Share

Part 4

Author: Anis _Mo
last update Last Updated: 2021-09-24 20:21:39

Tidak terasa air mataku semakin tumpah, ibu memintaku untuk pergi dari rumah ini saat acara pernikahanku dengan laki-laki dewasa yang dia pilihkan akan berlangsung.

Aku berfikir, bagaimana ibu menanggung hutangnya jika aku benar-benar pergi. Terlebih, bagaimana malu yang akan ibu dapatkan di hadapan keluarga Gus Ibrahim. Memikirkan hal itu aku semakin tidak bisa berhenti menangis.

Saat ini aku masih bersembunyi di kamar, aku menunggu waktu yang tepat bagaimana caranya aku bisa keluar dari pintu belakang dan lari dari rumah ini.

Kudengar samar-samar suara di luar kamarku, kalau acara akan segera di mulai. Wali nikah, saksi, dan keluarga dekat yang akan menyaksikan pernikahanku dengan Gus Ibrahim juga telah siap menyaksikan ijab qobul yang akan berlangsung.

"Maaf! Alifah tidak ada di kamarnya!" kudengar ibu mengatakan hal itu pada semua tamu.

Jantungku tiba-tiba berdetak kencang, bukan takut ketahuan karena akan meninggalkan pernikahan ini, melainkan karena memikirkan ibu. Entah apa yang akan terjadi pada ibu jika pernikahan ini gagal, hutang ibu, rasa malu ibu, gunjingan keluarga, dan gunjingan semua orang.

Memikirkan semuanya semakin membuat pikiranku kacau.

Entah benar atau salah, aku mencoba mengambil sikap. Berlahan kuhapus air mataku, dan kuberanikan diri untuk keluar dari kamar.

"Maaf tadi aku masih ke kamar mandi, Bu!" kataku pada ibu yang saat itu sedang berusaha menjelaskan pada semua tamu kalau aku menghilang dari kamar.

"Alifah?" gumam ibu lirih dengan mata tajam menatapku.

Segera kugenggam tangan ibu, sembari mengangguk tanda ikhlas dengan pernikahan yang telah ibu rencanakan.

Tidak lama setelah itu kujalani sebuah ritual pernikahan, seperti apa yang telah ibu direncanakan, sungguh semua terasa seperti mimpi, rasanya separuh nyawaku melayang, aku terjatuh pingsang saat semua orang menyatakan kata "Sah" setelah ijab kabul dari mulut Gus Ibrahim terucapkan.

Aku adalah istri kedua dari suami kakak sepupuku, aku malu, dan rasanya aku tak sanggup menanggung semua itu, hingga aku terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.

Saat terbangun aku sudah berada di dalam kamar pengantin, ditemani oleh ibu dan saudara sepupuku yang tidak lain adalah putri Paklik Gufron.

"Kenapa kamu tidak pergi?" tanya ibu dengan mengusap-usap kepalaku.

Aku berusaha bangkit dari tempat tidurku.

"Ibu! Aku tidak bisa meninggalkan ibu, dan melihat ibu menanggung semua ini sendirian!" sahutku dengan memeluk ibu yang duduk di sebelahku.

"Maafkan ibu nak!" kata ibu dengan menghapus air mataku.

Tidak lama setelah itu Gus Ibrahim masuk ke dalam kamarku. Dan ibu, berpamitan untuk meninggalkan kami.

Laki-laki itu berlahan duduk di sebelahku, jujur aku merasa canggung dan gelisah saat melihatnya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

"Mmm, Alhamdulillah sudah lebih baik," sahutku.

"Hari ini, aku akan langsung memboyongmu ke rumahku!" katanya.

"Ke rumah Gus Ibrahim dan Mbak Zahra?" tanyaku terperangah.

"Iya, Zahra sudah setuju, dan bibi di rumah juga sudah menyiapkan kamar untuk kamu." 

Mendengar penjelasan Gus Ibrahim jantungku serasa runtuh, aliran darahku naik turun. Bagaimana bisa aku satu rumah dengan Mbak Zahra, dan bagaimana juga perasaan Mbak Zahra. Sungguh aku tidak sanggup memikirkannya.

Akhirnya dengan berat langkah aku meninggalkan rumah, apalagi ibu juga telah mengijinkan aku pergi diboyong oleh Gus Ibrahim. 

Sesak rasanya di dalam dadaku ini, ingin rasanya aku menangis, tapi aku takut jika air mata ini mengalir akan semakin menambah beban bagi ibu. Aku biarkan semuanya berjalan seperti air yang mengalir, meski rasanya aku tidak sanggup menanggung semuanya.

Dan kini, aku sudah berada di rumah Gus Ibrahim, kulihat Mbak Zahra yang sudah tiba terlebih dahulu di rumah menyambut kedatangan kami ditemani oleh beberapa pembantunya.

"Kamarmu di sana!" kata Mbak Zahra dengan tatapan mata sendu, dengan menunjuk kamar yang ada di sebelah timur ruangan rumah ini.

Aku mengangguk sembari tersenyum dan meraih tangannya untuk aku cium. Namun, Mbak Zahra menarik tangannya saat aku ingin menciumnya.

"Bik! Tolong antarkan Ning Alifah ke kamarnya!" kata Mbak Zahra kemudian pada salah-salah pembantunya.

Dibawakannya tasku oleh wanita separuh baya itu.

"Biar saya bawa sendiri Bik!" kataku dengan tersenyum padanya.

"Nggak papa, biar bibik yang bawa, Ning!" sahut bibik ramah.

Aku pun mengangguk menerima bantuan bibik.

Tidak terasa waktu berlalu, dan malam menjelang.

Jujur aku merasa malam ini seperti mimpi, aku berada di dalam kamar yang asing, sebuah kamar pengantin dengan hiasan bunga-bunga yang sangat megah dan indah. Namun tetap saja, semua membuat gundah hatiku. Aku tidak bahagia, sungguh aku tidak bahagia meski telah berada di dalam rumah besar nan mewah, disebuah kamar yang bersih, penuh hiasan, wangi nan indah.

"Dreeeeeet!" kudengar handphone dalam tasku bergetar.

Bergegas aku membuka tas dan mengangkat telepon itu.

"Assalamualaikum!" aku beruluk salam saat mengangkatnya.

"Waalaikum salam!" sahut seseorang yang meneleponku. "Alifah! Aku Ustadz Mirza."

Masya Allah ternyata Ustadz Mirza yang meneleponku. Aku memang tidak pernah menyimpan kontak teleponnya di handphoneku.

"Iya Ustadz, ada apa?" tanyaku.

"Seperti yang pernah aku katakan, aku ingin mengkhitbahmu, dan keluargaku Insya Allah, besok akan ke rumahmu," kata Ustadz Mirza.

Tidak terasa air mataku berlinang saat mendengar ungkapan Ustadz Mirza, entah kenapa, yang pasti hatiku terasa runtuh saat mendengarnya.

"Alifah! Alifah!" serunya.

Seketika aku tersadar dari lamunanku.

"Iya, Ustadz!" sahutku.

"Mmm, bagaimana? Kamu bersedia kan, menerima kedatangan keluargaku yang ingin bersilaturahmi?" tanyanya kemudian.

"Mmm," aku masih berfikir, bagaimana caranya mengatakan pada Ustadz Mirza tentang keadaanku saat ini.

"Ustadz, sebelumnya aku minta maaf! Aku tidak bisa, orang tuaku sudah memilihkan jodoh untukku. Dan saat ini aku sudah menikah. Aku minta maaf!" jelasku padanya dengan suara lembut tanpa semangat. "Assalamualaikum!" salamku kemudian sembari menutup telepon darinya.

Ya Allah, mungkin saat ini aku telah melukai perasaan Ustadz Mirza, bahkan mungkin perasaan keluarganya juga, sungguh rasanya batin terasa sakit, terasa sesak, namun aku tak sanggup mengungkapkannya.

Hanya air mata, dan jutaan istighfar yang aku baca, agar hatiku menjadi lebih tenang, karena saat ini, hanya Allah tempat aku mencurahkan segala sakit dan luka yang mencengkeram kuat di dadaku ini.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Madu   Bab 35 (Periksa ke Dokter)

    Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta

  • Menjadi Madu   Bab 34 (Sikap Mertua)

    Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele

  • Menjadi Madu   Bab 33 (Pernikahan)

    Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh

  • Menjadi Madu   Bab 32 (Rencana Pernikahan)

    Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena

  • Menjadi Madu   Bab 31 (Dilamar)

    Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang

  • Menjadi Madu   Bab 30

    Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status