Share

Part 4

Tidak terasa air mataku semakin tumpah, ibu memintaku untuk pergi dari rumah ini saat acara pernikahanku dengan laki-laki dewasa yang dia pilihkan akan berlangsung.

Aku berfikir, bagaimana ibu menanggung hutangnya jika aku benar-benar pergi. Terlebih, bagaimana malu yang akan ibu dapatkan di hadapan keluarga Gus Ibrahim. Memikirkan hal itu aku semakin tidak bisa berhenti menangis.

Saat ini aku masih bersembunyi di kamar, aku menunggu waktu yang tepat bagaimana caranya aku bisa keluar dari pintu belakang dan lari dari rumah ini.

Kudengar samar-samar suara di luar kamarku, kalau acara akan segera di mulai. Wali nikah, saksi, dan keluarga dekat yang akan menyaksikan pernikahanku dengan Gus Ibrahim juga telah siap menyaksikan ijab qobul yang akan berlangsung.

"Maaf! Alifah tidak ada di kamarnya!" kudengar ibu mengatakan hal itu pada semua tamu.

Jantungku tiba-tiba berdetak kencang, bukan takut ketahuan karena akan meninggalkan pernikahan ini, melainkan karena memikirkan ibu. Entah apa yang akan terjadi pada ibu jika pernikahan ini gagal, hutang ibu, rasa malu ibu, gunjingan keluarga, dan gunjingan semua orang.

Memikirkan semuanya semakin membuat pikiranku kacau.

Entah benar atau salah, aku mencoba mengambil sikap. Berlahan kuhapus air mataku, dan kuberanikan diri untuk keluar dari kamar.

"Maaf tadi aku masih ke kamar mandi, Bu!" kataku pada ibu yang saat itu sedang berusaha menjelaskan pada semua tamu kalau aku menghilang dari kamar.

"Alifah?" gumam ibu lirih dengan mata tajam menatapku.

Segera kugenggam tangan ibu, sembari mengangguk tanda ikhlas dengan pernikahan yang telah ibu rencanakan.

Tidak lama setelah itu kujalani sebuah ritual pernikahan, seperti apa yang telah ibu direncanakan, sungguh semua terasa seperti mimpi, rasanya separuh nyawaku melayang, aku terjatuh pingsang saat semua orang menyatakan kata "Sah" setelah ijab kabul dari mulut Gus Ibrahim terucapkan.

Aku adalah istri kedua dari suami kakak sepupuku, aku malu, dan rasanya aku tak sanggup menanggung semua itu, hingga aku terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.

Saat terbangun aku sudah berada di dalam kamar pengantin, ditemani oleh ibu dan saudara sepupuku yang tidak lain adalah putri Paklik Gufron.

"Kenapa kamu tidak pergi?" tanya ibu dengan mengusap-usap kepalaku.

Aku berusaha bangkit dari tempat tidurku.

"Ibu! Aku tidak bisa meninggalkan ibu, dan melihat ibu menanggung semua ini sendirian!" sahutku dengan memeluk ibu yang duduk di sebelahku.

"Maafkan ibu nak!" kata ibu dengan menghapus air mataku.

Tidak lama setelah itu Gus Ibrahim masuk ke dalam kamarku. Dan ibu, berpamitan untuk meninggalkan kami.

Laki-laki itu berlahan duduk di sebelahku, jujur aku merasa canggung dan gelisah saat melihatnya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

"Mmm, Alhamdulillah sudah lebih baik," sahutku.

"Hari ini, aku akan langsung memboyongmu ke rumahku!" katanya.

"Ke rumah Gus Ibrahim dan Mbak Zahra?" tanyaku terperangah.

"Iya, Zahra sudah setuju, dan bibi di rumah juga sudah menyiapkan kamar untuk kamu." 

Mendengar penjelasan Gus Ibrahim jantungku serasa runtuh, aliran darahku naik turun. Bagaimana bisa aku satu rumah dengan Mbak Zahra, dan bagaimana juga perasaan Mbak Zahra. Sungguh aku tidak sanggup memikirkannya.

Akhirnya dengan berat langkah aku meninggalkan rumah, apalagi ibu juga telah mengijinkan aku pergi diboyong oleh Gus Ibrahim. 

Sesak rasanya di dalam dadaku ini, ingin rasanya aku menangis, tapi aku takut jika air mata ini mengalir akan semakin menambah beban bagi ibu. Aku biarkan semuanya berjalan seperti air yang mengalir, meski rasanya aku tidak sanggup menanggung semuanya.

Dan kini, aku sudah berada di rumah Gus Ibrahim, kulihat Mbak Zahra yang sudah tiba terlebih dahulu di rumah menyambut kedatangan kami ditemani oleh beberapa pembantunya.

"Kamarmu di sana!" kata Mbak Zahra dengan tatapan mata sendu, dengan menunjuk kamar yang ada di sebelah timur ruangan rumah ini.

Aku mengangguk sembari tersenyum dan meraih tangannya untuk aku cium. Namun, Mbak Zahra menarik tangannya saat aku ingin menciumnya.

"Bik! Tolong antarkan Ning Alifah ke kamarnya!" kata Mbak Zahra kemudian pada salah-salah pembantunya.

Dibawakannya tasku oleh wanita separuh baya itu.

"Biar saya bawa sendiri Bik!" kataku dengan tersenyum padanya.

"Nggak papa, biar bibik yang bawa, Ning!" sahut bibik ramah.

Aku pun mengangguk menerima bantuan bibik.

Tidak terasa waktu berlalu, dan malam menjelang.

Jujur aku merasa malam ini seperti mimpi, aku berada di dalam kamar yang asing, sebuah kamar pengantin dengan hiasan bunga-bunga yang sangat megah dan indah. Namun tetap saja, semua membuat gundah hatiku. Aku tidak bahagia, sungguh aku tidak bahagia meski telah berada di dalam rumah besar nan mewah, disebuah kamar yang bersih, penuh hiasan, wangi nan indah.

"Dreeeeeet!" kudengar handphone dalam tasku bergetar.

Bergegas aku membuka tas dan mengangkat telepon itu.

"Assalamualaikum!" aku beruluk salam saat mengangkatnya.

"Waalaikum salam!" sahut seseorang yang meneleponku. "Alifah! Aku Ustadz Mirza."

Masya Allah ternyata Ustadz Mirza yang meneleponku. Aku memang tidak pernah menyimpan kontak teleponnya di handphoneku.

"Iya Ustadz, ada apa?" tanyaku.

"Seperti yang pernah aku katakan, aku ingin mengkhitbahmu, dan keluargaku Insya Allah, besok akan ke rumahmu," kata Ustadz Mirza.

Tidak terasa air mataku berlinang saat mendengar ungkapan Ustadz Mirza, entah kenapa, yang pasti hatiku terasa runtuh saat mendengarnya.

"Alifah! Alifah!" serunya.

Seketika aku tersadar dari lamunanku.

"Iya, Ustadz!" sahutku.

"Mmm, bagaimana? Kamu bersedia kan, menerima kedatangan keluargaku yang ingin bersilaturahmi?" tanyanya kemudian.

"Mmm," aku masih berfikir, bagaimana caranya mengatakan pada Ustadz Mirza tentang keadaanku saat ini.

"Ustadz, sebelumnya aku minta maaf! Aku tidak bisa, orang tuaku sudah memilihkan jodoh untukku. Dan saat ini aku sudah menikah. Aku minta maaf!" jelasku padanya dengan suara lembut tanpa semangat. "Assalamualaikum!" salamku kemudian sembari menutup telepon darinya.

Ya Allah, mungkin saat ini aku telah melukai perasaan Ustadz Mirza, bahkan mungkin perasaan keluarganya juga, sungguh rasanya batin terasa sakit, terasa sesak, namun aku tak sanggup mengungkapkannya.

Hanya air mata, dan jutaan istighfar yang aku baca, agar hatiku menjadi lebih tenang, karena saat ini, hanya Allah tempat aku mencurahkan segala sakit dan luka yang mencengkeram kuat di dadaku ini.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status