Share

Menikahi Pemain Wanita
Menikahi Pemain Wanita
Penulis: Masatha

Bab 1

Penulis: Masatha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-09 14:24:47

Langit mulai meredup ketika Arisa Umami pulang dari toko bunga kecil peninggalan mendiang ibunya.

Sejak ibunya meninggal, rumah ini berubah. Hangatnya keluarga perlahan lenyap, digantikan suara tawa istri baru Ayah, dan kemanjaan kakak tirinya, Lita, yang lebih sering membuatnya merasa seperti orang asing di rumah sendiri.

“Ayah mau kamu menikah,” ucap Darwin tanpa menatap wajah anaknya.

Arisa mengernyit. “Dengan siapa, Yah?”

“Zimam Malik.”

Detik itu juga, dada Arisa seperti diremuk dari dalam.

“Yang... terkenal suka mabuk itu? Yang sering gonta-ganti perempuan dan keluar masuk klub malam?”

“Jangan bicara begitu, Arisa. Sekarang dia sudah berubah.”

Arisa menatap ayahnya, lekat. “Ayah semakin itu?"

Darwin menghela napas, lalu akhirnya berkata, “Ayah punya utang besar ke keluarganya. Jika kamu tidak menikah dengan Zimam, rumah ini akan disita. Termasuk toko bunga milik ibumu.”

Pot mawar putih dalam pelukan Arisa berguncang. Jari-jarinya gemetar.

“Lita dan istri baru Ayah yang selalu hidup berlebihan. Jalan-jalan, beli tas mahal, perawatan ini itu. Mereka yang dimanjakan Ayah. Tapi kenapa... kenapa aku yang harus menanggung akibatnya?”

Darwin menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan.

“Ayah tidak tahu lagi harus bagaimana.”

“Kenapa bukan Lita?” suara Arisa mulai bergetar. “Kenapa bukan anak istri Ayah itu yang Ayah jaga dan banggakan siang malam? Kenapa bukan dia yang dijadikan ‘penyelamat keluarga’?”

“Karena Zimam tidak mau Lita. Dia maunya kamu.”

Arisa tertawa kecil, namun suara tawanya terdengar getir.

“Karena aku perempuan penurut, bukan? Karena aku diam saja meski sering diperlakukan tidak adil. Karena aku tidak pernah melawan saat Ayah membela Lita meski dia salah. Tapi kali ini... aku tidak bisa diam.”

“Arisa, ini demi keluarga.”

Arisa menunduk. Matanya mulai basah.

“Tidak, Yah. Ini demi kemakmuran istri dan anak tirimu kan?"

Darwin menatap anaknya dalam diam. Lalu ia berkata pelan, “Ayah tahu kamu anak baik. Tapi rumah ini… satu-satunya yang kita punya. Toko bungamu… kalau disita, apakah kamu rela? Itu peninggalan ibu kamu, dialah yang merintisnya dari nol."

“Yang hutang Ayah, tidak ada hubungan dengan toko ibu!"

Pak Darwin menghela napas berat. “Zimam itu kaya, Arisa. Dia bisa bahagiakan kamu.”

“Bahagia macam apa? Menikahi dengan lelaki yang suka main wanita?" pekik Arisa.

Ayahnya terdiam. Tapi dari belakang, suara langkah kaki terdengar.

Lita muncul dari balik tangga, berdiri dengan lengan disilangkan.

“Sudahlah, Sa. Jangan terlalu idealis. Toh kamu belum pernah pacaran. Nikah saja, nanti juga terbiasa.”

Arisa menatap saudara tirinya itu, lalu berkata lirih, “Kenapa bukan kamu saja yang menikah? Toh uangnya kamu yang pakai. Oh, aku lupa, Tuan Muda Zimam tidak mau denganmu ya?" ejek Arisa menyeringai.

Lita terdiam. Wajahnya memerah.

Arisa berbalik ke arah ayahnya.

“Aku tidak peduli rumah ini diambil, karena memang rumah ini tidak pernah menjadi milikku. Aku di sini hanya orang asing. Tapi untuk toko bunga—Ayah tidak punya hak apapun. Karena ibu sudah mewariskan untukku."

Air mata perlahan jatuh ke pipinya.

“Dan tolong… hargai keputusan aku! Aku hanya mau menikah dengan pilihan aku sendiri!"

Arisa pergi dari ruang tengah tanpa menoleh.

*

*

*

Arisa tidak membawa apa-apa selain keberanian dan niat baik. Ia mengenakan gaun biru lembut dan rambut terurai. Meski jantungnya berdebar kencang, wajahnya tetap teduh. Ia datang bukan untuk menantang, melainkan untuk menyampaikan sesuatu yang penting dengan cara paling terhormat.

Setelah diizinkan masuk, Arisa duduk di ruang tamu yang begitu mewah hingga terasa asing. Tak lama, sepasang suami istri masuk. Wajah mereka tegas, nyaris dingin.

“Arisa Umami, ya?” tanya Bu Ratna, istri Pak Herman Malik, dengan nada sopan tapi tajam.

“Betul, Bu.” Arisa menunduk hormat. “Terima kasih sudah menerima saya malam-malam begini. Maaf jika mengganggu waktu Ibu dan Bapak.”

Pak Herman mengangguk singkat. “Kami sudah dengar soal rencana pernikahanmu dengan Zimam. Ada yang ingin kamu sampaikan?”

Arisa menarik napas dalam-dalam.

“Izinkan saya menyampaikan ini dengan penuh hormat dan ketulusan. Saya... tidak bisa menerima pernikahan itu, Pak, Bu.”

Ruangan langsung senyap.

Pak Herman menaikkan alis. “Apa alasannya?”

Arisa menjawab lembut tapi tegas. “ Saya juga tidak berniat melukai siapa pun. Tapi pernikahan adalah ibadah suci. Dan saya percaya, pernikahan yang dipaksakan tidak akan membawa berkah.”

Bu Ratna memandang tajam. “Ayahmu berutang besar pada kami. Jika tidak dibayar, rumah kalian bisa disita.”

“Saya paham, Bu,” Arisa mengangguk pelan.

“Namun perlu saya sampaikan dengan jujur, bahwa utang itu tidak ada kaitannya dengan saya. Saya tidak ikut menggunakan uangnya. Saya bahkan tidak tahu menahu. Yang menikmati adalah istri baru Ayah dan anak tirinya.”

Pak Herman mengangguk kecil, mendengarkan.

“Dan satu hal lagi,” lanjut Arisa, “toko bunga yang sekarang saya kelola adalah peninggalan almarhumah ibu kandung saya. Tempat itu dibangun oleh jerih payah beliau sebelum meninggal. Tidak ada kaitannya dengan utang Ayah saya. Maka saya mohon, jangan jadikan itu bagian dari penyitaan.”

“Kalau kamu menolak menikah, lalu bagaimana dengan penyelesaian utang?” tanya Pak Herman.

“Silakan Anda bertanya dengan Ayah saya, juga ibu tiri dan saudara tiri saya karena merekalah yang menggunakan uang tersebut!"

Dari tangga, terdengar langkah pelan. Zimam muncul, bersandar di sisi pilar, mendengarkan tanpa menyela. Matanya memandang Arisa dengan tatapan sulit ditebak—antara terkejut dan tertarik.

“Kamu pikir kamu siapa bisa menolak?” tanya Zimam tiba-tiba.

"Untuk itulah saya berdiri di sini," jawab Arisa.

Pak Herman menatap Arisa lebih lama. Suaranya kemudian terdengar lebih lembut.

“Kamu tahu, tidak banyak gadis yang berani datang ke rumah ini dan bicara seperti itu.”

Arisa tersenyum kecil. “Saya datang bukan karena berani, Pak. Tapi karena saya tidak ingin hidup dalam diam dan menyesal seumur hidup.”

Hening lagi.

Lalu Bu Ratna berkata, “Kalau kamu pulang sekarang, semua ini tetap akan berjalan sesuai kesepakatan Ayahmu.”

Arisa berdiri perlahan. “ Dengan tegas saya tetap akan menolak!"

Arisa membungkuk hormat. “Terima kasih atas waktunya. Permisi."

Tapi kelegaannya itu tidak bertahan lama, saat dia pulang dan masuk ke dalam rumah sudah di hadang oleh ayahnya.

PLAK!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 8

    Esok pagi, Arisa sudah bangun lebih dulu dari Zimam. Rumah keluarga Malik masih sepi, hanya terdengar suara para asisten rumah tangga di dapur. Sebagai menantu baru, ia merasa tidak pantas bermalas-malasan.“Selamat pagi, Mbak Arisa,” sapa salah seorang ART.“Pagi. Boleh aku ikut bantu?” "Eh jangan! Ini tugas ART, Mbak Arisa sebaiknya bersantai saja.""Tidak apa-apa, aku terbiasa masak,"ucap Arisa, lalu segera mengambil pisau dan mulai mengiris bawang. Para ART sempat saling pandang, tapi membiarkannya. Tidak lama kemudian, sup bening sederhana siap disajikan.Saat sarapan, Zimam dan kedua orang tuanya berkumpul. "Ayo duduk, Sayang," goda Zimam.Arisa dengan canggung duduk di sisi suaminya. "Arisa, jadi istri harus baik-baik melayani suami dan patuh padanya," sinis Ratna."Iya, Ma," balas Arisa memilih zona aman."Sudah, Ma. Ayo makan!" sela Zimam.Begitu mereka mencicipi, mata mereka berbinar. Apalagi Ratna. “Hmm, masakan kali ini enak sekali, Siti!"Siti menunduk canggung. “It

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 7

    Pernikahan berlangsung dengan megah. Walau keluarga Arisa tidak sekaya keluarga Zimam Malik, tetapi Arisa pribadi memiliki nama yang bagus di kota itu. Bukan karena dia putrinya Darwin.Selain kecantikannya di atas rata-rata, Arisa di kampus memiliki prestasi. Dari sekolah dasar hingga SMA selalu juara olimpiade. Arisa dikenal perempuan baik, tidak terjerumus pergaulan bebas. Kakek Aminudin sangat puas dengan pernikahan itu. Baginya, cucunya—Zimam Malik—akhirnya mendapatkan pasangan yang pantas. Sorot mata bangga itu terpancar setiap kali ia menatap pengantin baru yang duduk di pelaminan.Namun, di balik senyum tamu undangan yang memuji kecantikan Arisa, ada bisikan-bisikan lirih yang mulai berhembus. Sebagian tamu berbisik, “Arisa itu beruntung bisa menikah dengan Zimam Malik… keluarga konglomerat, kandidat pewaris utama perusahaan besar.” Sementara yang lain berbalik menimpali, “Justru Zimam lah yang beruntung, dapat istri Arisa. Lelaki mana yang tidak menginginkan istri secantik d

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 6

    Pagi itu, Arisa baru siap-siap ke toko bunga ketika ponselnya berdering. Nama Maria muncul di layar—nama yang membuat darahnya selalu berdesir penuh kebencian. Ia hampir saja menekan tombol merah, tetapi rasa penasaran menahannya. Dengan nada malas, Arisa mengangkat panggilan itu.“Arisa, ayahmu sakit.” Suara Maria terdengar memelas, penuh kepalsuan yang sudah terlalu sering ia dengar. “Tolong pulanglah. Ayahmu ingin melihatmu.”Arisa mendengus pelan. Ia tahu betul ayahnya tidak pernah benar-benar ingin melihatnya, apalagi dalam keadaan “sakit” mendadak begini. Pasti ada sesuatu di balik semua ini.“Kalau sakit, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Kenapa malah meneleponku?” sindir Arisa dingin.“Arisa...” Nada Maria bergetar, seolah-olah ia akan menangis. “Jangan begitu. Ini soal keluarga kita. Kamu tetap anak dari rumah ini. Tolonglah, datang sebentar saja.”Arisa menutup matanya, menahan rasa muak. Ia hampir saja memutus panggilan itu, tapi ingatannya kembali pada Zimam dan kesepaka

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 5

    Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh. Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya. Namun malam ini, semuanya menjadi jelas. "Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan. Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar. "Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar. "Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung untuk dimanfaatkan Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada Maria." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar. Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 4

    Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini. Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya. Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan. “Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?” Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.” “Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.” Zimam membenamkan pungg

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 3

    Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi. Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus. “Syukurlah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam. “Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.” Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.” Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status