"Ya Aku ingin mencoba." Kata Albert Aruna tidak berkata apa-apa. Namun dia mengambil mangkok kecil dan mengisi potongan buah ke dalamnya. Kemudian memberikan kepada Albert. Albert tersenyum canggung dan kemudian mengambil mangkok tersebut. "Daddy, Aku mau?" Olivia yang duduk di sebelah Aruna sudah membuka mulut dan meminta agar sang ayah menyuapinya.Albert menelan air ludahnya karena posisi sekarang ada Aruna di tengah-tengah. Namun pria itu tidak tega menolak permintaan putrinya. Karena itu dia tetap menyuapi Olivia dan sedikit mencondongkan wajahnya di depan wajah Aruna. Posisi seperti ini jelas saja membuat mereka berhenti untuk bernafas beberapa saat. Aruna berdoa agar kondisi seperti ini cepat berlalu. Namun ternyata tidak, Olivia justru mencicipi rasa makanan itu sedikit demi sedikit. "Olivia, jangan terlalu lama cepat masukkan ke mulutmu. "Albert berkata dengan wajah kesal. "Sebelum aku makan aku harus tahu dulu ini rasanya enak atau tidak." Gadis remaja itu sangat pi
Sunyi kembali merangkul mereka, hanya ada desir angin yang sesekali meniup rambut Aruna. Gadis itu menatap pria di hadapannya dengan mata yang penuh empati, seolah ingin menyentuh luka yang masih membekas di balik sorot mata Albert. Ada kesedihan yang belum sempat sembuh, namun di balik itu, Aruna bisa menangkap sesuatu yang lain, keraguan. Ya, Albert bukan pria yang dibutakan cinta, ia hanya terlalu lelah terlalu lama memikul beban yang rumit dan nyaris tak berujung.“Kadang, seseorang baru terlihat jahat setelah terlalu lama kita biarkan berada di dekat kita,” ucap Aruna lirih, seakan menggumamkan kebenaran yang menyakitkan.Albert membuka mata, menatap Aruna dengan sorot tajam yang sarat makna. Kata-kata itu menusuk relungnya. Baru kali ini ada seseorang yang bisa membaca pikirannya tanpa perlu dia buka. Kalimat itu bukan hanya sekedar paham, Aruna benar-benar memahaminya.Albert menoleh pelan ke arah Olivia yang duduk disebelah Aruna, alisnya sedikit mengernyit. "Apa kamu sengaja
"Daddy ku, pria yang sangat baik. Namun sejak mommy sakit, sikapnya perlahan-lahan berubah. Namun walaupun seperti itu, dia tetap sosok ayah yang sangat baik. Bahkan sosok ayah terbaik di dunia. Dia tetap menjadi pelindung untuk kami. Dan dia tetap selalu menyayangi kami. tapi sejak mommy meninggal, dia seperti bukan dirinya lagi," ucap Olivia tiba-tiba, suaranya pelan dan mengambang di udara. "Dia masih tertawa, masih tersenyum, tapi aku tahu, itu cuma topeng." Aruna memandang gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu persis seperti apa rasanya kehilangan seseorang yang menjadi pusat dunia. Rasa kosong yang tak bisa diisi siapa pun, bahkan waktu pun hanya mengikisnya sedikit demi sedikit. "Ayahmu beruntung punya kamu. Banyak orang kehilangan dan memilih menyerah, tapi kamu tetap ada untuknya," kata Aruna. Olivia menoleh, bola matanya bening seperti embun pagi. "Aku pengin dia punya seseorang yang bisa menemaninya lagi. Dan aku tahu, aku nggak bisa gantiin mommy. Tapi mungkin,
"Kau masih menyimpan semua bukti-bukti itu? "Hermawan memandang Albert dengan tatapan kagum. Albert menganggukkan kepalanya. "Bukti-bukti ini sangat penting bagiku. Dengan adanya bukti-bukti ini maka orang tidak bisa sembarangan menuduhku. Dan aku pun sudah melewati proses dari kepolisian. Di sini aku tidak terlibat dalam kasus kejahatan kriminal karena itu aku bisa lepas dan bebas.""Apa anda tidak melakukan tuntunan balik atas pencemaran nama baik?" Tanya Nathan. Albert menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin berurusan dengan siapapun. Yang pasti aku tidak terlibat dalam kejahatan apapun. Dan pada saat itu kondisi istriku sedang sakit. Aku saja hampir gila, mana mungkin aku bisa menuntut orang yang ingin mencemarkan nama baikku. "“lagipula mereka menuduh ku hanya karena mereka menghilang dari Paris. Banyak dari mereka kini menjalani hidup yang jauh lebih baik. Anak-anak mereka sering menghubungiku. Mereka mengirimkan foto-foto, ucapan terima kasih. Rata-rata ayah mereka adalah
Sejenak suasana hening. Eliza menggenggam tangan Nathan. Aruna menatap Albert dengan mata yang merunduk hormat.Hermawan melangkah maju dan menepuk pundak sahabatnya itu. “Aku mengerti perasaanmu. Anna pasti bahagia sekarang. Dan dia pasti bahagia melihatmu di sini, dikelilingi anak-anak dan tawa yang tak pernah ia benci.”Albert menatap ke arah Aruna, yang berdiri diam di samping Aishwa. Wajahnya lembut, anggun, dan terlihat sangat muda. Bahkan lebih muda dari Eliza.“Bukankah kau tak punya anak perempuan?” tanya Albert pelan.Hermawan tersenyum samar. “Tidak.”“Lalu, siapa dia?”“Teman Eliza,” jawab Hermawan cepat. Tidak mungkin ia menjelaskan kisah rumit yang menyelimuti hidup Aruna. Albert mengangguk perlahan, tapi tatapannya belum lepas dari Aruna. Gadis itu menunduk, lalu membelai kepala Aishwa yang masih menggenggam tangannya erat.Dalam diamnya, Aruna tahu di rumah ini, di tengah keluarga yang bahagia dan hangat, dirinya tetap seperti kepingan cerita yang tak utuh. Hadir, tap
Aruna berdiri terpaku di lantai empat mansion megah milik keluarga Hermawan, matanya memandang kagum pada hamparan dunia kecil penuh warna yang terbentang di hadapannya. Cahaya matahari sore menyusup lembut melalui jendela kaca besar di sisi timur, memantulkan kilau keemasan pada lantai dan peralatan bermain, menciptakan suasana hangat dan menenangkan.Lantai ini bagaikan negeri dongeng yang dirancang khusus untuk kebahagiaan anak-anak. Di tengah ruangan, terdapat kolam mandi bola raksasa yang warnanya seperti permen kapas—biru langit, merah muda, dan putih susu. Di sampingnya, perosotan pelangi menjuntai dengan lengkungan lembut, seolah mengajak anak-anak untuk meluncur ke dunia fantasi mereka.Berbagai wahana digital dan mekanik juga tersusun rapi: mesin game cakar boneka berjejer seperti tantangan ajaib, game mobil balap dengan efek suara realistis, dan kereta mini yang berkeliling mengitari ruangan melewati terowongan kecil dan miniatur stasiun. Terdapat pula landasan mobil-mobila