Hari terus berjalan, semua masih terasa sama, setiap berpapasan dengan Ustadz Mirza, masih ada rasa cemas di hatiku, karena sikapnya tetap terlihat sinis, datar, dan angkuh padaku.
Ah, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja, Ustadz Mirza adalah laki-laki yang sibuk, dia tidak hanya menjadi direktur pendidikan di sekolahku, tapi dia juga seorang konsultan, motivator, serta dosen dibeberapa universitas negeri dan swasta, jadi wajar kalau sikapnya seperti itu kepada bawahannya, karena memang dia adalah orang yang sibuk.
Ya, aku yakin pemikiran burukku tentang Ustadz Mirza adalah keliru, karena mungkin saat ini aku hanya terlalu terbawa rasa saat bertemu ataupun melihatnya.
Segera aku tepis prasangka negatifku terhadap atasanku tersebut, aku menghelan nafas panjang, dan kembali memotivasi diriku, agar aku tetap bersemangat, dan lebih bersemangat dalam bekerja, karena jujur beberapa hari ini hatiku terasa tumbang, jauh dari semangat, semenjak kehadiran Ustadz Mirza s
Saat ini aku sudah berada di ruang IGD sebuah rumah sakit umum, seorang perawat telah selesai memasang jarum infus di tanganku."Alhamdulillah sudah sadar!" kata wanita berbaju putih itu sembari tersenyum. "Kamarnya sudah siap, sebentar lagi mbak akan dipindahkan ke kamar rawat inap ya!" katanya dengan tersenyum.Tak lama setelah itu dua orang perawat laki-laki datang menghampiriku dan mendorong bad rumah sakit yang aku tiduri masuk ke dalam kamar pasien.Kulihat perawat perempuan yang tadi menyapaku juga mengikuti kami. Dan setelah aku sampai di kamar pasien, dia kembali memeriksa selang infus."Saya suntik dulu ya mbak!" katanya sembari menyuntikkan cairan lewat selang infus."Suster maaf, siapa ya yang bawa saya kesini?" tanyaku penasaran."Oooh, tadi katanya embak pingsan di tempat kerja, terus atasan dan ada beberapa teman mbak yang ngantar mbak kesini." Jelasnya sembari terus menyuntikkan cairan obat itu ke dalam selang infusku.
Keesokan harinya aku merasa lebih sehat, dan aku putuskan untuk kembali bekerja.Seperti biasa aku selalu datang lebih awal dari guru-guru yang lain.Aku lihat di halaman sekolah mobil direktur sudah terparkir di sana. Laki-laki yang baru keluar dari mobilnya itu tak sengaja melihat aku yang baru masuk gerbang sekolah. Dan kulihat setelah memperhatikanku dari kejauhan dia mengalihkan pandangannya seraya melangkah menuju gedung yang tidak jauh dari tempat mobilnya di parkir.Lagi-lagi aku mulai terbawa rasa, laki-laki itu tampak angkuh saat melihatku, apakah dia menyimpan sakit hati padaku karena penolakanku beberapa tahun yang lalu. Ah, pasti ini hanya pemikiranku saja, karena tidak mungkin laki-laki sehebat dia tidak bisa move on dari wanita biasa saja seperti diriku.Kutepis perasaanku tentang hal itu, dan kemudian aku lanjutkan langkah menuju ruang guru untuk meletakkan tas dan juga buku-buku yang aku bawa.Beberapa menit kemudian bel masuk berb
Malam ini aku sulit sekali memejamkan mata, jujur aku masih terngiang pernyataan bapak direktur yang tadi sore sempat diucapkannya padaku."Dia ingin menghitbahku?" hatiku penuh tanda tanya. "Tidak mungkin. Waktu itu dia pernah memandangku rendah karena aku ini seorang janda, jadi mana mungkin dia hendak menghitbahku, pasti dia mengatakan hal itu karena ingin mempermainkanku saja." Aku mulai menjawab sendiri pertanyaan yang ada dalam hatiku.Aku yakin Ustadz Mirza atau pak direktur sedang bercanda saat mengatakan hal itu padaku.Keesokan harinya, ketika sore tiba, disaat aku pulang bekerja, tampak sebuah mobil sedan hitam mengikuti langkahku."Tiiiin!!" kudengar suara klakson mobil begitu keras.Aku menepi dan menoleh ke arah mobil yang berhenti di sebelahku tersebut."Assalamualaikum!" kudengar suara seorang laki-laki beruluk salam dari dalam mobil yang jendela kacanya baru saja dibuka."Waalaikum salam," sahutku."Ayo masuk!"
Hari itupun berlalu. Pagi ini aku kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Dan di siang harinya saat jam istirahat, aku sempatkan diri untuk menemui Ustadzah Annisa yang masih berada di dalam kelas."Aku minta maaf, aku sudah menceritakan hal itu pada pak direktur!"Ustadzah Annisa meminta maaf padaku saat aku meminta penjelasannya tentang masa laluku yang diketahui oleh Ustadz Mirza."Aku yakin Allah mengirim aku untuk mengatakan semua itu pada pak direktur, agar dia tidak lagi berprasangka buruk pada ustadzah," jelas Ustadzah Annisa kemudian."Tapi seharusnya ustadzah tidak perlu mengatakannya," jawabku."Ustadzah, semuanya sudah terjadi, lagi pula pasti Allah juga yang menggerakkan hatiku untuk mengatakan semuanya pada pak direktur. Dan terbukti ada hikmah dari semua itu kan? Pak direktur telah berubah baik pada ustadzah."Kulihat Ustadzah Annisa mengatakannya dengan senyum menggodaku."Ustadzah Alifah! Ditunggu Ibu Faidah di kan
Semalam aku berpikir tentang permintaan orang tua Ustadz Mirza. Aku bersyukur aku telah mengajukan surut resign dari sekolah itu. Tinggal menunggu penggantiku, dan kemudian aku bisa pergi.Andai saja aku tidak memiliki kontrak dengan lembaga mungkin semua akan lebih mudah, aku tidak perlu menunggu, dan bisa langsung keluar dari sekolah itu.Hari ini aku berangkat bekerja dengan langka berat, dan semangat yang sangat kurang."Ustadzah Alifah! Dipanggil kepala sekolah!" kata Ustadzah Annisa saat aku baru masuk ruang guru.Aku pun bergegas masuk ke dalam ruang kepala sekolah setelah meletakkan tasku."Ustadzah! Nanti sore sepulang mengajar, Ustadzah diminta untuk ke rumah Ibu Faidah!""Untuk apa Ustadz?""Ibu Faidah butuh guru les untuk cucunya yang masih kelas satu SD, dan beliau memilih Ustadzah untuk menjadi guru les privat cucunya!""Saya tidak bisa, Ustadz! Lagi pula saya juga mau resign dari sekolah ini! Jadi minta guru yang
Hari telah berganti. Aku masih memikirkan pertemuanku dengan Zafira di rumah Ustadz Mirza kemarin.Ya Allah. Mungkinkah Zafira malu memperkenalkan aku pada keluarga calon tunangannya.Aku sadari siapa aku. Hanya seorang guru di yayasan milik calon mertuanya. Mungkin dia malu mengenalkan aku pada mereka, karena status sosial kita yang berbeda.Zafira adalah putri orang kaya. Sedangkan aku, hanya anak seorang janda pemilik toko kelontong, yang pernah berhutang pada suami kakaknya."Hmmmh!"Aku membuang napas keras, berusaha menepis prasangka burukku terhadap Zafira. Aku yakin, Zafira pasti punya alasan yg kuat kenapa tidak mengenalkan aku pada mereka. Dan yang pasti alasan itu bukan karena dia malu mengakui aku sebagai saudaranya.Pagi ini rasanya aku enggan melangkahkan kaki ke sekolah tempatku mengajar. Tapi karena masih memiliki kewajiban, akhirnya dengan la
Setelah keluar dari ruang staf pimpinan yayasan, aku bergegas menuju ruang guru, untuk merapikan barang-barangku.Kulihat semua mata tertuju padaku. Sepertinya semua yang ada di ruangan itu sudah tahu kenapa aku dikeluarkan dari sekolah ini. Kerena salah satu di antara mereka sudah ada yang mulai mencibirku."Untung saja sudah ketahuan. Bayangkan saja kalau masih tetap bekerja di sini? Bisa-bisa suami kita diambil," celetuk salah seorang teman sejawat memancing emosiku.Aku yang awalnya sibuk merapikan buku, spontan mendobrak meja kerjaku."Ustadzah Naya? Memang saya pernah menggoda suami Anda?"Aku menoleh ke arahnya dan menatap matanya dengan tajam.Suara tanyaku yang keras sontak membuat mata seisi ruangan tertuju padaku."Pernah saya menggoda suami ustadzah-ustadzah yang ada di sini? Pernah saya menggoda ustadz-ustadz yangng ada di ya
Saat ini mobil Pak Direktur sudah ada di depan kostku. Laki-laki itu membantuku mengeluarkan barang-barang dari dalam mobilnya.Kulihat kemudian dia mengangkat telepon."Cepat pulang, umma mau bicara!'Dia mengeraskan audio saat mengangkat teleponnya itu hingga aku mendengarnya.Setelah itu aku lihat dia menutup telepon tanpa menjawabnya.Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku sudah membuat laki-laki yang biasa aku panggil Ustadz Mirza itu bertengkar dengan orang tuanya."Bapak pulang saja!" kataku kemudian padanya."Mmmm...."Dia mengangguk."Aku akan carikan pekerjaan yang baru buat kamu," katanya."Tidak usah Pak. Saya berencana untuk pulang kampung," sahutku."Kapan kamu mau pulang?""In sha Allah, besok pagi.""Aku antar!""Tidak usah, terima kasih banyak!" sahutku lembut menolak keinginannya untuk mengantarku.Akhirnya setelah percakapan itu, Ustadz Mirz