Share

Bab 2 : Pulang Ke Rumah Kala

Karena menikah tanpa cinta, Raya harus pasrah saat Kala enggan untuk tidur satu ranjang dengannya. Kala memilih untuk tidur di sofa, sementara Raya dan Bintang tidur di kasur.

Baru saja ingin terlelap, Raya merasakan ada yang menguntungkan tubuhnya. Perlahan Raya mengerjapkan mata untuk memastikan apa itu mimpi atau bukan. Dan saat dilihat, ternyata Bintang lah yang mengguncangkan tubuhnya. Dengan cepat Raya langsung bangun.

“Bintang, kamu kenapa? Mimpi buruk?” tanya Raya sedikit panik.

Bintang menggeleng pelan. “Bintang mau pipis, Ma.”

Deg.

Raya terdiam untuk sesaat ketika Bintang memanggil dengan sebutan ma. Ada rasa aneh yang menjalar keseluruhan tubuhnya karena biasanya Bintang memanggil aunty.

“Mau pipis, ya? Ya udah ayo ke kamar mandi.” Raya pun langsung mengangkat tubuh Bintang dan menuntunnya menuju ke kamar mandi. Dengan telaten Raya membantu bocah empat tahun ini untuk melepaskan celananya.

“Bintang bisa pipis sendiri. Mama nunggu di luar aja!”

“Lho, kenapa?” tanya Raya dengan heran.

“Kata nenek Bintang udah besar, jadi harus punya rasa malu,” jelas Bintang dengan polos.

“Oh, gitu ya. Baiklah, Mama akan menunggu di luar. Nanti kalau udah selesai panggil Mama, ya.”

“Siap Mama Raya.”

Sambil menunggu Bintang berada di dalam kamar mandi, ternyata Raya memperhatikan Kala yang sudah terlelap di sebuah sofa. Ada rasa kasihan pada pria itu, tetapi Raya tidak bisa memaksanya untuk tidur bersama dalam satu ranjang.

Tak lama kemudian pun Bintang membuka pintu kamar mandi dan tersenyum ke arah Raya. “Bintang udah selesai, Ma.”

“Wah, ternyata anak mama udah pintar pakai celana sendiri ya?” puji Raya saat melihat celana Bintang telah dipasang. "Ya udah, ayo bobok lagi, masih malem.”

Bintang pun mengangguk dengan pelan dan mengikuti langkah Raya untuk kembali ke tempat tidur. Namun, tiba-tiba bintang menghentikan langkahnya saat tak sengaja melihat papanya tidur di sofa.

“Kenapa papa tidur di sofa?” tanya Bintang dengan heran.

Mata Raya pun ikut melihat ke arah sofa dimana Kala berada. Bibirnya terasa berat untuk memberikan sebuah jawaban kepada Bintang. Namun, siapa yang menyangka jika Bintang langsung berlari kecil ke arah sofa.

“Pa ... kenapa Papa tidur disini. Ayo tidur di tempat tidur.” Bintang menggoyangkan tubuh Kala. Seketika Kala pun mengerjap pelan.

“Pa ... kenapa Papa tidur di sini?” ulang Bintang lagi.

Kala masih terdiam tanpa sebuah jawaban. Sorot mata tajamnya menatap ke arah Raya yang berdiri di belakang Bintang. Seolah dia ingin menyalahkan Raya karena Bintang mengetahui jika dia tidur di sofa.

Ditatap dengan sorot mata tajam, Raya langsung menelan kasar salivanya. Jika kemarin-kemarin dia tidak pernah merasa takut dengan tatapan Kala, tetapi tidak dengan saat ini.

“Bintang, papa kamu lagi capek. Biarkan papa tidur di sofa dan kita juga kembali ke kasur ya,” bujuk Raya pada Bintang.

“Bukanya tidur di sofa itu enggak enak ya? Bintang pernah dengar dari kakek kalau tidur di sofa badannya bisa sakit semua.”

Hening tanpa kata, tetapi pasangan suami istri itu hanya saling bersitatap. Raya merasa jika dia telah salah memberikan sebuah jawaban untuk Bintang yang ternyata lebih pintar darinya.

“Baiklah, ayo kita tidur di kasur.”

Bola mata Raya membulat dengan lebar saat Kala menyetujui permintaan Bintang. Bahkan Kala langsung menggendong Bintang menuju tempat tidur.

“Mama ayo sini!” teriak Bintang ketika melihat Raya masih membeku di tempat.

"Iya,” ucapnya sambil melangkah dengan ragu.

“Tidak usah berpikir yang macam-macam karena aku tidak tertarik dengan tubuhmu,” ucap Kala dengan ketus.

Raya tersenyum getir. Sedikitpun tak ada pikiran yang aneh-aneh, karena dia sadar jika pernikahan ini terjadi hanya untuk satu tujuan, yaitu kebahagiaan Bintang.

Layaknya sebuah keluarga kecil, satu ranjang berisi tiga orang dimana Bintang berada ditengah-tengahnya. Hampir sepanjang malam tangan Bintang menindih perut Raya. Meskipun sering tidur bersama dengan, tetapi ini adalah kali pertama Bintang bisa tidur bertiga dengan Raya dan juga papanya.

****

Dua hari pun berlalu.

Kala merasa tidak nyaman tinggal satu atap dengan mertuanya pun memutuskan membawa Raya pulang ke rumahnya. Sebagai orang tua ayah dan ibu Raya tidak keberatan dengan keputusan Kala yang akan membawa Raya ke rumahnya. Ayah dan ibu Raya paham jika anak dan menantunya pasti membutuhkan sebuah privasi sendiri.

“Ray, seperti yang aku katakan sebelumnya bahwa aku tidak bisa menggantikan sosok Naya di dalam hidupku. Maka dari itu aku tidak bisa tidur satu kamar denganmu. Kamu tidurlah dengan Bintang. Kamar Bintang cukup luas kok,” ujar Kala setelah sampai di rumahnya.

Raya memaksakan senyumnya, sekalipun ada rasa nyeri di dalam hatinya. “Iya, enggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok.”

“Syukurlah kalau begitu. Tapi disini aku belum mempekerjakan ART, jadi aku serahkan masalah itu sama kamu. Kamu cari ART yang benar-benar bertanggung jawab.”

Kepala Raya mengangguk pelan. “Baiklah, besok aku akan ke yayasan untuk mencari ART.”

Tanpa kata lagi, Kala pun langsung menyeret koper Raya untuk ke kamar Bintang. Jujur, meskipun dia telah menikahi Raya tetapi dia belum ikhlas untuk tidur satu ranjang terlebih hanya berdua saja. Kala adalah pria normal, dia tidak ingin hilang kendali, karena pernikahannya tak ada sedikitpun rasa cinta.

“Kalau membutuhkan sesuatu kamu bilang aja. Mungkin besok aku akan mengisi kamar ini dengan keperluanmu.”

Dengan cepat Raya menolak. “Ah ... gak usah, Mas. Aku enggak butuh apa-apa. Bisa menjaga dan merawat Bintang saja itu sudah cukup.”

“Tidak bisa. Sekalipun kamu menolak, tetapi aku akan tetap memenuhi semua kebutuhanmu.”

Dasar pemaksaan! Ya udah, nikmati ajalah hidup di biayai suami. Raya menarik dua garis simpul bibirnya.

"Apakah ada yang salah?” tanya Kala heran karena dia menangkap senyum kecil di bibir Raya. Dengan cepat Raya dibuat salah tingkah. Ternyata Kala begitu cermat memperhatikannya.

“Enggak! Enggak ada yang salah kok, Mas. Ya udah aku masuk dulu ya.” Akhirnya Raya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar karena tak ingin diperhatikan lebih jelas lagi jika saat ini dia sedang salah tingkah.

“Huh, gini amet sih rasanya punya suami.” Raya menghela napas panjang sambil menutup pintu kamar dengan rapat. Degup jantungnya masih berdetak dengan kencang, seolah dia sedang jatuh cinta.

Cinta?

Seketika Raya teringat pada Rendy, pria yang selama dua tahun terakhir menjalin cinta dengannya. Raya teringat jika sampai detik ini dia belum mengakhiri hubungannya dengan Rendy.

"Astaga ... Rendy.” Raya menutup rapat mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

“Iya, besok aku harus bertemu dengannya untuk mengakhiri cerita cinta ini. Sekarang aku sudah menikah dengan mas Kala, itu artinya aku harus mengabdi pada mas Kala. Masalah mas Kala belum menerimaku itu urusan belakangan. Bukankah cinta butuh waktu? Aku percaya dengan berjalannya waktu mas Kala bisa menerimaku sepenuhnya.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status