Tamparan itu mendarat telak di pipi Arisa.
Arisa membeku. Tangannya otomatis menyentuh pipi yang terasa panas, bukan karena fisik semata, tapi karena hati yang tercabik. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ayah kandungnya menamparnya. "Kurang ajar! Kamu berani menolak langsung ke keluarga Malik?!" suara Darwin bergetar oleh amarah, tapi di balik itu ada kegamangan yang tak mampu dia kendalikan. Arisa mendongak perlahan. Matanya memburam oleh air mata yang menetes tanpa bisa ditahan. Tapi dia tidak menangis seperti anak kecil. Hanya air mata yang jatuh perlahan, disertai tatapan penuh luka dan kecewa. "Apakah aku benar-benar anakmu? Demi membiayai anak tiri kau menyakiti putri kandung sendiri?"suaranya pelan, namun terdengar tegas. Dari sudut ruangan, Lita berdiri mematung. Ibu tirinya duduk di sofa, memandangi mereka dengan ekspresi datar. Tapi Arisa tahu, dari cara mulut wanita itu sedikit tertarik, ada rasa puas di baliknya. Darwin terdiam. Tamparannya baru terasa di tangannya sendiri. Hangat. Menyesakkan. "Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Ris," ujarnya lebih tenang. "Utang keluarga kita sudah di ujung tanduk. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan semuanya." "Utang siapa?" Arisa menyeka air mata. "Itu bukan utang Ibu. Itu bukan warisan darinya. Itu utang yang Ayah buat bersama istri baru Ayah, untuk anak perempuan yang Ayah lebih cintai!" Seketika suasana menegang. Lita menatap Arisa tajam, tapi tetap menjaga sikap, seolah dialah korban sebenarnya dalam pertikaian ini. "Aku bahkan nggak tahu apa arti keluarga selama ini," lanjut Arisa, suaranya pecah. "Sejak Ibu meninggal, aku hidup sendiri di rumah ini. Diabaikan. Dianggap beban. Aku punya Ayah, tapi Ayah lebih sibuk menjadi suami dan ayah untuk orang lain!" Ibu tirinya melipat tangan, ikut menyela. "Kamu terlalu melebih-lebihkan. Kami tidak pernah membedakan antara kamu dan Lita. Makan, sekolah, semuanya sama. Kalau kamu diterima ke Universitas yang tidak sebagus Lita, itu karena kamu sendiri yang kurang pintar," Arisa tertawa miris. "Aku yang kurang pintar? Saat ujian siapa yang mengurung aku di toilet, hingga aku sayang terlambat dan tidak bisa mengerjakan ujian hingga selesai?." "Kau menuduhku?" pekik Lita. "Memang iya kan? Kau fitnah aku, hingga teman-teman sekolah menjauhiku." Lita akhirnya melangkah maju. Dengan suara yang seolah penuh kepedulian, dia berkata, "Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, Tapi aku benar-benar tidak pernah mengunci kamu di toilet atau berbicara sembarangan terhadap teman-teman kamu. Dan masalah pernikahan dengan Zimam, kalau dia mau aku pun rela menggantikanmu demi keluarga." "Tidak usah bermain drama, Lita," Arisa membalas tanpa ragu. Wajah Lita menegang, tapi dia tetap tersenyum kaku. "Saat ini yang paling penting adalah hutang ayah. Kalau kamu tidak mau, itu artinya kamu egois. Kamu membiarkan Ayah hancur. Rumah ini bisa disita. Kamu tahu itu, kan?" "Rumah ini bukan rumahku, jadi aku tidak peduli," ucap Arisa pelan. "Toko bunga yang Ibu wariskan padaku barulah itu milikku." Darwin membanting tangan ke meja. "Kamu keras kepala! Kamu pikir dengan bunga-bunga itu kita bisa hidup?!" Arisa membalas dengan tatapan kosong. "Kalau untukku, lebih dari cukup. Tapi jika memenuhi kebutuhan istri dan anak tercintamu, tentu saja kurang. Ayah bangkrut atau tidak juga gak ada hubungannya denganku, karena selama ini aku membiayai hidupku sendiri. Uang 3 juta darimu tidak pernah aku pakai. Nanti akan aku kembalikan!" Darwin terdiam. Matanya mulai merah. Dadanya naik turun. Arisa tahu, itu bukan sekadar amarah. Itu penyesalan yang terlambat datang. " 3 juta? Apa yang dikatakan oleh Arisa benar?" tanya Darwin pada Maria. "Ak—aku, rutin transfer tiap bulan kok." "Sebulan tiga juta kan? Sementara Lita 30 juta. Menyedihkan sekali, nasib anak kandung tragis di tangan ibu dan saudara tiri," cibirku. "Tapi uang itu tidak pernah aku sentuh, selama ini aku menghidupi diriku sendiri dengan hasil toko bunga dari ibuku. Uang itu, akan aku kembalikan pada kalian!" "Maaf, maaf ayah tidak tahu. Ayah menyesal telah menamparmu, Arisa," katanya akhirnya, suaranya melemah. "Tadi Ayah tidak tahu harus bagaimana. Kamu keras kepala. Kamu membuat semuanya jadi sulit." Arisa menggeleng perlahan. "Ayah tahu apa yang sulit? Hidup bertahun-tahun di rumah ini tanpa sentuhan Ibu. Dipanggil makan hanya saat ayah di rumah. Ulang tahun yang dilupakan. Menjadi bayangan dari keluarga yang tidak pernah aku pilih." Air matanya kembali jatuh, tapi kali ini bukan karena kelemahan. Melainkan karena luka yang selama ini dipaksa sembuh sendiri. "Aku nggak butuh permintaan maaf, Ayah. Aku butuh pengakuan. Bahwa Ayah telah membiarkan aku tumbuh dalam luka yang Ayah buat sendiri." Darwin menunduk. Untuk pertama kalinya, dia tidak punya pembelaan. Arisa menatapnya terakhir kali. Pipi kirinya masih memerah, tapi matanya sudah kering. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku akan pergi dari rumah ini. Dan tenang saja, keluarga cemara kalian tidak akan terganggu lagi oleh keberadaanku!" Darwi hendak mengejarnya, tapi Arisa lebih dulu melangkah ke kamar. Pintu dibuka, lalu dibanting perlahan. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan ketegasan. Arisa mulai mengemasi pakaiannya ke koper, juga foto-foto keluarga saat ibunya masih hidup. Kamar yang sudah dia tempati selama 22 tahun, akhirnya harus dia tinggalkan. “Arisa,” panggil Darwin, menahan lengan putrinya. “Ayah minta waktu sebentar…” Langkah Arisa terhenti. Tapi ia tidak menatap ayahnya. Tatapannya lurus ke depan. Tenang, tapi dingin. “Ayah minta maaf,” ujar Darwin pelan. “Tentang uang bulananmu—” Arisa mengangkat wajah. Matanya tidak berkaca-kaca. Tapi dalam tatapan itu ada luka yang begitu lama dipendam, nyaris membatu. “Ayah baru minta maaf sekarang karena aku dianggap masih berguna, ya?” suaranya tenang, tapi menghujam. “Karena aku bisa bantu lunasi utang Ayah?” Darwin terdiam. Tak bisa membantah. “Selama ini Ayah tahu nggak, abaya yang kupakai itu-itu saja?” lanjut Arisa, masih dengan nada tenang. “Jilbabku pun juga kebanyakan dari peninggalan ibu. Sepatuku kalau sudah jebol baru beli. Tapi Lita? Berganti tas dan sepatu bermerk hampir tiap bulan. Bahkan alat makeup dan parfumnya lebih mahal dari semua yang kupunya.” Maria menunduk, pura-pura memeriksa cangkir teh. Lita menggigit bibir, menahan komentar. “Ayah pikir aku nggak tahu? Yang ayah pedulikan hanya Lita. Aku cuma diam karena aku belajar sabar. Karena aku ingat pesan Ibu sebelum wafat: tetap hormati Ayah, apapun yang terjadi. Tapi sekarang... aku mulai takut kehilangan hormat itu.” “Arisa… Ayah khilaf. Ayah sadar sekarang. Ayah janji akan memperbaiki semuanya. Kita mulai dari awal, ya?” Arisa menggeleng pelan. Diapun menarik koper besarnya keluar dari rumah ayahnya.Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh.Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya.Namun malam ini, semuanya menjadi jelas."Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan.Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar."Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar."Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung jawab. Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada ibu Lita." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar.Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka untuk menunjukkan air
Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini.Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya.Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan.“Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?”Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.”“Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.”Zimam membenamkan punggung ke sofa
Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi.Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus.“Alhamdulillah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam.“Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.”Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.”Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku islami
Tamparan itu mendarat telak di pipi Arisa.Arisa membeku. Tangannya otomatis menyentuh pipi yang terasa panas, bukan karena fisik semata, tapi karena hati yang tercabik.Untuk pertama kalinya dalam hidup, ayah kandungnya menamparnya."Kurang ajar! Kamu berani menolak langsung ke keluarga Malik?!" suara Darwin bergetar oleh amarah, tapi di balik itu ada kegamangan yang tak mampu dia kendalikan.Arisa mendongak perlahan. Matanya memburam oleh air mata yang menetes tanpa bisa ditahan. Tapi dia tidak menangis seperti anak kecil. Hanya air mata yang jatuh perlahan, disertai tatapan penuh luka dan kecewa."Apakah aku benar-benar anakmu? Demi membiayai anak tiri kau menyakiti putri kandung sendiri?"suaranya pelan, namun terdengar tegas.Dari sudut ruangan, Lita berdiri mematung. Ibu tirinya duduk di sofa, memandangi mereka dengan ekspresi datar. Tapi Arisa tahu, dari cara mulut wanita itu sedikit tertarik, ada rasa puas di baliknya.Darwin terdiam. Tamparannya baru terasa di tangannya sendir
Langit mulai meredup ketika Arisa Umami pulang dari toko bunga kecil peninggalan almarhumah ibunya. Sejak ibunya meninggal, rumah ini berubah. Hangatnya keluarga perlahan lenyap, digantikan suara tawa istri baru Ayah, dan kemanjaan kakak tirinya, Lita, yang lebih sering membuatnya merasa seperti orang asing di rumah sendiri.“Ayah mau kamu menikah,” ucap Darwin tanpa menatap wajah anaknya.Arisa mengernyit. “Dengan siapa, Yah?”“Zimam Malik.”Detik itu juga, dada Arisa seperti diremuk dari dalam.“Yang... terkenal suka mabuk itu? Yang sering gonta-ganti perempuan dan keluar masuk klub malam?”“Jangan bicara begitu, Arisa. Sekarang dia sudah berubah.”Arisa menatap ayahnya, lekat. “Ayah percaya itu?”Darwin menghela napas, lalu akhirnya berkata, “Ayah punya utang besar ke keluarganya. Jika kamu tidak menikah dengan Zimam, rumah ini akan disita. Termasuk toko bunga milik ibumu.”Pot mawar putih dalam pelukan Arisa berguncang. Jari-jarinya gemetar.“Lita dan istri baru Ayah yang selalu