Share

Bab 3 : Telepon Dari Randy

Raya mencoba terbiasa dengan sifat Kala yang tiba-tiba menjadi dingin setelah keduanya menikah. Bahkan akhir-akhir ini keduanya hanya bertemu saat sarapan saja, karena Kala harus menyelesaikan pekerjaannya di kantor.

“Ray apakah ada kendala sehingga kamu belum mendapatkan ART?” tanya Kala ketika mereka duduk di meja makan.

Raya sengaja tidak mencari ART, karena dia bisa menangani pekerjaan rumah. Bagi Raya memasak dan membersihkan rumah adalah hal yang sering dilakukannya.

“Enggak ada, Mas. Kayaknya aku enggak mau pakai ART dulu deh. Kalau cuma masak dan beresin rumah aku bisa mengatasinya. Untuk masalah baju kotor kita laundry aja. Gimana?”

Kala mengangguk pelan. “Baiklah terserah kamu aja yang penting aku udah nyuruh kamu untuk cari ART. Oh iya, nanti kamu enggak usah masak, karena aku akan pulang malam,” ujarnya.

“Iya, Mas.”

Tak berapa lama Bintang datang sambil menyeret tas sekolahnya. Bocah yang sudah terbiasa untuk bersiap-siap sendiri itu menolak tawaran Raya ketika ingin dibantu untuk memakaikan seragam sekolahnya.

“Pa, Bintang lupa untuk memberitahu Papa jika hari ini ada pertemuan orang di sekolah Bintang. Papa datang ya!” ucap Bintang sambil menarik sebuah kursi.

Seketika Kala menghentikan kunyahan nasi yang ada di dalam mulut. Bola matanya langsung memutar untuk menatap Bintang yang telah duduk di sampingnya.

“Kok enggak ngomong dari kemarin sih, Bin? Papa udah terlanjur membuat janji dengan klien penting. Papa minta maaf karena Papa nggak bisa datang,” ucap Kala sambil melirik ke arah Raya yang duduk di depannya. “Gimana kalau yang dapat mama Raya aja. Kan sekarang mama Raya adalah mamanya Bintang.”

“Iya, Bintang tahu. Bintang udah ngomong sama mama Raya dan mama Raya bersedia untuk datang ke sekolahan Bintang. Tapi Bintang mau Papa sama Mama Raya datang juga biar kayak teman-teman Bintang yang lainnya,” celoteh Bintang dengan dengan penuh harap.

“Papa benar-benar minta maaf, Bin. Papa enggak bisa datang.” Kala tetap pada pendiriannya, karena memang hari ini dia telah membuat janji dengan klien penting. “Kami sih ngomongnya dadakan.”

Bintang bisa kecewa dengan jawaban papanya. Dengan bibir yang mengerucut Bintang berkata, “Gimana mau ngomong sama Papa, kalau Papa pulangnya malam terus! Papa jahat! Papa udah enggak sayang lagi sama Bintang!”

Untuk kali ini kalau benar-benar tidak bisa mengabulkan keinginan anaknya. Rasanya memang berat, tetapi tidak mungkin Kala yang pentingnya secara dadakan.

“Bintang Sayang, Bintang enggak boleh ngomong kayak gitu sama papa. Papa itu sayang sama Bintang makanya dia bekerja keras. Kan semua itu juga untuk Bintang. Lagian kalaupun papa ikut, pasti cuma nunggu di parkiran karena yang boleh masuk hanya salah satu orang tuanya saja kan?” Raya berusaha untuk membujuk Bintang.

“Ya udahlah sama Mama aja enggak apa-apa.” Akhirnya Bintang pun pasrah dan nurut dengan ucapan Raya.

Kala yang ada di samping Bintang langsung mengambil air putih karena rasanya begitu sulit untuk menelan nasinya.

“Ray, makasih ya. Maaf jika telah merepotkanmu,” ujar Kala datar. “Oh iya, aku jalan duluan ya. Kalian berdua diantar sama pak Agustus.”

Lagi-lagi Raya hanya mengangguk dengan pelan seraya mengembangkan seulas senyum di bibirnya. Meskipun dadanya terasa sesak, tetapi dia tak ingin memperlihatkannya pada Kala.

“Iya, Mas. Hati-hati ya,” ucap Raya.

Jangan berharap jika akan ada salim tangan atau cium kening, karena Kala langsung berlalu begitu saja.

Sabar Raya! Sebisa mungkin Raya menguatkan dirinya sendiri.

“Ma, Bintang udah selesai makannya. Ayo kita berangkat.”

Seketika Raya tersadar dari lamunannya. Bibirnya pun langsung mengulum senyum. “Ya udah, Mama siap-siap dulu ya. Bintang tunggu di depan sama pak Agus.”

“Siap, Ma.”

***

Tak pernah sedikitpun terpikirkan oleh Raya jika dia akan dipanggil mama oleh Bintang yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Bahkan Raya juga dikenalkan dengan teman-teman satu kelas Bintang. Wajar saja jika Bintang sangat bahagia ketika dia memiliki mama baru, karena semenjak dia masuk sekolah dia belum pernah memperkenalkan mamanya kepada teman-temannya. Biasanya hanya sang nenek yang menjadi walinya jika papanya sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Beruntung saja saat ini jadwal kuliah Raya tidak padat, jadi dia bisa menghabiskan waktunya bersama dengan Bintang. Mungkin jika kuliahnya sudah mulai aktif lagi dia akan menitipkan Bintang pada orang tuanya. Raya sudah diwanti-wanti untuk tidak mempekerjakan pengasuh untuk Bintang. Kedua belah pihak tidak mengizinkan jika cucu mereka diasuh oleh sembarang orang.

“Bin, sebelum pulang gimana kalau kita mampir ke suatu tempat dulu. Mama akan beli sesuatu untuk kamu. Gimana mau enggak?” aja Raya di tengah perjalanan pulang.

Dengan cepat Bintang langsung mengangguk dengan antusias. “Mau banget, Ma. Bintang mau!”

“Baiklah, Pak Agus kita mampir dulu ke mixue ya!” titah Raya.

“Baik, Bu.”

“Mixue?” gumam Bintang.

“Iya. Kenapa kamu enggak suka sama es krim?” tanya Raya sedikit mengernyit.

Bintang pun menggelengkan kepalanya. “Enggak apa-apa kok, Ma. Cuma — ”

“Eh, bentar mama angkat telepon dulu.” Raya memotong ucapan Bintang karena telepon berdering.

“Halo ini siapa ya?” sapa Raya pada panggilan yang masuk tanpa nama itu.

Seketika bola mata Raya membulat dengan lebar saat mendengar suara dari seberang telepon yang tak lain adalah Randy. Pria yang beberapa hari lalu tidak terima saat diputuskan oleh Raya.

“Ray, kita perlu bicara. Kamu enggak bisa mengakhiri hubungan kita dengan sepihak. Beri aku alasan mengapa kamu ingin putus”

“Ran, bukankah sudah aku katakan alasannya mengapa hubungan kita harus berakhir. Aku sudah menikah dengan mas Kala.”

“Kamu jangan bercanda, Ray. Mas Kala itu kakak ipar kamu. Enggak mungkin kamu menikah dengannya. Apakah sebenarnya kamu sudah memiliki yang baru. Ray, pokoknya aku enggak mau kalau kita putus.”

Entah bagaimana caranya agar membuat Rendy percaya bahwa saat ini dirinya telah menikah dengan Kala. Helaan napas berat pun keluar panjang.

“Aku serius, Ran. Aku benar-benar sudah menikah dengan mas Kala.”

“Aku enggak percaya! Pokoknya aku mau hari ini kita ketemu. Kalau kamu nggak mau aku akan datang ke rumahmu.”

Bola mata Raya pun membulat dengan lebar. Tentu saja Randy tidak boleh ke rumahnya, karena jika itu sampai terjadi bisa-bisa Raya akan dicincang oleh ibunya.

“Jangan! Kamu nggak boleh ke rumahku. Oke kita ketemu di mixue sekarang karena aku sedang menuju ke sana.”

“Nah gitu dong. Oke tunggu aku disana ya.” Randy pun segera mengakhiri panggilan teleponnya.

“Ma … siapa yang telepon Mama? Apakah dia penjahat? Mama harus kasih tahu papa kalau mama sedang diganggu oleh penjahat,” celetuk Bintang saat Raya menyimpan kembali ponselnya di dalam tas.

Dengan senyum tipis tangan Raya mengusap rambut Bintang. “Dia bukan orang jahat, Sayang. Dia teman Mama.”

Mungkin suatu saat dia akan menjadi orang jahat karena tidak terima dengan kenyataan ini. Tapi semoga saja itu hanya ketakutanku saja. Raya pun menghela napas kasarnya.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status