Jika Albert sibuk mengejar cintanya, kedua putra Albert sibuk menyelesaikan permasalah ayah mereka.Di sebuah konferensi pers yang diselenggarakan secara tertutup dan eksklusif...Dua pria muda duduk berdampingan. Di sisi kiri dan kanan mereka, ada dua orang pengacara yang akan siap memberikan pembelaan terhadap Albert. Keduanya mengenakan setelan formal dengan pin kecil berbentuk lambang keluarga Albert. Aura mereka cerdas, tegas, dan jujur. Wajah keduanya mirip, mewarisi karisma ayah mereka, namun dengan sorot mata yang lebih bersih. Mereka adalah putra-putra Albert, yang selama ini tidak pernah tampil ke publik.Salah satu dari mereka membuka suara, suaranya tenang namun dalam“Kami muncul hari ini bukan untuk membela kesalahan, tapi untuk menjelaskan kebenaran yang tidak diketahui siapa pun.”Yang satu lagi melanjutkan, membuka map berisi berkas-berkas hukum.“Ini adalah perjanjian hitam di atas putih, yang ditandatangani Sherly sendiri. Dalam surat ini, jelas tertulis bahwa hubu
Albert duduk gelisah di atas tempat tidur. Kamar mewah dan dingin itu mendadak terasa pengap, seolah tembok-temboknya ikut menertawakan kegelisahan hatinya. Bantal-bantal berserakan, dasi tergulung di lantai, dan kemeja yang tadi ia kenakan telah dilempar asal ke sofa. Tapi pikirannya tidak ada di mana pun kecuali di satu tempat, ponsel di tangannya.Ia menatap layar ponsel dengan ekspresi nyaris putus asa."Kenapa lama sekali balasnya, Aruna..." gumamnya, nyaris tak bersuara.Jempolnya sudah berkali-kali mengetuk layar, membuka, menutup, membuka lagi aplikasi pesan. Seolah dengan begitu pesan balasan akan lebih cepat muncul.Matanya menatap bagian atas layar. Status Online now.Tapi...Tidak ada gelembung "sedang mengetik." Tidak ada tiga titik bergerak. Hanya sunyi yang membuat dadanya sesak.Albert memijit pelipisnya, menghela napas panjang, lalu bergumam lirih, “Dia online... tapi diam. Apa dia baca? Apa dia bingung? Apa dia sengaja... mengabaikan aku?”Ponsel ia letakkan di kasu
Sementara itu, Albert dan Nathan sudah duduk tenang di ruang kerja Hermawan.“Biarkan dunia melihat siapa Sherly sebenarnya,” ucap Nathan dengan nada dingin.Albert menatap rekan bisnis yang sudah serasa keluarga sendiri.“Dia memulai perang ini. Sekarang dia harus terima konsekuensinya.”Nathan membuka ponselnya dan tersenyum kecil melihat notifikasi berita terbaru.“Pengacara Jerman resmi ajukan gugatan. Pejabat China minta kerja sama interpol. Ini, baru permulaan.”Albert bangkit dari duduknya, mengambil napas dalam-dalam.“Kita sudah membersihkan nama kita. Sekarang saatnya membersihkan luka yang dia tinggalkan.”***TIGA HARI SETELAH VIDEO-VIDEO ITU MELEDAKSherly tak lagi tinggal di hotel bintang lima. Ia bersembunyi di apartemen kecil yang dulu tak pernah ia lirik. Tirai tertutup rapat. Semua lampu padam. Ponselnya kini hanya berfungsi sebagai alat penghitung waktu kehancurannya.Wajahnya kusut. Rambutnya lepek, berminyak, dan kusut tak tersisir. Kantong mata hitam jelas terlih
Di kediaman Hermawan, malam itu terasa seperti medan perang.Albert berdiri di depan layar besar yang memperlihatkan salah satu video terbaru yang beredar. Rekaman CCTV dari lorong hotel di Beijing. Terlihat jelas sosok Sherly dengan gaun merah menyala, menggandeng tangan seorang pria berperut buncit berkemeja putih. Pria itu dikenal sebagai pejabat tinggi dari China. Video itu disambung dengan potongan lain. Sherly terlihat masuk ke kamar, lalu kamera ponsel merekam transaksi uang dalam jumlah besar. Tawa Sherly terdengar samar.“Dia benar-benar bodoh,” desis Nathan dengan rahang mengeras. “Dia menyimpan semuanya di ponsel.”Albert mengangguk perlahan, matanya tak lepas dari layar. Tapi ekspresinya bukan kemenangan. Yang ada hanyalah kehampaan bercampur amarah.“Dia pikir dia yang mengendalikan permainan ini…” gumamnya.“Padahal semua kartu busuknya tinggal menunggu waktu untuk runtuh.”Albert baru saja mengetahui bahwa putra keduanya berhasil membobol seluruh data yang tersimpan di
Pagi itu Sherly membuka hari dengan senyuman lebar. Ia duduk di teras apartemen, ditemani secangkir kopi dan langit kota yang cerah. Gaun tidurnya masih membalut tubuh rampingnya. Ia merasa seperti ratu yang baru saja menaklukkan medan perangnya sendiri.Ia mengangkat ponselnya dan membuka media sosial. Wajahnya langsung berbinar saat melihat jumlah views pada video fitnah yang ia unggah malam sebelumnya. Ratusan ribu penonton. Ribuan komentar. Banyak yang mencaci Albert, menyudutkan Eliza, dan mempertanyakan moral keluarga Hermawan.Sherly tersenyum puas."Lihat, dunia percaya padaku," batinnya penuh kemenangan.Namun, hanya beberapa detik kemudian, senyum itu menghilang.Video yang ia unggah sudah tidak ada.Tombolnya kini bertuliskan: “Video telah dihapus karena melanggar kebijakan.”Sherly mengerutkan kening. Ia mencoba memuat ulang halaman, namun hasilnya tetap sama. Video itu lenyap. Ia segera membuka akun-akun gosip yang sebelumnya membantu menyebarkannya. Tapi tidak hanya vide
Aruna mulai membereskan barang-barangnya. Ia tidak membawa banyak, meski selama tinggal di rumah ini, ia diberikan berbagai pakaian indah, berkelas, dan mahal, semuanya ia tinggalkan. Ia hanya memilih beberapa helai pakaian yang pernah ia kenakan. Bagi Aruna, bukan harga yang penting, tapi makna dan kenyamanan. Ia tidak ingin membawa apa pun yang bisa menambah beban hatinya.Setelah semuanya siap, Aruna melangkah keluar dari kamarnya. Ia mencari Eliza. Kebetulan, wanita hamil itu tengah duduk di meja makan, menikmati sepiring rujak favoritnya dengan wajah yang terlihat lebih segar dari biasanya."Eliza," ucap Aruna lembut, seraya menarik kursi dan duduk di samping wanita itu.Eliza menoleh dan tersenyum hangat. "Mau rujak? Pedas banget, loh. Bayi kembar ini sepertinya doyan banget rujak."Aruna menggeleng sambil tersenyum kecil. Tapi senyum itu mengandung makna yang dalam."Aku... mau pamit," ujarnya pelan namun tegas.Eliza menghentikan sendoknya. Matanya menatap Aruna, penuh tanya.