แชร์

Pekerjaan

ผู้เขียน: Ayaya Malila
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-08-04 15:22:51

Keesokan harinya, setelah perut kenyang dan merapikan diri, Anike bersiap mendatangi alamat perusahaan yang dia dapatkan dari situs lowongan kerja.

Namun, baru saja Anike membuka pintu rumah kakaknya, seorang pria bertubuh tegap sudah berdiri di hadapannya.

"Cari siapa, ya?" tanyanya ragu.

"Tiara-nya, ada?"

"Oh, ada." Anike membuka mulut, hendak meneriakkan nama sang kakak. Akan tetapi, segera dia urungkan ketika Tiara lebih dulu muncul.

"Pagi amat, Gam?" sapa Tiara sangat lembut. Anike sampai merinding melihat betapa bedanya sikap sang kakak dari yang selama ini ia tahu. Pasalnya, sejauh yang dia tahu, Tiara tak pernah berdekatan dengan pria manapun.

"Oh, iya. Kenalkan, ini adikku, Anike." Tiara tiba-tiba menyuruh Anike bersalaman dengan kekasihnya itu, “Dek, ini pacar Teteh. Gama namanya.”

"Salam kenal, adik kakak sama-sama cantik, ya," sanjung pria itu basa-basi.

"Bedanya dia pengangguran, sedangkan aku tidak," ketus sang kakak.

"Pengangguran? Wah, kebetulan ini! Kudengar, bos besar di perusahaan tempatku bekerja sedang membutuhkan asisten pribadi."

"Oh, ya?" seru Anike dan Tiara secara bersamaan.

"Sebentar." Gama merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah kartu nama. "Ini nama dan alamat bosku," ujarnya seraya menyerahkan kartu itu pada Anike.

"Carlen Meier?" Lirih Anike mengeja nama yang tertera di kartu tersebut. "Seperti bukan nama orang Indonesia."

"Memang. Dia pria asli Jerman. Namun, Tuan Meier sudah belasan tahun tinggal di Indonesia. Dia seorang pebisnis handal, karena ditempa oleh pengalaman selama bertahun-tahun. Perusahaannya di sini banyak sekali. Yang paling besar adalah perusahaan otomotif, tempatku bekerja sekarang," tutur Gama panjang lebar.

"Wah ...." Anike begitu takjub dengan penjelasan kekasih kakaknya itu.

"Ya, sudah! Tunggu apa lagi? Mumpung kamu sudah rapi, surat lamaran juga sudah siap. Cepat datangi itu alamat kantornya," desak Tiara tak sabar.

"Eh, tunggu, tunggu!" cegah Gama saat Anike berjalan melewatinya. "Sepertinya untuk lowongan asisten pribadi ini, wawancaranya khusus diadakan di rumah Tuan Meier dimulai hari ini jam 9 pagi."

"Hah?"

"Serius." Pria itu mengeluarkan sebuah kartu lain dari dalam sakunya. "Kamu bisa datang ke alamat ini. Kebetulan, kartu ini khusus diberikan kepada pegawai pilihan Tuan Meier. Tidak semua orang memilikinya," bangganya.

"Apa tidak masalah kalau aku langsung ke sini?" Anike kembali ragu.

"Tenang saja. Kamu cukup mengatakan kalau sudah mendapat rekomendasi dari Gama Bagaskara."

"Oke, baiklah. Aku berangkat, ya," pamit Anike penuh semangat. Dia kemudian memesan taksi online ke alamat yang dituju.

Setengah jam kemudian, kendaraan yang dia tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan mewah lima lantai dengan pintu gerbang besi hitam yang terlihat menjulang.

Anike lalu turun dan mendekat ke kamera yang terpasang di tembok dekat pintu gerbang tadi. Dia melambai sambil tersenyum.

“Selamat pagi. Saya ingin menemui Tuan Carlen Meier untuk melakukan wawancara,” ucap Anike pada alat khusus yang terpasang di sana.

“Apa anda sudah membuat janji sebelumnya, Nona?” Terdengar jawaban seorang pria dari alat tadi.

“Um … belum.” Anike meringis kecil. Dia merasa begitu bodoh. “Saya mendapat rekomendasi dari Tuan Gama Bagaskara. Katanya, Tuan Carlen Meier sedang membutuhkan asisten pribadi,” paparnya lagi.

“Gama Bagaskara? Baiklah. Kalau boleh tahu, siapa nama anda, Nona?” Tiba-tiba, terdengar kembali suara pria tadi.

“Nama saya Anike Nareswari. Usia saya dua puluh lima tahun, saya juga ….” Belum sempat Anike melanjutkan perkenalan dirinya, pintu gerbang sudah lebih dulu terbuka secara otomatis. Membuat Anike terperangah.

“Wow!” gumamnya takjub dengan sorot penuh kekaguman.

“Silakan masuk!”

Anike pun melangkah masuk. Beberapa meter di depannya, telah berdiri seorang pria bersetelan rapi. Pria itu mengangguk sopan, lalu mengarahkan tangannya agar Anike mengikuti.

“Apakah anda yang tadi berbicara pada saya, Pak?” tanya Anike sambil terus mengekor langkah tegap si pria.

“Iya, Nona. Saya adalah asisten pribadi Tuan Meier.”  

Anike seketika menghentikan langkah dan menatap ragu. “Jika Tuan Meier sudah memiliki asisten pribadi, untuk apa dia mencari lagi?”

Pria itu menyunggingkan senyum sopan. “Aku memang asisten pribadi Tuan Meier. Namun, aku hanya mengurusi beberapa hal yang berkaitan langsung dengan perusahaan,” jelasnya.

“Lalu, apa tugas saya?” tanya Anike kian penasaran.

“Setelah Anda bertemu secara langsung dengan Tuan Meier, dia akan memberitahu tugas apa saja yang harus Anda lakukan sebagai asisten pribadinya di rumah.”

Anike pun mengangguk dan mengikuti langkah pria di depannya, hingga akhirnya tiba di depan ruang kerja Tuan Maier.

Asisten Tuan Maier itu masuk terlebih dahulu, sementara ia menunggu di luar.

Perempuan itu mulai gugup. Anike membayangkan bagaimana sosok Carlen Meier yang akan ditemui sesaat lagi. “Seorang CEO pasti sudah tua. Anggap saja dia sebagai paman, ayah, atau ….”

“Nona Anike.” Suara sang asisten membuat Anike langsung menghentikan racauan pelannya. “Silakan masuk. Tuan Meier sudah menunggumu untuk melakukan wawancara.”

Anike pun mengangguk dan mulai memasuki ruangan sedikit kikuk.

Di dalam ruangan yang didominasi kayu, tampak seorang pria berambut cokelat dalam balutan kaos hitam.

Anike tertegun untuk sesaat. Bayangannya akan sosok pria tua bertubuh tambun memudar seketika.

Carlen terlihat sangat jauh lebih tampan dan menawan dari yang sudah dia bayangkan.

“Selamat pagi, Tuan Meier,” sapa Anike, hormat.

Gadis itu memilih berdiri di dekat meja kerja, tempat sang pemilik bangunan megah itu tengah sibuk dengan beberapa catatan.

Tak lama, Carlen menghentikan aktivitasnya.

Pria itu mengalihkan perhatian kepada Anike, hingga perempuan itu dapat merasakan sepasang mata abu-abunya menatap lekat dari ujung kaki hingga ujung rambut Anike.

“Selamat pagi,” balas pria itu–terdengar penuh wibawa, “sebutkan namamu.”

“Nama saya Anike Nareswari. Usia saya dua puluh lima tahun. Saya merupakan lulusan Manajemen Bisnis. dan sempat bekerja sebagai sales di dealer mobil. Anda bisa membaca dan memeriksa CV saya, Tuan.”

Anike menyodorkan map yang dia bawa ke hadapan Carlen. Namun, pria berusia 43 tahun itu tak segera memeriksa map yang ada di hadapannya. Dia justru memperhatikan Anike.

Gadis cantik itu mematung.

Ia tak tahu apa yang salah dari diri atau penampilannya, sehingga Carlen terus memandang dengan tatapan tak biasa.

“Baiklah,” ucap pria itu enteng, “sekarang buatkan aku kopi.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Anugerah Terindah

    "Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Kemeja Putih

    "Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Take Her Away

    Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Lamaran Mendadak

    "Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Pesta Kampung

    "Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Dua Sisi

    Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status