Share

Pekerjaan

Keesokan harinya, setelah perut kenyang dan merapikan diri, Anike bersiap mendatangi alamat perusahaan yang dia dapatkan dari situs lowongan kerja.

Namun, baru saja Anike membuka pintu rumah kakaknya, seorang pria bertubuh tegap sudah berdiri di hadapannya.

"Cari siapa, ya?" tanyanya ragu.

"Tiara-nya, ada?"

"Oh, ada." Anike membuka mulut, hendak meneriakkan nama sang kakak. Akan tetapi, segera dia urungkan ketika Tiara lebih dulu muncul.

"Pagi amat, Gam?" sapa Tiara sangat lembut. Anike sampai merinding melihat betapa bedanya sikap sang kakak dari yang selama ini ia tahu. Pasalnya, sejauh yang dia tahu, Tiara tak pernah berdekatan dengan pria manapun.

"Oh, iya. Kenalkan, ini adikku, Anike." Tiara tiba-tiba menyuruh Anike bersalaman dengan kekasihnya itu, “Dek, ini pacar Teteh. Gama namanya.”

"Salam kenal, adik kakak sama-sama cantik, ya," sanjung pria itu basa-basi.

"Bedanya dia pengangguran, sedangkan aku tidak," ketus sang kakak.

"Pengangguran? Wah, kebetulan ini! Kudengar, bos besar di perusahaan tempatku bekerja sedang membutuhkan asisten pribadi."

"Oh, ya?" seru Anike dan Tiara secara bersamaan.

"Sebentar." Gama merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah kartu nama. "Ini nama dan alamat bosku," ujarnya seraya menyerahkan kartu itu pada Anike.

"Carlen Meier?" Lirih Anike mengeja nama yang tertera di kartu tersebut. "Seperti bukan nama orang Indonesia."

"Memang. Dia pria asli Jerman. Namun, Tuan Meier sudah belasan tahun tinggal di Indonesia. Dia seorang pebisnis handal, karena ditempa oleh pengalaman selama bertahun-tahun. Perusahaannya di sini banyak sekali. Yang paling besar adalah perusahaan otomotif, tempatku bekerja sekarang," tutur Gama panjang lebar.

"Wah ...." Anike begitu takjub dengan penjelasan kekasih kakaknya itu.

"Ya, sudah! Tunggu apa lagi? Mumpung kamu sudah rapi, surat lamaran juga sudah siap. Cepat datangi itu alamat kantornya," desak Tiara tak sabar.

"Eh, tunggu, tunggu!" cegah Gama saat Anike berjalan melewatinya. "Sepertinya untuk lowongan asisten pribadi ini, wawancaranya khusus diadakan di rumah Tuan Meier dimulai hari ini jam 9 pagi."

"Hah?"

"Serius." Pria itu mengeluarkan sebuah kartu lain dari dalam sakunya. "Kamu bisa datang ke alamat ini. Kebetulan, kartu ini khusus diberikan kepada pegawai pilihan Tuan Meier. Tidak semua orang memilikinya," bangganya.

"Apa tidak masalah kalau aku langsung ke sini?" Anike kembali ragu.

"Tenang saja. Kamu cukup mengatakan kalau sudah mendapat rekomendasi dari Gama Bagaskara."

"Oke, baiklah. Aku berangkat, ya," pamit Anike penuh semangat. Dia kemudian memesan taksi online ke alamat yang dituju.

Setengah jam kemudian, kendaraan yang dia tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan mewah lima lantai dengan pintu gerbang besi hitam yang terlihat menjulang.

Anike lalu turun dan mendekat ke kamera yang terpasang di tembok dekat pintu gerbang tadi. Dia melambai sambil tersenyum.

“Selamat pagi. Saya ingin menemui Tuan Carlen Meier untuk melakukan wawancara,” ucap Anike pada alat khusus yang terpasang di sana.

“Apa anda sudah membuat janji sebelumnya, Nona?” Terdengar jawaban seorang pria dari alat tadi.

“Um … belum.” Anike meringis kecil. Dia merasa begitu bodoh. “Saya mendapat rekomendasi dari Tuan Gama Bagaskara. Katanya, Tuan Carlen Meier sedang membutuhkan asisten pribadi,” paparnya lagi.

“Gama Bagaskara? Baiklah. Kalau boleh tahu, siapa nama anda, Nona?” Tiba-tiba, terdengar kembali suara pria tadi.

“Nama saya Anike Nareswari. Usia saya dua puluh lima tahun, saya juga ….” Belum sempat Anike melanjutkan perkenalan dirinya, pintu gerbang sudah lebih dulu terbuka secara otomatis. Membuat Anike terperangah.

“Wow!” gumamnya takjub dengan sorot penuh kekaguman.

“Silakan masuk!”

Anike pun melangkah masuk. Beberapa meter di depannya, telah berdiri seorang pria bersetelan rapi. Pria itu mengangguk sopan, lalu mengarahkan tangannya agar Anike mengikuti.

“Apakah anda yang tadi berbicara pada saya, Pak?” tanya Anike sambil terus mengekor langkah tegap si pria.

“Iya, Nona. Saya adalah asisten pribadi Tuan Meier.”  

Anike seketika menghentikan langkah dan menatap ragu. “Jika Tuan Meier sudah memiliki asisten pribadi, untuk apa dia mencari lagi?”

Pria itu menyunggingkan senyum sopan. “Aku memang asisten pribadi Tuan Meier. Namun, aku hanya mengurusi beberapa hal yang berkaitan langsung dengan perusahaan,” jelasnya.

“Lalu, apa tugas saya?” tanya Anike kian penasaran.

“Setelah Anda bertemu secara langsung dengan Tuan Meier, dia akan memberitahu tugas apa saja yang harus Anda lakukan sebagai asisten pribadinya di rumah.”

Anike pun mengangguk dan mengikuti langkah pria di depannya, hingga akhirnya tiba di depan ruang kerja Tuan Maier.

Asisten Tuan Maier itu masuk terlebih dahulu, sementara ia menunggu di luar.

Perempuan itu mulai gugup. Anike membayangkan bagaimana sosok Carlen Meier yang akan ditemui sesaat lagi. “Seorang CEO pasti sudah tua. Anggap saja dia sebagai paman, ayah, atau ….”

“Nona Anike.” Suara sang asisten membuat Anike langsung menghentikan racauan pelannya. “Silakan masuk. Tuan Meier sudah menunggumu untuk melakukan wawancara.”

Anike pun mengangguk dan mulai memasuki ruangan sedikit kikuk.

Di dalam ruangan yang didominasi kayu, tampak seorang pria berambut cokelat dalam balutan kaos hitam.

Anike tertegun untuk sesaat. Bayangannya akan sosok pria tua bertubuh tambun memudar seketika.

Carlen terlihat sangat jauh lebih tampan dan menawan dari yang sudah dia bayangkan.

“Selamat pagi, Tuan Meier,” sapa Anike, hormat.

Gadis itu memilih berdiri di dekat meja kerja, tempat sang pemilik bangunan megah itu tengah sibuk dengan beberapa catatan.

Tak lama, Carlen menghentikan aktivitasnya.

Pria itu mengalihkan perhatian kepada Anike, hingga perempuan itu dapat merasakan sepasang mata abu-abunya menatap lekat dari ujung kaki hingga ujung rambut Anike.

“Selamat pagi,” balas pria itu–terdengar penuh wibawa, “sebutkan namamu.”

“Nama saya Anike Nareswari. Usia saya dua puluh lima tahun. Saya merupakan lulusan Manajemen Bisnis. dan sempat bekerja sebagai sales di dealer mobil. Anda bisa membaca dan memeriksa CV saya, Tuan.”

Anike menyodorkan map yang dia bawa ke hadapan Carlen. Namun, pria berusia 43 tahun itu tak segera memeriksa map yang ada di hadapannya. Dia justru memperhatikan Anike.

Gadis cantik itu mematung.

Ia tak tahu apa yang salah dari diri atau penampilannya, sehingga Carlen terus memandang dengan tatapan tak biasa.

“Baiklah,” ucap pria itu enteng, “sekarang buatkan aku kopi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status