"Maaf Nyonya, jika anda ingin bertemu dengan Tuan Albert, sebaiknya Nyonya menghubungi beliau. Jika Nyonya sudah memiliki janji, maka kami tidak akan melarang Nyonya untuk bertemu dengan tuan Albert." Wanita itu berkata dengan beraninya. Bagaimana jika benar wanita yang di depannya adalah calon istri Albert. Bukankah pekerjaannya akan dipertaruhkan? Namun sebagai karyawan. Dia hanya mengikuti aturan dari perusahaan. Itulah guna pekerjaannya menjadi seorang resepsionis. Tidak bisa menerima sembarangan orang menjadi tamu di perusahaan tersebut apalagi yang akan ditemui seorang bos pemilik perusahaan. "Kalian hanya karyawan rendahan, tapi tidak tahu malu. Bagaimana mungkin kalian memperlakukan Aku calon istri bos kalian seperti ini." Dia benar-benar marah. Berkata sambil menunjuk-nunjuk wajah kedua wanita tersebut. Kedua wanita itu tampak takut, hanya saja mereka tetap menjaga yang namanya formalitas. Coba kalian hubungi Albert, katakan kepadanya bahwa aku ingin bertemu dengannya. "S
"Layanan resepsionis, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita muda berseragam elegan di meja depan, senyumnya sopan namun penuh profesionalitas."Aku ingin bertemu Tuan Albert," jawab Sherly dingin, matanya menatap lurus, menyapu resepsionis itu dari atas ke bawah."Apakah Anda sudah memiliki janji, Nyonya?" tanyanya sopan.Sherly mengerutkan kening. Nada suaranya langsung berubah tajam. "Janji? Siapa kamu berani menanyai aku seperti itu? Dan berhenti memanggilku nyonya, kau pikir wajahku ini setua itu?!"Resepsionis itu menelan ludah. Wanita di hadapannya tampak meledak-ledak, dan sorot matanya mengancam."Saya minta maaf... tapi kami tidak bisa membiarkan siapa pun menemui Tuan Albert tanpa konfirmasi langsung darinya. Itu prosedur perusahaan."Sherly mengangkat dagu, matanya menyala penuh emosi. "Kau pikir aku siapa? Aku calon istrinya! Jangan berani menghalangi aku atau—""Saya hanya menjalankan tugas saya," sela wanita di samping resepsionis, rambut pirangnya disanggul ra
Langit siang di atas kampus Eliza tampak bersih, seakan ikut merayakan hari yang istimewa. Di sisi luar gedung ujian, seorang pria berdiri dengan tubuh tegak dan wajah tenang. Nathan, dalam balutan kemeja putih yang disetrika tanpa satu pun kerutan, tampak seperti tokoh utama dalam film roman yang sedang menunggu momen puncaknya.Ia tak diizinkan masuk ke ruang sidang skripsi, tapi tak sedikit pun terlihat bosan. Dua jam berlalu begitu saja, dan Nathan tetap setia berdiri di depan pintu, tatapannya penuh antisipasi.Ketika pintu akhirnya terbuka, dari dalam muncul sosok yang begitu ia rindukan, Eliza. Ia berjalan dengan langkah ringan, senyum mengembang, dan di dadanya tersemat selempang bertuliskan nama lengkap dan gelar akademik barunya."Hubby, Liza lulus!" serunya ceria dan kemudian langsung memeluk sang suami.Nathan menyambut pelukan itu dengan senyum lebar, namun cepat menoleh ke arah perut Eliza yang mulai membuncit. "Sayang, jangan ditekan terlalu keras. Ada dua nyawa di sana
Seorang wanita muda duduk di sofa, ruang tamu yang begitu sangat sepi bahkan tidak ada suara sama sekali. Dia masih bisa melihat kedua kaki kecil adiknya yang berusia 4 tahun berlari-lari. Kemudian adiknya yang sudah berusia 14 tahun, duduk dilantai sambil mengerjakan pr nya. Suara sang mama memanggil, sambil meminta tolong. Suara tertawa sang papa yang sedang bermain dengan adiknya yang kecil. Semua masih terekam jelas. Bahkan bayangan itu seakan hidup. Sudah 4 bulan berlalu dari hasil keputusan pengadilan. Namun tetap saja ia merasa tidak tenang dan selalu hidup dalam bayang-bayang dan rasa bersalah. Namun ada kelegaan di hatinya, karena orang yang sudah menghilangkan nyawa keluarganya sudah mendapatkan hukuman meskipun hukuman itu dinilai tidak cukup. Ya, pelaku sudah dihukum, dan semua orang bilang itu setimpal. Tapi bagaimana mungkin satu hukuman bisa menggantikan empat kehidupan? Empat pelukan? Empat suara yang tak akan pernah kembali?Namun Aluna tahu, ia harus melepaska
Ternyata begini rasanya menjadi pengemis cinta.Sherly menatap kosong ke layar ponselnya yang kembali menampilkan notifikasi Call Rejected. Sudah berulang kali ia mencoba menghubungi Albert, namun selalu berujung pada penolakan. Jari-jarinya bergetar karena amarah yang dipendam terlalu lama. Dulu, Nathan-lah yang selalu mengalah padanya. Lelaki baik itu rela menunduk demi menyenangkan hatinya, meski hatinya sendiri remuk. Terkadang ada rasa marah karena m sudah direndahkan oleh istrinya. Namun tetap saja Nathan tidak bisa menolak permintaan Sherly Dan kini, karma seolah berbalik menampar wajahnya."Apa ini balasan dari semua yang pernah kulakukan?" gumamnya lirih.Matanya memanas, tapi bukan karena tangis. Amarah, dendam, dan rasa terhina bercampur jadi satu. Sialan kau, Albert, pikirnya. Kau pikir aku akan menyerah hanya karena kau menghindar?“Albert sialan!” Sherly menjerit ke udara, suaranya bergema di dalam apartemennya yang sunyi.Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama yang ditung
Sherly berlari, menerjang kerumunan tanpa peduli pada sorot mata yang mengarah padanya. Seolah tak ingin melepaskan mangsanya, ia langsung menabrak tubuh tegap pria itu dari belakang. Membuat pria itu terhuyung sesaat, nyaris kehilangan keseimbangan.Tanpa ragu, Sherly memeluk punggungnya dengan erat. Seakan waktu berhenti.Tubuh pria itu menegang. Ia menoleh perlahan, dan sorot matanya dingin, tajam, seperti pisau yang sudah terlalu lama disimpan dalam darah.“Albert,” bisik Sherly, suaranya lirih tapi penuh luka. Kerinduan dan benci dan dendam, tersimpan di dalam hatinya.“Apa kau tahu, aku sangat merindukanmu.”Albert mencoba menarik tangan wanita itu dari tubuhnya, namun Sherly tidak melepaskannya. Napasnya tercekat, namun ia tetap bersandar, meski tahu bahwa cinta itu telah menjadi sesuatu yang tidak pantas. Ia hanya berkedok mencintai, demi bisa mencapai tujuannya.“Apa kau lupa ini tempat umum?” suara Albert rendah, namun bergetar seolah emosi yang terkekang. “Orang-orang menat