Share

Menikahi Kekasih Kembaranku
Menikahi Kekasih Kembaranku
Penulis: Noeroel Arifin

Chapter 1. Menikahlah Dengan Tunanganku

Di kediaman keluarga Iskandar ….

 

"Berikan aku uang!" hardik Iskandar kepada Camilla, istrinya.

 

"Cepat berikan uang itu, Mila! Sebelum hilang kesabaranku!" teriak Iskandar dengan bersungut-sungut.

 

Mila masih tetap tidak peduli. Perempuan itu masih berkutat dengan alat make up-nya. Siang nanti, dia berencana menemani pejabat besar yang baru datang dari kota. Pekerjaan Mila adalah wanita penghibur. Namun, Iskandar tidak tahu akan hal itu.

 

Iskandar terlihat tidak sabaran. Dia berdiri lalu menghampiri Camila yang masih berjibaku dengan make up-nya. Tiba-tiba saja lelaki itu sudah menendang tubuh Camila. Tak hanya itu, tangannya turut mengobrak-abrik peralatan kosmetik istrinya.

 

"Praankk …."

 

"Bruukk …."

 

Semua berhamburan dalam waktu sekejap. Tubuh kurus Camila jatuh tersungkur tepat mengenai bibir pembaringannya. Tangan kurus itu mengusap dahinya yang berdarah.

 

"Dasar lelaki tak berguna! Kenapa tidak kamu ceraikan aku saja?!" teriak Camila dengan suara yang menyayat.

 

"Apa katamu? Cerai? Jangan harap kulakukan. Gara-gara kamu, aku jadi gembel!" sarkas Iskandar dengan tangan mencengkeram wajah pasi milik Camila. 

 

Wanita itu meraung kesakitan, ditambah dari sudut bibirnya mengeluarkan darah segar akibat kuku Iskandar yang menusuk tepat pada ujung bibir Camila.

 

"Papa! Lepaskan Mama!" Shafiqa masuk dan marah melihat perlakuan kejam sang papa pada mamanya.

 

Iskandar tampak mendengkus kesal karena rencananya keluar gagal. Namun, kekesalannya seketika menghilang ketika Shafira, putri kesayangannya datang. Dia baru saja diantar tunangannya yang merupakan pengusaha ternama suplemen minuman kesehatan.

 

"Halo semua! Aku sudah pulang!" teriak Shafira dengan antusias.

 

Iskandar gegas memeluk anak kesayangannya itu. Dari kecil, Shafira memang sangat manja terhadap papanya tersebut.

 

"Kamu baru pulang, Fir. Priamu yang tajir itu pasti sering memberimu uang bukan? Mana? Papa minta sedikit," berondong Iskandar tak sabaran. 

 

Sementara itu, Shafira terlihat mengedikkan bahunya yang indah dan tidak terlalu peduli pada Iskandar. Dia lalu mendaratkan bobot tubuhnya di sofa mereka yang terlihat sudah kusam.

 

"Papa mau ke mana? Jangan bilang kalau mau berjudi lagi?" tatap Shafira penuh selidik.

 

"Itu bukan urusanmu! Cepat bagi uang untuk Papa!" pinta Iskandar setengah bersikeras.

 

Shafira masih mengabaikan Iskandar. Dia tengah melihat Shafiqa tengah mengompres dahi dan sudut bibir Camila yang terluka. 

 

"Papa habis apain, Mama? Tidak puas sudah membuat hidup kami hancur!" Kini Shafira ikut menghakimi perbuatan Iskandar terhadap Camila.

 

"Kamu jangan banyak omong! Cepat beri Papa uang! Ingat … dulu Papamu ini yang bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu. Jadi … jangan jadi anak durhaka!" ancam Iskandar.

 

Shafira melengos mendengar perkataan papanya. Baginya, Iskandar memang telah berubah. Jika dulu dia sangat mencintai papanya dengan segenap jiwa, sekarang tidak lagi. Cintanya pada Iskandar telah luntur.

Iskandar bukanlah sosok yang patut dibanggakan. Pada waktu jaya, dia bahkan pernah berselingkuh dengan sekretarisnya, hingga membuat perusahaan yang dirintisnya bersama Camila bangkrut.

 

"Kalau mau, ambil ini." Shafira sengaja mengeluarkan selembar uang warna merah.

 

"Hah?! Mana cukup uang segitu? Buat naik ojek juga kurang!" kilah Iskandar.

 

Fira mengambil napas kasar, membuka tas LV-nya, lalu mengambil dua lembar warna merah lagi dan mengulurkan pada papanya. Iskandar terlihat masih bergeming.

 

"Papa mau ambil tidak? Jika tidak mau, ya sudah!" Shafira bermaksud menarik uang itu kembali, tetapi Iskandar dengan cepat menyambar uang tersebut lebih dulu.

 

Tanpa pamit, Iskandar lalu bergegas pergi. Shafira hanya bisa menarik napas panjang. Gadis itu lalu menutup pintu rumah sederhana mereka. 

 

Tubuhnya sejenak bersandar pada pintu, mengingat rumah mereka dulu begitu mewah. Halaman yang luas dan dijaga oleh Satpam khusus. Sayangnya, semua tinggal kenangan.

 

Gadis itu nampak mengusap netranya kasar dengan tangan. Kaki jenjang indah itu melangkah menuju tempat di mana Camila sedang duduk dengan secangkir teh hangat bikinan Shafiqa saudara kembarnya.

 

Lengan indahnya langsung memeluk tubuh Camila yang semakin hari semakin kurus. Camila kembali mengucurkan kristal bening dari sudut netra yang mulai dihinggapi keriput.

 

"Bersabarlah Mama …." bisik Shafira lirih sembari melirik ke arah Shafiqa, adik kembarnya. 

 

"Rasanya aku sudah tidak sanggup. Aku ingin membunuh Iskandar," desah Camila hampir tak terdengar.

 

"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Apakah Mama mau membusuk di penjara? Menurutku, lebih baik Mama pergi jauh. Bersenang-senanglah dengan lelaki mana pun yang bisa membahagiakanmu." 

 

"Aku tidak setuju dengan pendapatmu, Kak! Itu sama halnya kamu mengusir Mama!" sahut Shafiqa yang masih memegang sendok penggorengan di tangannya karena gadis itu sedang membuat sarapan untuk mereka.

 

"Lalu kamu akan membiarkan Mama mati di tangan lelaki b*jing*n itu?" murka Shafira kepada adiknya.

 

"Jaga bicaramu! Mama juga mamaku! Kalau sampai terjadi sesuatu terhadap Mama, aku adalah orang yang pertama kali tidak terima!" bantah Shafiqa tak mau kalah.

 

"Percuma! Kamu hanya berani membual. Jika kamu mau, kamu bisa membawa Mama bebas dari rumah neraka ini."

 

"Apa maksudmu?" tanya Shafiqa tak mengerti. Dia lalu mematikan kompor lalu menghampiri kakaknya.

 

"Kamu harus menikah, lalu membawa pergi Mama bersamamu. Percayalah … aku tidak bermaksud menjerumuskanmu. Aku hanya tidak ingin, kamu hidup susah seperti saat ini."

 

"Aku kenal kamu dengan baik, kakakku. Jangan katakan, jika kamu sedang merencanakan sesuatu untukku?" Shafiqa menatap tajam ke arah Shafira.

 

"Ha … ha … ha …. Kamu memang benar adikku. Ingat! Aku melakukan ini semua untuk kebahagiaanmu." Kening Shafiqa mengernyit mencoba mencerna perkataan kakaknya.

 

"Menikahlah dengan tunanganku!" titah Shafira dengan wajah datar dan tanpa dosa.

 

Mata indah Shafiqa membola seketika. Mulut mungil itu menganga tak percaya mendengar penuturan kakaknya. Camila pun melakukan hal yang sama. 

 

"Tunangan? Apa maksudmu, Shafira? Mengapa kamu menyuruh Shafiqa menikah dengan tunanganmu? Lagipula, kapan kau bertunangan?" Camila kini pun angkat bicara.

 

"Sejak awal bertemu, pria itu memang sudah ingin menikahiku. Sayangnya, aku belum siap berkomitmen dan berkata bahwa lebih baik kami bertunangan dulu saja. Namun, kupikir dia sudah tak sabar. Shafira rasa Shafiqa pasti lebih siap untuk menikah. Daripada nanti adikku ini menikah dengan orang yang tidak jelas, bukankah, lebih baik jika dia menikah dengan Azriel?" senyum tipis terukir di bibir Shafira.

 

"Apa?! Kamu benar-benar tidak waras, Kak!" teriak Shafiqa tak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status