Home / Romansa / Menikahi Pewaris Dingin / Bab 1: Jebakan makan Malam

Share

Menikahi Pewaris Dingin
Menikahi Pewaris Dingin
Author: SolaceReina

Bab 1: Jebakan makan Malam

Author: SolaceReina
last update Last Updated: 2025-09-11 14:52:49

Pantulan Clara di cermin kamar mandi terlihat asing. Gaun navy yang membalut tubuhnya—hadiah dari Paman Robert minggu lalu—terasa seperti seragam tahanan. Bukan pakaian untuk pesta ulang tahun teman, tapi kostum untuk pertunjukan yang tidak ia inginkan.

Jari-jarinya merapikan lipatan gaun di pinggang. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Gerakan mekanis untuk menenangkan debar jantung yang mulai tidak teratur.

"Sudah siap, Clara?"

Suara Paman Robert menembus pintu kayu. Nada ramah yang dipaksakan—Clara sudah hapal polanya. Semakin manis suaranya, semakin busuk niat di baliknya.

Clara menatap pintu tertutup itu. Ia bisa membayangkan Paman Robert berdiri di sana dengan senyum lebarnya, menunggu seperti penjaga penjara yang sabar.

"Sebentar, Paman."

Tangannya meraih cincin di meja rias—cincin emas dengan ukiran bunga melati yang dulu selalu melingkar di jari ayahnya. Cincin yang menjadi satu-satunya harta berharga yang tersisa setelah tiga tahun kekacauan finansial menghantam Arta Group.

Logam dingin itu terasa berat di jarinya. Seperti menggenggam tangan ayahnya untuk terakhir kali.

"Clara." Ketukan di pintu. Lebih keras kali ini.

Ia mengambil napas panjang, memasang topeng—senyum tipis yang tidak mencapai mata. Pintu terbuka.

Paman Robert berdiri dengan setelan abu-abu mahal yang terlalu ketat di perutnya. Matanya menyapu Clara dari atas ke bawah, menilai seperti pedagang yang memeriksa barang dagangan.

"Cantik," katanya. Tapi pujian itu terdengar seperti ancaman. "Tuan Hendra akan senang."

Nama itu membuat perut Clara bergejolak.

"Paman bilang kita akan ke pesta Dina."

"Berubah rencana." Paman Robert tersenyum lebar—terlalu lebar. "Ada urusan penting yang harus kita selesaikan dulu. Urusan yang akan menyelamatkan Arta Group."

Clara mengikutinya ke mobil dengan langkah berat. Setiap langkah terasa seperti mendekati jurang.

Di dalam mobil mewah yang menyala AC-nya terlalu dingin, Paman Robert memasang musik klasik—sesuatu yang biasa ayahnya lakukan. Tapi di telinga Clara, melodi itu terdengar seperti lagu pengantar ke altar pengorbanan.

"Kau tahu betapa buruknya kondisi perusahaan sekarang, kan?" Paman Robert memecah keheningan, matanya menatap jalan di depan.

Clara mengangguk kecil. Tentu ia tahu. Setiap malam ia membaca laporan keuangan yang semakin merah, menghitung berapa lama lagi sebelum Arta Group—warisan tiga generasi keluarganya—benar-benar runtuh.

"Hutang ke bank, ke investor, ke supplier. Semuanya menumpuk." Paman Robert menghela napas panjang, teatrikal. "Aku sudah berusaha keras, Clara. Tapi ada batasnya."

*Kau yang membuat hutang itu menumpuk,* batin Clara. *Dengan perjudian dan investasi bodohmu.*

Tapi ia tidak bersuara. Sudah tiga tahun ia belajar bahwa diam lebih aman daripada melawan.

Mobil berhenti di depan restoran mewah dengan lampu kristal berkilauan di setiap sudut. Le Château

tempat yang hanya didatangi oleh orang-orang dengan rekening bank tujuh digit ke atas.

Paman Robert keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk Clara dengan sopan santun palsu. "Ingat," bisiknya saat Clara melewatinya, "bersikap manis. Senyum. Jangan buat aku malu."

Ruang VIP di lantai dua restoran itu dipenuhi aroma daging panggang dan anggur merah. Meja panjang sudah disiapkan dengan tatanan sempurna—piring keramik putih, gelas kristal, bunga mawar merah di tengah.

Dan di ujung meja, duduk seorang pria tua.

Clara mengenalinya dari foto-foto di media bisnis. Tuan Hendra Kusuma—pengusaha tambang yang terkenal dengan kekayaannya yang melimpah dan skandal perceraiannya yang kotor. Usia enam puluh lima tahun dengan wajah keriput seperti kertas kusut, mata kecil yang tajam, dan senyum yang membuat kulit Clara merayap tidak nyaman.

"Ah, Clara!" Tuan Hendra bangkit—gerakan lamban dari tubuh yang sudah terlalu tua. "Paman Robertmu tidak bohong. Kau memang cantik."

Tatapannya menelanjangi Clara. Bukan tatapan kagum, tapi tatapan... kepemilikan.

Clara memaksa senyum tetap bertahan di wajahnya meskipun setiap sel tubuhnya berteriak untuk lari.

"Selamat malam, Tuan Hendra."

"Duduklah, duduklah!" Paman Robert sudah menarik kursi, memposisikan Clara tepat di seberang Tuan Hendra. Ia sendiri duduk di ujung—pengamat yang puas.

Pelayan datang dengan wine merah. Tuan Hendra mengangkat gelasnya.

"Untuk pertemuan yang... menguntungkan."

Paman Robert menyahut dengan tawa. Clara hanya mengangkat gelasnya, tidak menyentuh bibir ke cairan merah itu.

Makanan datang—*foie gras*, daging *wagyu*, *truffle*. Makanan mahal yang rasanya seperti karton di lidah Clara karena perutnya terlalu kencang untuk menerima apa pun.

"Clara," Tuan Hendra memulai setelah gigitan ketiga dagingnya, "Paman Robertmu pasti sudah cerita tentang... proposal kami."

Proposal. Kata yang terlalu bersih untuk transaksi kotor.

Clara menatap Paman Robert. Pria itu mengangguk—isyarat untuk menjawab dengan hati-hati.

"Paman belum menjelaskan detailnya."

Tuan Hendra tertawa—suara serak yang menggema di ruangan pribadi itu. "Baik, baik. Aku suka wanita yang langsung ke inti." Ia meletakkan sendok dan garpu, condong ke depan. "Aku menawarkan untuk melunasi semua hutang Arta Group. Semuanya. Bank, investor, supplier. Bersih."

Jeda dramatis.

"Sebagai gantinya, kau menikah denganku."

Kata-kata itu mendarat seperti bom. Clara merasakan telinganya berdengung, dunia sedikit berputar.

"Me-nikah?"

"Ya." Tuan Hendra tersenyum, menunjukkan gigi emasnya. "Aku butuh istri muda. Untuk menemani hari tuaku. Untuk... memberiku keturunan." Tatapannya turun ke tubuh Clara dengan cara yang membuat kulitnya terasa kotor. "Dan kau butuh uang untuk menyelamatkan perusahaan ayahmu. Saling menguntungkan, bukan?"

Paman Robert menyela dengan antusias, "Ini kesempatan emas, Clara! Tuan Hendra sangat murah hati. Dengan pernikahan ini, Arta Group bisa bangkit lagi!"

Clara menatap mereka berdua. Paman yang seharusnya melindunginya. Pria tua yang menatapnya seperti barang dagangan.

"Ayahku tidak akan pernah setuju dengan ini."

Suaranya keluar lebih kecil dari yang ia inginkan—suara seorang anak kecil yang mencari perlindungan orang tua yang sudah tidak ada.

Paman Robert memasang wajah serius. "Ayahmu sudah meninggal, Clara." Kata-kata itu ditusukkan dengan tajam, sengaja. "Dan dialah yang meninggalkan hutang-hutang ini. Kau pikir aku senang dalam situasi ini? Aku juga korban. Tapi kita harus realistis."

"Realistis," Clara mengulang, kata itu terasa pahit.

Tuan Hendra mengulurkan tangannya melewati meja—tangan keriput dengan bintik-bintik usia, kuku yang terlalu rapi untuk seorang pria. "Aku bisa memberimu segalanya, Clara. Rumah mewah, mobil, perhiasan. Hidup tanpa kekurangan."

Clara menatap tangan itu. Tidak menyentuhnya.

"Aku butuh waktu untuk berpikir."

Senyum Tuan Hendra pudar sedikit. "Waktu? Sayangku, hutang tidak menunggu. Bank sudah mengancam penyitaan aset bulan depan."

"Satu bulan," Clara berkata cepat, otaknya bekerja mencari celah. "Beri aku satu bulan."

"Untuk apa?" Paman Robert terdengar jengkel. "Kau pikir ada solusi lain?"

Clara meraih cincin di jarinya—cincin ayahnya—dan melepasnya dengan gerakan yang diperhitungkan. Ia letakkan di tengah meja, di antara piring-piring mewah.

"Jika dalam satu bulan aku tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara lain... aku akan menikah dengan Tuan Hendra." Ia menatap kedua pria itu bergantian. "Tapi kalau aku berhasil, perjodohan ini batal. Dan cincin ini—cincin warisan ayahku—jadi jaminan."

Tuan Hendra menatap cincin itu, mata kecilnya berkilat serakah. Emas murni dengan ukiran rumit—nilainya tidak kecil.

"Menarik." Ia mengambil cincin itu, memutar-mutarnya di antara jari gemuknya. "Aku suka wanita yang pemberani. Baiklah. Satu bulan. Tapi kalau kau gagal"—senyumnya melebar—"kau bukan hanya akan menikah denganku. Kau juga akan patuh. Sepenuhnya."

Ancaman di balik kata-kata itu jelas.

Clara bangkit, kakinya sedikit gemetar tapi ia paksa untuk tetap berdiri tegak. "Saya permisi."

Ia keluar dari ruang VIP itu tanpa menoleh. Paman Robert memanggil namanya, tapi ia terus berjalan—melewati lorong dengan karpet merah tebal, turun tangga marmer, keluar ke udara malam yang terasa lebih bersih meskipun kota penuh polusi.

Di trotoar, Clara bersandar ke dinding bangunan, napasnya terengah. Tangannya bergetar—seluruh tubuhnya bergetar.

Satu bulan.

Tiga puluh hari untuk menemukan solusi.

Tiga puluh hari untuk menemukan jalan keluar dari jebakan yang dirancang Paman Robert dengan sempurna.

Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor yang tidak tersimpan:

"Keputusan bodoh, Clara. Tapi aku suka permainan ini. Jangan kecewakan aku. —H"

Clara menatap layar ponsel, kemudian ke langit malam yang tertutup polusi cahaya kota. Di suatu tempat di luar sana, harus ada jalan keluar.

Harus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 101: Operasi Penyelamatan Aset

    Pesan ancaman anonim yang berisi bahwa Clara akan ditangkap begitu mendarat di Eropa seketika melumpuhkan Alex. Kontrol-nya runtuh karena ia tidak berada di lokasi. Alex meraih teleponnya. Ia memanggil Ben, yang sedang dalam penerbangan bersama Clara. "Ben, hentikan pesawatnya," desis Alex, nadanya tajam dan penuh bahaya. "Tuan, kita sudah di atas laut. Tidak mungkin kembali," balas Ben, suaranya tertekan melalui sambungan satelit. "Dengar, Ben," perintah Alex, suaranya kembali ke mode Jangkar yang kejam. "Clara akan ditangkap segera setelah mendarat. Ini jebakan hukum, bukan fisik. Kau harus membatalkan pendaratan di bandara yang sudah dijadwalkan. Alihkan rute ke bandara militer kecil di negara tetangga yang kurang ketat hukum ekstradisinya. Sekarang!" Ben, meskipun terkejut dengan perubahan rencana mendadak itu, segera memproses perintah tersebut. Alex menutup telepon. Dia berdiri di Ruang Kerja, tangannya gemetar. Dia telah membiarkan posesif-nya ditantang, dan sekarang, as

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 100: Dilema Sang Jangkar

    Kamar kerja di penthouse terasa mencekam. Ancaman musuh (Bab 99) sangat jelas: jika Alex membawa Clara ke Eropa untuk merebut kendali Ariadne Global (aset Warisan), mereka akan menghancurkan Yayasan Anggara-Clara (YAC)—aset moral Alex yang baru.Alex dihadapkan pada dilema brutal: Logika Dominasi (harus mengamankan Ariadne Global) versus Kelemahan Kemanusiaan (harus melindungi anak-anak Yayasan).Alex membaca kembali pesan ancaman itu. Wajahnya dingin, tanpa emosi, tetapi Clara tahu, ia sedang berjuang keras melawan dirinya sendiri."Mereka menyerang kelemahan-ku yang baru," desis Alex, suaranya rendah. "Mereka tahu aku tidak akan membiarkan anak-anak itu terluka. Mereka tahu kontrol-ku atas emosi itu rapuh."Clara melangkah maju. Dia tahu, Alex harus memilih aset moral. Itu adalah langkah yang akan membuktikan cinta-nya lebih dari segalanya."Kita harus membagi kekuatan, Alex," ujar Clara, lugas. "Kau harus tetap di sini. Kau harus melindungi fondasi yang kita bangun di sini. Yayasan

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 99: Berdarah Dingin

    Pengakuan Gerry bahwa ia dipaksa dan bahwa ancaman berasal dari lingkaran gelap Ayah Clara mengubah dinamika di penthouse. Alex kini tidak lagi meragukan Clara; ia hanya fokus pada penghancuran musuh.Alex melepaskan ciuman posesifnya dari Clara. Matanya dingin, kembali ke mode Jangkar yang kejam, tetapi kini posesif itu diarahkan pada perlindungan Clara."Gerry," desis Alex, menatap butler itu. "Siapa yang mengancam keluargamu? Detail. Sekarang."Gerry, yang baru saja mengakui pengkhianatannya, menunduk. "Mereka tidak memberi tahu nama, Tuan. Mereka hanya memberiku kode kontak dan perintah. Aku harus memastikan file video itu terbuka, dan memastikan Nyonya Clara tetap menjadi target yang rentan."Alex menghela napas. Dia tahu Gerry adalah pion. Alex mengambil keputusan cepat: dia tidak akan membuang Gerry. Gerry adalah aset yang dipaksa, dan dia adalah satu-satunya jembatan mereka ke musuh."Gerry, mulai sekarang," ujar Alex, nadanya final. "Kau akan bekerja untukku. Kau akan terus

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 98: Tuntutan Pengkhianat

    Ruang Kerja Pribadi Alex dipenuhi ketegangan yang mematikan. Alex berdiri mematung di depan layar laptop, di mana pesan anonim itu masih terpampang jelas: Pilihanmu: Clara sebagai aset bisnis atau Clara sebagai istri.Alex tidak peduli pada Warisan kotor itu; dia peduli pada tuntutan kepemilikan atas Clara.Alex meraih laptop itu dan membantingnya ke meja, suaranya teredam, tetapi amarahnya nyata."Mereka berani," desis Alex, suaranya sangat rendah dan penuh bahaya. "Mereka berani menuntut kepemilikan atas dirimu, Clara. Mereka melihatmu sebagai aset yang harus dipisahkan dariku."Clara tahu, ini adalah krisis terbesar mereka. Musuh tidak lagi menyerang kontrol Alex, tetapi posesif-nya."Siapa pun yang mengirim pesan itu, dia tahu kita telah melihat videonya," ujar Clara, lugas. "Dia tahu Warisan Anggara adalah aib, dan dia menggunakan aib itu untuk memaksamu melepaskanku."Alex berbalik, berjalan ke Clara, dan ia menarik Clara ke dalam pelukan yang kuat. Pelukan itu bukan lagi hukuma

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 97: Kode Kejujuran dan Ledakan Ketakutan

    Udara di Kamar Tidur Utama terasa tebal dan berbahaya. Liontin perak itu (Bab 96) berada di dada Alex, menuntut kebenaran dari kombinasi yang dibisikkan Clara: tanggal rahasia di mana Alex pertama kali meminta Clara tinggal karena kebutuhan emosional yang tak terkontrol.Alex menatap Clara, matanya dipenuhi posesif yang bertarung melawan rasa sakit karena diingatkan pada momen kelemahan terbesarnya."Kau melanggar protokol kerahasiaan," desis Alex, suaranya parau. "Tanggal itu... kau tidak seharusnya tahu. Itu adalah kelemahan yang ku sembunyikan bahkan darimu.""Ayahku adalah seorang jenius, Alex," balas Clara, lugas. "Dia tahu, kode teraman bukanlah angka acak, melainkan kejujuran yang paling menyakitkan. Jika kau salah mengingat tanggal itu, dia tahu kau tidak pernah benar-benar mempercayai hatimu."Alex memejamkan mata. Dia menarik napas panjang, mencoba memanggil kembali logika dan kontrol-nya. Tanggal itu adalah sebelum kontrak mereka. Momen di mana ia nyaris mengakui kebutuhan-

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 96: Tanda Tangan Sang Buronan di Penthouse

    Mata Alex menusuk Clara di dalam kegelapan kamar tidur . Ia baru saja kembali dari ruang server yang mati, dan kini, Clara mengakui memiliki pengetahuan tentang teknologi yang digunakan ayahnya—teknologi yang baru saja menembus sistem keamanan Anggara. "Kau tahu cara kerjanya," desis Alex, suaranya sangat rendah dan penuh bahaya. "Kau berbohong. Kau tidak hanya menyembunyikan ayahmu; kau menyembunyikan fakta bahwa kau adalah **putri buronan yang memiliki akses ke teknologi peretasan kelas atas." Clara meletakkan liontin itu kembali di nakas. Dia menghadapi Alex, menolak untuk menjadi korban. "Aku tidak berbohong," balas Clara, lugas. "Aku menyembunyikan kebenaran. Ayahku adalah seorang jenius teknologi yang dipaksa menjadi buronan. Dan ya, aku tahu cara dia bekerja. Pola serangan di server itu adalah tanda tangan nya. Hanya orang yang pernah bekerja dengannya yang bisa mematikan sistem keamanan Anggara tanpa terdeteksi." Alex berjalan mendekat, kini bukan lagi posesif, melainkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status