Se connecter
Tanganku gemetar, dingin dan tak menentu. Mataku membengkak, pedih dari menahan air mata. Semua tampak seperti bayangan yang memudar di sekelilingku. Di depanku, peti mati hitam pekat berdiri tegak, seolah menegaskan kehampaan yang kurasakan.
Bunga krisan putih dan kuning memenuhi ruangan. Aromanya tajam, bercampur dengan parfum mahal para tamu. Meninggalkan udara berat yang membuat dada sesak.
Aku menatap foto yang terbingkai rapi di samping peti mati. Matanya tajam, seolah mengawasi dari balik kaca.
Cahaya kristal lampu gantung memantul di wajahnya, membuatnya tampak lebih hidup daripada yang seharusnya. Terlalu hidup... untuk seseorang yang telah pergi.
Nama itu terpampang jelas di depan peti mati. Ayah angkatku yang pernah menarikku keluar dari hidup yang gelap.
Yang terlintas hanya kejadian semalam—mobil yang ditumpangi Ayah dan Kakak angkatku, Tama hilang kendali, kemudian menabrak pembatas jalan.
Ayah meninggal di tempat. Dan Tama... belum membuka matanya sejak itu.
Bahkan sekarang pun, suara mesin monitor dari ruang ICU masih terngiang jelas di kepala.
Pelan. Tapi cukup untuk mengingatkanku bahwa dia masih berjuang sendirian.Dan kini, orang yang meninggalkanku sendiri.
Bisik-bisik pelan terdengar dari barisan kursi belakang—bukan soal kehilangan, tapi soal saham, rapat, dan warisan.
Di ruang duka ini, nama Adikara Group lebih penting daripada sosok yang terbaring di peti.
Dari kejauhan, Miranda—istri kedua Ayah—sibuk menyapa tamu.
Perempuan itu tampil terlalu sempurna untuk suasana duka— jas hitam pas badan, make-up lembut, dan senyum yang seolah sudah dilatih sebelumnya.Setiap gerakannya seperti pertunjukan kecil. Ia melengang dengan senyum, jabat tangan, lalu senyum lagi. Rasanya, dia lebih sibuk menjaga citra daripada mengenang suaminya yang baru saja pergi.
“Rapat direksi harus dipercepat. Besok siang.”Aku menoleh.Rapat? Serius? Bahkan belum dua puluh empat jam sejak Ayah meninggal.
Ruang duka ini begitu aneh. Seolah hanya aku yang berduka, di antara banyaknya manusia.
Tidak ada tangis maupun pelukan. Tak ada kesedihan, tak tampak kehilangan.
Aku menunduk, menggenggam erat ujung rok hitamku yang mulai kusut.
Seharusnya aku pergi, karena kehadiranku pun tak berarti. Tapi entah kenapa, kakiku seperti tertahan.“Nona Anya, boleh ikut saya sebentar?”Suara berat seorang pria memecah pikiranku.
Aku mendongak—dan di sana berdiri seorang pria paruh baya dengan jas hitam rapi dan tatapan yang kukenal. Pengacara keluarga sekaligus orang kepercayaan Ayah.
Aku buru-buru mengusap sisa air mata. “I—iya, Pak,”
Langkahku ragu saat mengikutinya melewati lorong sempit di sisi aula.
Di ujung lorong, Pak Damian berhenti di depan pintu kayu tinggi dengan ukiran lambang keluarga Adikara.“Silakan masuk,” katanya pelan. “Semua sudah menunggu.”
Aku melangkah masuk.
“Kamu ngapain disini?” suara itu terdengar tajam dan menusuk. Miranda tidak berteriak, tapi nadanya cukup untuk membuat siapa pun menunduk. “Ini urusan keluarga.”
Tentu saja, aku tahu nada itu.
Persis seperti karakter ibu tiri jahat di dongeng anak-anak.
Belum sempat aku menjawab, Pak Damian lebih dulu bicara.
“Ada beberapa hal yang harus saya sampaikan terkait wasiat dari mendiang,” ucapnya sambil mengangkat beberapa lembar kertas dari map tebal. “Dan ada kaitannya dengan Nona Anya.”
“Wasiat ini ditulis langsung oleh beliau, disaksikan oleh anak kandungnya, Tama Adikara, dan Notaris Utama keluarga, Ibu Ratna Wiryawan. Dokumen ini juga telah disahkan secara hukum.”
Ruangan tetap sunyi. Semua fokus mendengar setiap detail yang dibacakan Pak Damian—tentang aset, saham, dan jabatan.Namun kepalaku masih terngiang oleh kehilangan. Bagaimana hidupku setelah ini?
“Baik.” Suara Pak Damian memecah lamunanku.
Ia menatap Miranda, lalu menurunkan pandangan ke lembar terakhir di tangannya.
“Dan ini,” katanya pelan, “Bagian utama dari wasiat mendiang Bapak Ardian Adikara.”
Kertas di tangannya bergetar halus—entah karena udara dingin, entah karena beban dari kalimat yang akan keluar sesaat lagi.
Setiap kata terasa berat saat diucapkan. “Apabila saya meninggal dunia atau berada dalam kondisi darurat, seluruh kendali dan keputusan hukum atas Adikara Group hanya sah apabila Tama Adikara telah resmi menikah dengan Anya Lavina.”
Seketika, udara di ruangan membeku. Tak ada yang bergerak. Miranda terpaku. Senyum kecil di wajahnya menghilang.
Aku hanya menatap Pak Damian, berusaha mencerna kalimat yang baru saja kudengar.
Menikah? Dengan Tama? Kakak angkatku?
Akhir-akhir ini, kesibukanku cuma seputar Tama. Aku menghabiskan banyak waktu di kamarnya.Tapi kamar luas ini… entah kenapa terasa terlalu sesak. Jadi, kuputuskan untuk memberikan sedikit kehidupan.“Tama, kamu gak keberatan kan, kalau kamarnya aku ubah dikit?" Tentu saja Tama tak menjawab.Tapi diamnya kuanggap sebagai “ya”.Aku mulai dari hal kecil.Menarik tirai supaya cahaya masuk, mengisi vas bunga yang sudah lama kosong, dan menempelkan dua foto kecil di dinding.Satu foto taman belakang rumah, satu lagi foto yang entah kenapa selalu berhasil membuatku tenang—langit sore dengan warna pink keunguan.Lalu aku menyalakan musik pelan-pelan.Lagu lama, tapi selalu berhasil membuat ruangan terasa hangat.“Begini lebih baik, kan? Harusnya kulakukan dari kemarin.”Tama tetap diam.Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa diamnya tak seberat dulu.Aku duduk di kursi, memandangi Tama yang tetap diam dengan wajah tenangnya.Lebam di tubuhnya sudah menghilang.“Kamu
Malam turun cepat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan bau tanah yang lembap menembus jendela kamar Tama. Semua lampu di rumah sudah padam kecuali satu di langit-langit, kuning redup. Aku menyiapkan baskom air hangat di meja, menggulung lengan baju, lalu menatap tubuhnya yang diam di ranjang.“Sudah berapa hari kamu belum benar-benar tidur nyenyak, tahu?” bisikku, meski sadar ia tak akan menjawab.Aku mulai membersihkan tangannya dengan kain hangat. Kulitnya dingin tapi lembut, dan setiap kali aku memeras kain, air menetes ke punggung tanganku sendiri. Suara mesin oksigen di pojok ruangan menandai waktu lebih baik daripada jam.Sesekali, bayangan cahaya dari lampu di langit-langit menari lembut di wajahnya, menciptakan siluet yang seolah bercerita tanpa suara. Ruangan itu sunyi, tapi terasa penuh harap, seperti waktu berhenti sejenak menunggu sesuatu yang belum pasti.Aku memeriksa infus, memastikan alirannya stabil, lalu berpindah ke wajahnya. Rambutnya sedikit panjang—aku menyisi
“Lonjakannya terjadi jam tiga,” suaranya datar, sedingin kaca jendela di belakangnya. “Dan kebetulan kamu di sana waktu itu.”Aku tahu suara itu. Miranda.Ia berdiri menepi dari lampu, membiarkan bayangannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Tangan terlipat di dada, dagu sedikit terangkat, bibir menyisakan senyum yang tidak ramah. Napasku tersendat, dada terasa sesak sejenak.“Jangan bilang kau menyentuhnya.”Aku berusaha memproses kalimatnya satu per satu, seperti menelan pil tanpa air. Kesadaranku belum pulih seutuhnya setelah semalaman begadang di sisi ranjang Tama, menghitung napasnya yang naik turun.“Jawab.” Pandangannya tak berkedip. “Kau apakan anak saya?”“Aku cuma—”“Cuma apa?” Nada suaranya naik, bukan berteriak, tetapi cukup tajam untuk menembus kulit. “Asal kau tahu, kau ini cuma istri pura-pura.”Tangannya menarik tirai. “Semua orang tahu posisimu, Anya,” ujarnya pelan namun menusuk. “Jangan bertingkah seolah Tuhan memilihmu jadi penyelamat.”“Sensor jantungnya melon
“Apapun yang terjadi, Nona hanya perlu duduk dan dengarkan. Biarkan saya yang bicara,” Hari ini adalah hari rapat saham. Ucapan Pak Damian membuatku tak gentar walau mampu membuatku gemetar.Aku mengangguk, menahan napas saat pintu ruang rapat dibuka. Begitu pintu terbuka, percakapan yang semula ramai langsung mereda. Puluhan mata serempak beralih padaku.Miranda duduk di kursi utama. Duduk tegak dengan senyum sinis. “Ah, Pak Damian,” sapanya datar. “Kami hampir mulai tanpamu.”Pak Damian menangguk singkat. Ia menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat halus agar aku duduk.Miranda menyandarkan punggung, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau begitu,” katanya sambil menautkan jemari, “mari kita mulai rapatnya. Topik utama rapat ini yaitu penunjukan pimpinan sementara Adikara Group.”Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya.“Seperti yang kita tahu, perusahaan tidak bisa dibiarkan tanpa arah. Maka, sampai Tama sadar, tanggung jawab ini secara alami ja
Tanah masih basah. Udara lembab menahan sisa hujan siang tadi.Aku berdiri agak jauh dari prosesi pemakaman, tersembunyi di balik deretan payung hitam.Tak banyak yang datang. Hanya beberapa teman dekat Ayah, dan perwakilan perusahaan—orang-orang yang tampak hadir karena kewajiban.Tak ada duka di pemakaman. Di antara gumam rendah, tak terdengar satupun doa dipanjatkan. Yang terdengar hanya percakapan tentang aset, saham, dan proyek yang belum selesai.Kini, Ayah sudah dimakamkan. Orang-orang mulai pergi. Hujan mulai turun lagi, tipis, menyisakan aroma tanah yang berat.Aku melangkah mendekat ke gundukan tanah. “Ayah, bilang kalau semua ini cuma mimpi.”Rasanya aneh berbicara pada nisan. Lebih aneh lagi karena nama Ayah yang tertera di sana.“Ayah, apakah kematian menakutkan?”Aku tersenyum tipis. “Karena rasanya… hidup justru lebih menakutkan.”Langit mulai gelap. “Ayah, kunjungi aku dalam mimpi. Kalau bisa… bangunkan Tama dari tidur panjangnya.”“Selamat beristirahat, Ayah.”Aku me
Tanganku gemetar, dingin dan tak menentu. Mataku membengkak, pedih dari menahan air mata. Semua tampak seperti bayangan yang memudar di sekelilingku. Di depanku, peti mati hitam pekat berdiri tegak, seolah menegaskan kehampaan yang kurasakan.Bunga krisan putih dan kuning memenuhi ruangan. Aromanya tajam, bercampur dengan parfum mahal para tamu. Meninggalkan udara berat yang membuat dada sesak.Aku menatap foto yang terbingkai rapi di samping peti mati. Matanya tajam, seolah mengawasi dari balik kaca. Cahaya kristal lampu gantung memantul di wajahnya, membuatnya tampak lebih hidup daripada yang seharusnya. Terlalu hidup... untuk seseorang yang telah pergi.Nama itu terpampang jelas di depan peti mati. Ayah angkatku yang pernah menarikku keluar dari hidup yang gelap. Yang terlintas hanya kejadian semalam—mobil yang ditumpangi Ayah dan Kakak angkatku, Tama hilang kendali, kemudian menabrak pembatas jalan.Ayah meninggal di tempat. Dan Tama... belum membuka matanya sejak itu.Bahkan s







