"Apakah mereka sudah tidur?" tanya Baim.
"Belum, Pak. Mereka harus menyusu. Pengasuh Kandi sedang mengambil stok ASIP di kulkas," jawab perempuan itu dengan sopan.
Baim mengangguk, lalu berkata tegas, "Bilang padanya nggak usah. Mulai hari ini, si kembar akan disusui langsung oleh ibu susunya." Ia menoleh ke Ayu, lalu memperkenalkannya. "Kenalkan, namanya Ayu."
Ayu tersenyum dan melangkah maju. Ia meraih tangan perempuan itu, menggenggamnya dengan hangat. "Halo Mbak, saya Ayu," sapanya lembut.
Perempuan itu membalas senyumannya. "Iya, Mbak. Saya Fatma, pengasuh Juna. Kalau yang sedang ambil ASIP namanya Sari, pengasuh Kandi."
Ayu mengangguk pelan, menyimpan informasi itu dalam ingatannya. Matanya beralih ke dua boks bayi yang berayun pelan, lalu berbisik, "Jadi... nama mereka adalah Juna dan Kandi ?"
"Oh iya, aku lupa bilang," jawab Baim sambil m
Ayu menyeka pipinya dengan punggung tangan, lalu terkekeh pelan. "Saya cuma senang banget bisa ketemu mereka lagi, Mbak."Fatma tersenyum, ikut merasakan ketulusan yang terpancar dari Ayu. "Saya juga sangat senang. Akhirnya, si kembar menemukan ibu susu tetap." Ia menatap Arjuna yang masih nyaman menyusu."Selama ini, Pak Baim selalu sibuk mencari ASIP untuk mereka."Ayu mengangguk pelan, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Meski luas dan mewah, ada sesuatu yang terasa hampa di dalamnya. Sepi."Kalau boleh tahu... kenapa rumah sebesar ini sepi banget, Mbak?" tanyanya hati-hati.Fatma menoleh, lalu menghela napas pelan. "Itu karena memang gak ada orang, Mbak. Yang tinggal di sini cuma Pak Baim dan si kembar."Ayu mengernyit. "Apa Mbak Fatma tahu di mana ibu mereka?"Fatma menelan ludah, ragu sejenak sebelum menggeleng. "Saya nggak tahu, Mbak. Saya juga gak berani tanya," ujarnya dengan suara pelan, lalu menyeringai kecil. "K
Ayu menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Mbak Sari. Saya turun dulu, ya."Sari membalas dengan anggukan, sementara tangannya terus menepuk pelan punggung Srikandi yang mulai menggumam pelan.Tanpa menunggu lebih lama, Ayu dan Fatma melangkah menuju lift, derap kaki mereka berpadu dengan suara halus pendingin ruangan yang berdengung di latar belakang.Fatma menekan tombol panah ke bawah, jarinya menempel sesaat sebelum ia menunjuk ke arahnya. "Kalau mau turun, kamu pencet yang ini ya, Yu."Ayu mengangguk, memperhatikan deretan tombol di panel lift."Rumah ini ada tiga lantai," lanjut Fatma. "Kamar si kembar ada di lantai tiga, paling atas. Kamar aku dan Sari juga di sana, biar lebih gampang kalau mereka butuh sesuatu."Sebuah bunyi lembut terdengar, lalu pintu lift terbuka. Ayu melangkah masuk bersama Fatma, matanya menyapu ruangan kecil den
Ayu terperanjat. "Ih, Mbak Fatma ada-ada saja. Pak Baim kan sudah punya istri.""Tapi istrinya nggak pernah ada buat dia," Fatma menghela napas, suaranya terdengar lebih serius. "Kasihan, loh. Pak Baim selalu sendirian. Apalagi dia juga anak yatim, nggak punya keluarga. Makanya, dia sangat baik sama kita. Dia menganggap kita semua keluarganya."Ayu mengangguk, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. "Saya sudah mengira, Pak Baim orang baik."Fatma menatapnya lekat-lekat. "Apa kamu pernah bertemu dengan Bapak sebelumnya?"Ayu menelan ludah. Ada bayangan kelam yang seketika muncul di benaknya. "Iya," suaranya terdengar lebih pelan. "Dia menolong saya... saat hampir diperkosa oleh pria tua."Fatma terbelalak, napasnya tercekat. "Astaghfirullah... Ayu."Ayu menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Andai waktu itu Pak Baim nggak membuka pintu l
Ayu menggeleng cepat. "Nggak, Pak. Nggak sama sekali." Suaranya sedikit bergetar. Ia menunduk, menatap angka itu lagi seolah takut angka tersebut akan berubah jika ia berkedip."Ini justru terlalu banyak. Saya..." Ayu menarik napas, mencoba meredakan gejolak di dadanya. "Sebenarnya, saya jadi sedih. Karena dengan menerima gaji sebesar ini, saya merasa seperti menjual ASI saya. Padahal, saya sangat menyayangi mereka seperti anak saya sendiri."Baim menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil—senyum yang entah kenapa terasa begitu tulus hingga membuat Ayu sedikit lebih tenang."Aku sangat berterima kasih soal itu," katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Tapi memberi gaji adalah kewajiban aku, Yu. Ini bukan soal membeli atau menjual kasih sayang. Ini soal menghargai peranmu."Ayu menunduk, jemarinya menggenggam ujung kertas. Meskipun kata-kata Baim terdengar masuk akal, ada
"Sudah, Pak Baim," jawab suara di ujung sana. "Semua dekorasi sesuai dengan yang Bapak minta."Baim mengangguk kecil meski lawan bicaranya tak bisa melihatnya. "Baik, bagus. Sekarang tolong ke ruang kerja, antar Ayu ke kamarnya.""Baik, Pak."Ia meletakkan telepon dengan gerakan santai, lalu kembali menoleh ke Ayu. Kali ini, ekspresinya lebih lembut. Ia melangkah kembali ke sofa, duduk di sampingnya dengan tubuh sedikit condong ke depan, seolah ingin memastikan Ayu merasa nyaman."Asisten rumah tangga akan segera ke sini untuk mengantarmu ke kamar," kata Baim, suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu di matanya—seperti ingin memastikan Ayu merasa nyaman. "Kamarmu ada di lantai ini. Karena kamar asisten sudah penuh, jadi kamu menempati kamar tamu. Itu juga supaya kamu lebih mudah menuju kamar bayi."Ayu hanya mengangguk pelan. Jemarinya meremas ujung bajunya, seakan masih mencoba memahami perubahan besar dalam hidupnya.Baim memperhat
Ayu membuka mulutnya, hendak berkata sesuatu, tapi sebelum sempat menjawab—Tok tok...Suara ketukan pintu memecah keheningan di antara mereka.Ayu buru-buru mengusap sisa air mata di pipinya, sementara Baim menoleh ke arah pintu, ekspresinya kembali terkendali."Masuk." Suara Baim terdengar tenang, tapi ada sedikit perubahan dalam nada bicaranya—seolah ia butuh waktu untuk mengalihkan pikirannya dari percakapan barusan.Pintu terbuka pelan. Seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan langkah mantap, wajahnya memancarkan ketenangan seorang yang sudah lama mengabdi. "Saya mau antar Mbak Ayu, Pak," katanya dengan suara ramah.Baim mengangguk sebelum menoleh ke Ayu. "Ayu, ini Mak Ti. Dia asisten senior di rumah ini. Sudah kuanggap seperti ibuku sendiri." Ia menatap wanita itu dengan penuh hormat. "Aku bahkan nggak pernah panggil namanya. Semua orang di sini menyebutnya Mak Ti."Ayu segera berdiri, lalu meraih tangan Mak
Mak Ti yang sejak tadi berdiri di ambang pintu tersenyum. "Pak Baim yang minta. Dia bilang, Nak Ayu suka warna pink, jadi dia suruh Mak dekorasi kamar ini seperti ini. Dia juga meminta Mak menyiapkan perlengkapan make-up dan baju-baju itu."Ayu terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang terasa menghangat, sekaligus bergetar."Dia ingat warna favoritku?" batinnya. "Kenapa perhatian sekali?"Tangannya perlahan menyentuh dadanya sendiri, merasakan detak jantungnya yang mulai berdegup lebih cepat."Ya Allah... Kenapa aku deg-degan lagi?"Ayu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Tapi pikirannya justru kembali ke perjanjian itu-poin delapan.'Dilarang terlibat emosi antara pemberi dan penerima kontrak.'Ia menutup matanya sejenak, menggigit bibir, berusaha mengusir perasaan aneh yang mulai merayapi ben
Mak Ti mengangguk, ekspresinya seakan mengatakan bahwa hal ini wajar saja.Ayu menghela napas, berusaha menepis pikirannya yang mulai berlarian ke arah yang tidak seharusnya. "Ah… nggak. Gak mungkin, kan?" batinnya.Ia mengusap wajah, mencoba mengembalikan fokusnya. "Ya udah, Mak. Saya siap-siap dulu ya."Mak Ti tersenyum. "Baiklah. Kami tunggu di bawah, ya."Setelah pintu tertutup, Ayu menghela napas panjang, lalu berjalan menuju wastafel. Percikan air dingin menyentuh wajahnya, membuatnya sedikit lebih segar.Ia berdiri di depan lemari, tangannya terulur, menyentuh deretan pakaian yang tersusun rapi. Matanya menelusuri satu per satu sebelum akhirnya mengambil sebuah dress yang terlihat cantik namun tetap sederhana.Saat mengenakannya, ia melangkah ke depan cermin.Sejenak, ia tertegun.Pantulan d
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
"Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?" Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
"Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda
"M-Maksud Papa?"Ayu membeku. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terancam—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.Ia tak tahu… apakah barusan ia telah membuka pintu menuju jurang yang lebih dalam."Kamu tidak punya siapa-siapa di Jakarta, kan? Kedua orang tuamu juga sudah meninggal. Aku harap kamu tetap polos. Dan jangan sekali-kali mencoba melawanku."Ayu menelan ludah. Ia tak berani menatap Sambo. Ia sadar, ucapan mertuanya itu bukan sekadar ancaman kosong."Ya sudah, Papa pulang dulu. Ayo, Ma.""Baik, Pa." Hayati mengikutinya dari belakang, namun sorot matanya masih tajam mengarah ke Ayu.Ayu berdiri, merasa tidak nyaman dengan tekanan yang semakin berat. Namun ia tak melawan. Ia hanya menghela napas panjang.Setelah mereka keluar, percakapan di antara Sambo dan Hayati ternyata belum berakhir."Ma... cari cara agar Ayu menyerahkan surat itu ke kita," suara Sambo terdengar dari luar, semakin lama semakin cemas. "Papa nggak tenang kalau surat itu masih ada. Kita h
"Maaf, Nyonya. Saya harus mengepel lantai ini lagi. Permisi..."Tanpa membantah, Ayu mulai bekerja. Ia mengepel lantai dengan tenang, seolah tanpa emosi—meskipun di dalam hatinya, mungkin ia sedang menyusun balasan yang rapi dan penuh perhitungan.Semua orang di ruangan itu terdiam, tercengang. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Ayu.Rani mendekati ibunya, Hayati, lalu berbisik pelan,"Ada apa dengan Ayu, Ma? Tumben dia nggak melawan. Padahal tadi kelihatan banget dia siap berperang."Hayati mengerutkan kening, matanya terus mengikuti gerakan Ayu yang sibuk mengepel."Mama juga nggak tahu. Apa mungkin berita itu membuatnya berubah?""Oh... iya. Sekarang semua orang balik menyalahkannya," ujar Rani, tampak berpikir. "Jangan-jangan dia nyesel sudah sok berani di pesta Jaka kemarin."Tak lama kemudian, Sambo datang dengan langkah perlahan."Ayu... kamu sudah kembali?"Ayu berdiri. Tubuhnya menegang mendengar suara Sambo. "Tumben dia bertanya. Ada drama apalagi kali ini?"