Ternyata begini rasanya menjadi pengemis cinta.Sherly menatap kosong ke layar ponselnya yang kembali menampilkan notifikasi Call Rejected. Sudah berulang kali ia mencoba menghubungi Albert, namun selalu berujung pada penolakan. Jari-jarinya bergetar karena amarah yang dipendam terlalu lama. Dulu, Nathan-lah yang selalu mengalah padanya. Lelaki baik itu rela menunduk demi menyenangkan hatinya, meski hatinya sendiri remuk. Terkadang ada rasa marah karena m sudah direndahkan oleh istrinya. Namun tetap saja Nathan tidak bisa menolak permintaan Sherly Dan kini, karma seolah berbalik menampar wajahnya."Apa ini balasan dari semua yang pernah kulakukan?" gumamnya lirih.Matanya memanas, tapi bukan karena tangis. Amarah, dendam, dan rasa terhina bercampur jadi satu. Sialan kau, Albert, pikirnya. Kau pikir aku akan menyerah hanya karena kau menghindar?“Albert sialan!” Sherly menjerit ke udara, suaranya bergema di dalam apartemennya yang sunyi.Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama yang ditung
Sherly berlari, menerjang kerumunan tanpa peduli pada sorot mata yang mengarah padanya. Seolah tak ingin melepaskan mangsanya, ia langsung menabrak tubuh tegap pria itu dari belakang. Membuat pria itu terhuyung sesaat, nyaris kehilangan keseimbangan.Tanpa ragu, Sherly memeluk punggungnya dengan erat. Seakan waktu berhenti.Tubuh pria itu menegang. Ia menoleh perlahan, dan sorot matanya dingin, tajam, seperti pisau yang sudah terlalu lama disimpan dalam darah.“Albert,” bisik Sherly, suaranya lirih tapi penuh luka. Kerinduan dan benci dan dendam, tersimpan di dalam hatinya.“Apa kau tahu, aku sangat merindukanmu.”Albert mencoba menarik tangan wanita itu dari tubuhnya, namun Sherly tidak melepaskannya. Napasnya tercekat, namun ia tetap bersandar, meski tahu bahwa cinta itu telah menjadi sesuatu yang tidak pantas. Ia hanya berkedok mencintai, demi bisa mencapai tujuannya.“Apa kau lupa ini tempat umum?” suara Albert rendah, namun bergetar seolah emosi yang terkekang. “Orang-orang menat
Permintaan calon cucunya terdengar cukup rumit dan tidak biasa. Tapi sebagai calon kakek dan nenek, Hermawan dan Mawar justru terlihat lebih bersemangat daripada yang diminta.“Kalau begitu, Mami sama Papi berangkat ke Pekanbaru ya!” kata Hermawan mantap.Mata Nathan, Rizky, dan Kiara sontak membelalak mendengar keputusan itu. Kiara bahkan sampai melirik Eliza, memastikan ia tidak salah dengar.“Ke Pekanbaru cuma buat beli lampu durian, Om?” tanya Rizky polos, menyebut benda unik yang diminta Eliza.“Iya dong,” jawab Hermawan dengan semangat seperti anak kecil yang hendak pergi liburan. Tanpa menunggu lama, ia langsung menelepon pilot pribadinya. “Siapkan pesawat sekarang. Kita ke Pekanbaru!”"Baik tuan Hermawan, satu jam lagi pesawat akan terbang ke Pekanbaru," jawab sang pilot. Tercatat menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia, tidak heran jika Hermawan memiliki landasan khusus di bandara. Tidak ada kata terlalu jauh dalam kamus Hermawan. Begitu telepon ditutup, ia sudah bers
“Albert! Sampai kapan kau memperlakukanku seperti tawanan?!”Suara Sherly menggema, menusuk keheningan ruangan yang sunyi tersebut. Sudah lebih dari 6 bulan istri Albert meninggal. Sherly beranggapan bahwa setelah istri pria itu mati, maka dialah yang akan menggantikan posisinya. Namun ternyata salah. Karena pada kenyataannya dia diperlakukan seperti tawanan. Albert tidak pernah datang menemuinya. Namun juga tidak membiarkan dia lepas. Ia dikurung dalam kandang mewah, namun tetep saja Albert membiarkan ia menjalani profesinya sebagai artis. Jika orang melihat, orang akan mengatakan hidupnya sangat bahagia. Namun dibalik itu, semua langkahnya dipantau, semua ucapannya diawasi. Ponselnya telah disadap, asistennya bukan lagi sahabat, melainkan mata-mata.Ke mana pun ia pergi, seorang bodyguard berbadan besar selalu mengikutinya seperti bayangan gelap yang tak bisa disingkirkan."Albert, mau sampai kapan kau menjadikan aku sebagai tawanan?" Wanita itu mengepalkan tangannya dengan erat.
"Kayaknya sekarang Eliza makin gemukan, ya," kata Kiara sambil mengamati adiknya yang sedang lahap menyantap burger kedua siang ini.Eliza hanya nyengir sambil menggigit besar makanannya. "Iya nih, Kak. Akhir-akhir ini rasanya pengen makan terus."Kiara tersenyum, tapi matanya menelisik. Setelah badai urusan Mama adiknya mereda, pikirannya mulai tenang. Rini memilih kembali ke Jambi setelah menolak tinggal di Jakarta. Katanya, kota Jambi jauh sangat nyaman, tenang, bersih, dan orang-orangnya lebih ramah. Trauma yang ditinggalkan oleh ibukota tampaknya membuatnya enggan untuk menetap. Rizky pun mengizinkan mertuanya kembali ke sana karena pendonor untuk Bobby belum juga ditemukan.Kini, Kiara bisa kembali memperhatikan hal-hal kecil. Termasuk perubahan pada Eliza."Haid kamu lancar nggak, Za?" tanyanya pelan namun penuh makna.Eliza terdiam. Burger di tangannya seketika berhenti bergerak. Wajahnya tampak berpikir keras, seolah ada bagian dari dirinya yang baru saja terjaga."Bulan ini
Rini dan Bobby akhirnya tiba di sebuah rumah mewah yang berdiri megah bak istana. Mata Rini membelalak, tak percaya bahwa tempat semewah ini adalah tempat tinggal putrinya."Nak, ini rumah atau istana?" bisiknya pelan di telinga Kiara, masih terpukau.Kiara tersenyum kecil. "Menurut Kiara sih ini istana, Ma."Rini tak banyak bicara lagi. Diam-diam, ia masih mencoba menata rasa antara heran, kagum, dan perasaan asing yang sulit dijelaskan. Dengan perlahan, ia masuk ke dalam rumah. Kursi rodanya di dorong Kiara dari belakang. Rini menatap sekeliling, masih tak percaya anak yang dulu ia besarkan di rumah petak sederhana kini hidup di tengah kemewahan seperti ini. Lagi-lagi ia terkenang dengan masa lalu. Berapa bodohnya ia ketika memaksa Kiara menikah dengan Rudi. "Ini rumah suamimu?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar.Kiara menggeleng. "Bukan. Ini rumah Mami Mawar dan Papi Hermawan.""Mereka, mertua kamu?" Rini tampak ragu. Ia teringat bagaimana Rizky memanggil mereka dengan sebutan