pada Tama.”
“Kita harus bergerak cepat, Nona. Direksi mulai bergerak siang nanti. Kita tak bisa menundanya lagi.” tukasnya mengajakku ke bangsal milik Tama.
“Kita selesaikan sekarang.”
Pak Damian memberi isyarat pada petugas hukum di luar. Aku duduk di kursi, sambil mencoba menenangkan diri.
Petugas membaca naskah legal dengan suara datar—seolah membacakan laporan rutin.
“Silakan tanda tangan di sini, Nona.”
Tanganku sempat ragu. Pena terasa dingin di jari.
Begitu namaku tertulis di kertas itu, aku tahu tak akan ada jalan kembali.
Petugas mengangguk singkat. “Pernikahan telah sah secara hukum.”
Damian menerima map dari tangannya. “Terima kasih. Anda boleh keluar.”
Pintu tertutup pelan.
“Mulai hari ini, seluruh aset dan wewenang keluarga tercatat atas nama Anda dan Tuan Tama Adikara,” kata Damian datar.
“Kalau ia mati?”
Damian tak menatapku. “Anda tetap menjadi Nona Tama. Tak ada yang berubah.”
Ia meninggalkan ruangan, menutup pintu perlahan.
Aku menatap cincin di nampan logam, tak tersentuh. Kutarik kursi dan duduk di samping Tama, membiarkan jariku menyentuh tangannya. Wajah yang dulu hanya kulihat dari jauh kini terasa dekat, tapi tetap dingin, jauh dari jangkauanku.
Kini ia jadi suamiku, meski mungkin ia takkan pernah tahu. Tangan kananku bergerak tanpa sadar, menyentuh jarinya yang dingin. Kulitnya pucat, namun masih ada sedikit hangat di bawah sana—samar, nyaris tak terasa.
“Tama,” bisikku pelan.Entah kenapa nama itu terasa lebih berat sekarang.
“Aku janji bakal jagain semua yang Ayah titipin. Termasuk kamu.”
Satu bunyi pelan memecah udara. Monitor di sisi tempat tidur berubah ritmenya. Detaknya naik sedikit, lalu kembali stabil.
Aku menatap layar itu, lalu ke arah tangan Tama yang masih kugenggam.
Di atas meja, layar ponsel menampilkan video yang terkirim secara serentak.Sosok Hans terlihat jelas di sana, mencengkeram kasar lenganku di area parkir beberapa waktu lalu. Suaranya yang melontarkan ancaman yang kini terdengar jernih melalui pengeras suara ponsel salah satu dewan.Hans tidak bergerak.Tatapannya terpaku pada layar, rahangnya mengatup rapat.Napasnya mulai terdengar pendek—seperti seseorang yang sedang berusaha menjaga kendali.Sikapnya berbeda dengan beberapa saat lalu, saat ia menyerang Tama.Di ujung meja, Miranda menggenggam gelas anggurnya.Kuat. Terlalu kuat.Cairan merah di dalamnya bergetar halus, memantulkan cahaya lampu. Tatapannya fokus tertuju ke layar.Wajahnya tetap tenang, namun garis di sekitar matanya menegang, mengeras, seolah ada sesuatu yang ia tahan.Suara gesekan kayu kursi dengan lantai marmer terdengar nyaring. Tama tidak lagi bersandar lemas. “Jangan kau pikir aku tak tahu perbuatan kotormu, Pak Hans.” Ia mendorong kursinya ke belakang,
Denting alat makan menjadi satu-satunya suara yang terdengar.Di ruang makan yang luas ini, udara terasa padat.Aku duduk tepat di sisi Tama. Pisau di tanganku bergerak pelan, membelah serat daging di piringnya.Salah seorang Dewan yang tak kukenal namanya meletakkan serbetnya yang masih kaku di atas meja. “Dahulu, mendiang Tuan Ardian juga sering menjamu kami dengan perjamuan seperti ini,” ucapnya, membuka pembicaraan.Suaranya berat, bergema di antara pilar-pilar ruangan.Ia menatap sekeliling ruangan, membiarkan matanya berhenti sejenak pada lukisan-lukisan di dinding, lalu menatap Tama. “Saya tidak menyangka pewarisnya akan menghidupkan kembali tradisi ini secepat ini. Meja ini... mengingatkan saya pada masa-masa itu.”Miranda, di ujung meja, mengangkat gelasnya perlahan. “Ardian tahu cara menghargai rekan-rekannya,” sahut Miranda. Ia menyandarkan punggungnya yang tegak ke kursi, matanya menyapu wajahku sejenak sebelum beralih ke Tama. “Aku senang melihatmu masih mengingat si
Jarum di piringan hitam turun perlahan.Alunan musik klasik mengalir memenuhi ruang kerja Tama—cukup keras untuk mengaburkan percakapan, cukup padat untuk menutup kemungkinan didengar orang lain.Aku berdiri di dekat jendela, memperhatikannya dari kejauhan.Tama duduk di balik meja. Punggungnya tegap, jasnya rapi. Tak ada sisa pria rapuh yang mereka lihat kemarin. Hanya ujung jarinya yang mengetuk permukaan meja—pelan, teratur.“Kau yakin?” tanyaku akhirnya.Ia tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap pada berkas di depannya.“Kurasa Miranda dan Hans tak cukup” ucapnya kemudian, suaranya rendah, hampir tenggelam oleh suara musik.“Aku ingin Dewan duduk di meja yang sama.”Aku menegang.“Kau gila? Kalau Dewan duduk di sini,” kataku, “mereka akan melihatmu lemah.”“Mereka sudah melihat itu,” jawabnya.“Sekarang aku ingin tahu apa yang mereka lakukan setelahnya.”Aku menatapnya.“Kita sudah melakukan itu,” balasku lebih pelan. “Dan kau tahu bagaimana reaksi mereka.”Tama mengangkat k
Aku terbangun sebelum fajar.Bukan karena mimpi.Hanya perasaan ganjil—seolah udara di kamar ini terlalu sunyi untuk ukuran pagi.Aku menatap langit-langit beberapa detik, mencoba mengenali apa yang salah. Tak ada suara. Tak ada bayangan. Tapi dadaku terasa sesak, seperti sedang ditatap tanpa bisa melihat balik.Lengan Tama masih melingkar di pinggangku.Aku melepaskan diri perlahan, berusaha tak membangunkannya, lalu berdiri dan berjalan ke kama
Lampu kamar sudah padam, menyisakan setitik cahaya kuning dari lampu tidur di sisi ranjang.Aku duduk di sofa, masih dengan pakaian yang sama sejak pagi tadi. Rasanya tubuhku terlalu berat bahkan untuk sekadar berdiri dan mengganti baju.Tanganku terasa dingin, tapi pergelangan kiriku berdenyut panas.Di bawah cahaya redup, bekas cengkeraman Hans tampak semakin jelas—ungu kebiruan, kontras dengan kulitku.Aku menyentuhnya pelan. Nyeri itu langsung menjalar.“Kau akan terus duduk di sana sampai pagi?”Suara Tama memeca
Aku bisa merasakan permukaan pintu mobil yang keras menekan punggungku saat Hans mempersempit jarak, memutus semua celah bagiku untuk menghindar. Tangannya bergerak perlahan, mantap, menarik ujung map."Aku… aku tidak bisa memberikannya," jawabku, mencoba terdengar tenang meski napasku tercekat. Tanganku mengepal, jantungku berdetak cepat.Hans tersenyum tipis. Senyum dingin yang tak menyentuh matanya. Ia menarik map lebih kuat, tubuhku tersentak ke depan. Napasku tertahan, punggungku menghantam pintu mobil. Detik itu, aku benar-benar merasa terjebak.Aku menatap mata Hans, mencoba membaca maksudnya. "Anda… Anda tidak akan berhasil begitu saja," ucapku, berusaha untuk tak terlihat gemetar.Hans mencondongkan tubuh, hampir menyentuh wajahku







