Tidak terasa air mataku semakin tumpah, ibu memintaku untuk pergi dari rumah ini saat acara pernikahanku dengan laki-laki dewasa yang dia pilihkan akan berlangsung.
Aku berfikir, bagaimana ibu menanggung hutangnya jika aku benar-benar pergi. Terlebih, bagaimana malu yang akan ibu dapatkan di hadapan keluarga Gus Ibrahim. Memikirkan hal itu aku semakin tidak bisa berhenti menangis.
Saat ini aku masih bersembunyi di kamar, aku menunggu waktu yang tepat bagaimana caranya aku bisa keluar dari pintu belakang dan lari dari rumah ini.
Kudengar samar-samar suara di luar kamarku, kalau acara akan segera di mulai. Wali nikah, saksi, dan keluarga dekat yang akan menyaksikan pernikahanku dengan Gus Ibrahim juga telah siap menyaksikan ijab qobul yang akan berlangsung.
"Maaf! Alifah tidak ada di kamarnya!" kudengar ibu mengatakan hal itu pada semua tamu.
Jantungku tiba-tiba berdetak kencang, bukan takut ketahuan karena akan meninggalkan pernikahan ini, melainkan karena memikirkan ibu. Entah apa yang akan terjadi pada ibu jika pernikahan ini gagal, hutang ibu, rasa malu ibu, gunjingan keluarga, dan gunjingan semua orang.
Memikirkan semuanya semakin membuat pikiranku kacau.
Entah benar atau salah, aku mencoba mengambil sikap. Berlahan kuhapus air mataku, dan kuberanikan diri untuk keluar dari kamar.
"Maaf tadi aku masih ke kamar mandi, Bu!" kataku pada ibu yang saat itu sedang berusaha menjelaskan pada semua tamu kalau aku menghilang dari kamar.
"Alifah?" gumam ibu lirih dengan mata tajam menatapku.
Segera kugenggam tangan ibu, sembari mengangguk tanda ikhlas dengan pernikahan yang telah ibu rencanakan.
Tidak lama setelah itu kujalani sebuah ritual pernikahan, seperti apa yang telah ibu direncanakan, sungguh semua terasa seperti mimpi, rasanya separuh nyawaku melayang, aku terjatuh pingsang saat semua orang menyatakan kata "Sah" setelah ijab kabul dari mulut Gus Ibrahim terucapkan.
Aku adalah istri kedua dari suami kakak sepupuku, aku malu, dan rasanya aku tak sanggup menanggung semua itu, hingga aku terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.
Saat terbangun aku sudah berada di dalam kamar pengantin, ditemani oleh ibu dan saudara sepupuku yang tidak lain adalah putri Paklik Gufron.
"Kenapa kamu tidak pergi?" tanya ibu dengan mengusap-usap kepalaku.
Aku berusaha bangkit dari tempat tidurku.
"Ibu! Aku tidak bisa meninggalkan ibu, dan melihat ibu menanggung semua ini sendirian!" sahutku dengan memeluk ibu yang duduk di sebelahku.
"Maafkan ibu nak!" kata ibu dengan menghapus air mataku.
Tidak lama setelah itu Gus Ibrahim masuk ke dalam kamarku. Dan ibu, berpamitan untuk meninggalkan kami.
Laki-laki itu berlahan duduk di sebelahku, jujur aku merasa canggung dan gelisah saat melihatnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.
"Mmm, Alhamdulillah sudah lebih baik," sahutku.
"Hari ini, aku akan langsung memboyongmu ke rumahku!" katanya.
"Ke rumah Gus Ibrahim dan Mbak Zahra?" tanyaku terperangah.
"Iya, Zahra sudah setuju, dan bibi di rumah juga sudah menyiapkan kamar untuk kamu."
Mendengar penjelasan Gus Ibrahim jantungku serasa runtuh, aliran darahku naik turun. Bagaimana bisa aku satu rumah dengan Mbak Zahra, dan bagaimana juga perasaan Mbak Zahra. Sungguh aku tidak sanggup memikirkannya.
Akhirnya dengan berat langkah aku meninggalkan rumah, apalagi ibu juga telah mengijinkan aku pergi diboyong oleh Gus Ibrahim.
Sesak rasanya di dalam dadaku ini, ingin rasanya aku menangis, tapi aku takut jika air mata ini mengalir akan semakin menambah beban bagi ibu. Aku biarkan semuanya berjalan seperti air yang mengalir, meski rasanya aku tidak sanggup menanggung semuanya.
Dan kini, aku sudah berada di rumah Gus Ibrahim, kulihat Mbak Zahra yang sudah tiba terlebih dahulu di rumah menyambut kedatangan kami ditemani oleh beberapa pembantunya.
"Kamarmu di sana!" kata Mbak Zahra dengan tatapan mata sendu, dengan menunjuk kamar yang ada di sebelah timur ruangan rumah ini.
Aku mengangguk sembari tersenyum dan meraih tangannya untuk aku cium. Namun, Mbak Zahra menarik tangannya saat aku ingin menciumnya.
"Bik! Tolong antarkan Ning Alifah ke kamarnya!" kata Mbak Zahra kemudian pada salah-salah pembantunya.
Dibawakannya tasku oleh wanita separuh baya itu.
"Biar saya bawa sendiri Bik!" kataku dengan tersenyum padanya.
"Nggak papa, biar bibik yang bawa, Ning!" sahut bibik ramah.
Aku pun mengangguk menerima bantuan bibik.
Tidak terasa waktu berlalu, dan malam menjelang.
Jujur aku merasa malam ini seperti mimpi, aku berada di dalam kamar yang asing, sebuah kamar pengantin dengan hiasan bunga-bunga yang sangat megah dan indah. Namun tetap saja, semua membuat gundah hatiku. Aku tidak bahagia, sungguh aku tidak bahagia meski telah berada di dalam rumah besar nan mewah, disebuah kamar yang bersih, penuh hiasan, wangi nan indah.
"Dreeeeeet!" kudengar handphone dalam tasku bergetar.
Bergegas aku membuka tas dan mengangkat telepon itu.
"Assalamualaikum!" aku beruluk salam saat mengangkatnya.
"Waalaikum salam!" sahut seseorang yang meneleponku. "Alifah! Aku Ustadz Mirza."
Masya Allah ternyata Ustadz Mirza yang meneleponku. Aku memang tidak pernah menyimpan kontak teleponnya di handphoneku.
"Iya Ustadz, ada apa?" tanyaku.
"Seperti yang pernah aku katakan, aku ingin mengkhitbahmu, dan keluargaku Insya Allah, besok akan ke rumahmu," kata Ustadz Mirza.
Tidak terasa air mataku berlinang saat mendengar ungkapan Ustadz Mirza, entah kenapa, yang pasti hatiku terasa runtuh saat mendengarnya.
"Alifah! Alifah!" serunya.
Seketika aku tersadar dari lamunanku.
"Iya, Ustadz!" sahutku.
"Mmm, bagaimana? Kamu bersedia kan, menerima kedatangan keluargaku yang ingin bersilaturahmi?" tanyanya kemudian.
"Mmm," aku masih berfikir, bagaimana caranya mengatakan pada Ustadz Mirza tentang keadaanku saat ini.
"Ustadz, sebelumnya aku minta maaf! Aku tidak bisa, orang tuaku sudah memilihkan jodoh untukku. Dan saat ini aku sudah menikah. Aku minta maaf!" jelasku padanya dengan suara lembut tanpa semangat. "Assalamualaikum!" salamku kemudian sembari menutup telepon darinya.
Ya Allah, mungkin saat ini aku telah melukai perasaan Ustadz Mirza, bahkan mungkin perasaan keluarganya juga, sungguh rasanya batin terasa sakit, terasa sesak, namun aku tak sanggup mengungkapkannya.
Hanya air mata, dan jutaan istighfar yang aku baca, agar hatiku menjadi lebih tenang, karena saat ini, hanya Allah tempat aku mencurahkan segala sakit dan luka yang mencengkeram kuat di dadaku ini.
Bersambung
Kulihat Gus Ibrahim menghampiriku yang saat ini sedang berada di dalam kamar.Laki-laki itu memperhatikan aku yang hanya menunduk di atas ranjang dengan masih berpakaian menutup aurat lengkap.Aku tahu ada kewajiban yang harus aku lakukan sebagai seorang istri, tapi aku adalah gadis remaja dengan usia belasan tahun, yang di dalam hati ini, tidak sudi disentuh oleh laki-laki seumuran Gus Ibrahim yang sama sekali tidak pernah aku sukai."Alifah! Jangan pernah takut denganku! Jika kamu tidak rela aku sentuh, aku juga tidak akan memaksamu!" kata laki-laki itu dengan lembut.Berlahan aku menoleh ke arahnya, ku pandang wajahnya yang tersenyum manis kepadaku. Dan saat itu mulai berlinang air mataku."Istirahatlah! Aku akan keluar dari kamarmu! Jika kamu merasa takut, kunci pintunya dari dalam!" katanya kemudian dengan beranjak pergi meninggalkanku.Aku terperangah melihat sikap Gus Ibrahim yang begitu baik padaku, bahkan dia mengijinkan aku mengunc
Satu bulan sudah aku berada di rumah Gus Ibrahim, rumah yang mewah, lengkap dengan perabotan megah, taman yang asri dan indah, tapi bagaikan rumah di gurun pasir yang gersang bagiku.Satu bulan ini Mbak Zahra bersikap dingin padaku, aku pahami sikapnya, kuposisikan diriku menjadi dirinya, andai saja aku adalah Mbak Zahra mungkin seperti itulah sikap yang akan aku berikan pada maduku yang dibawa oleh suamiku ke dalam rumahnya.Apalagi keberadaanku yang saat ini semakin dekat dengan putra dan putri Mbak Zahra.Sungguh hidupku serasa dilema, rasanya aku ingin lari, tapi aku sadari semua harus aku jalani, hingga tiba waktunya nanti aku pergi. Namun entah kapan itu akan terjadi.Dan malam ini saat aku baru selesai sholat isyak. Kudengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.Berlahan aku bangkit dari sajadah dan membuka pintu kamar.Ternyata Gus Ibrahim sedang berdiri di depan pintu.Segera aku persilahkan beliau untuk masuk ke dalam kama
Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan."Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.
Pagi ini setelah bersiap untuk berangkat ke kampus, aku ikut sarapan bersama keluarga."Bagaimana kuliah kamu Alifah?" tanya Gus Ibrahim padaku."Alhamdulillah, ujian semester satu sudah selesai Gus, ini transkip nilainya sudah keluar," kataku seraya membuka tas yang ada di pangkuanku untuk mengambil transkip nilai yang ada dalam tasku.Kutunjukkan hasil belajarku itu pada Gus Ibrahim, dan kulihat dia pun mempelajari nilai-nilai hasil belajarku dengan seksama."Bagus!" katanya seraya tersenyum dengan mengembalikan transkip nilai itu padaku. "Apa kamu ikut kegiatan organisasi di kampus?""Iya Gus," jawabku seraya mengangguk. Kemudian melanjutkan kembali sarapan pagiku.Setelah sarapan selesai aku membantu bibik merapikan piring-piring kotor yang ada di meja, sebelum aku berangkat ke kampus.Seperti biasa, aku lihat wajah sikap Mbak Zahra selalu dingin padaku. Aku mencoba mengabaikan semua itu, aku mencoba memahaminya, karena mungkin me
Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.Dan belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di ranjang kamarku."Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum."Baik," jawabku singkat seraya duduk di hadapannya."Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya."Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku."Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh curiga."Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku."Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan alisnya. "Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus I
Keesokan harinya sepulang dari kampus kudengar suara Zafira diruang keluarga sedang berbincang dengan Mbak Zahra, sepertinya dia sedang mengunjungi kakaknya tersebut."Mbah Zahra sudah bilang sama suami mbak kan, tentang kelakuan istri keduanya itu?""Udah," jawab Mbak Zahra."Mbak udah kasih fotonya juga kan?""Udah,""Gimana kata Gus Ibrahim? Pasti Gus Ibrahim menyesal sudah menikahi wanita nggak bener itu," kata Zafira. "Untung aja aku sama temen-temen aku makan di restoran itu, jadi bisa mergoki wanita sok alim itu jalan berdua sama om-om," lanjut Zafira. "Memang benar-benar ya mbak Alifah itu, nggak nyangka aku dia tega nikam saudaranya sendiri." Kudengar Zafira sangat emosi saat membicarakan tentang diriku pada mbak Zahra."Aku heran Fir, Gus Ibrahim sama sekali nggak marah sama Alifah, sepertinya Gus Ibrahim juga nggak percaya sama foto yang kamu kirim ke aku ini," sahut Mbak Zahra tanpa semangat.Aku menghelan nafas panjang da
Tidak terasa air mataku terjatuh saat mendengarkan kata-kata Mbak Zahra, mungkin baginya diriku ini begitu hina, hingga dia tidak mau menerima transfusi darah dariku.Kuhapus air mata yang terjatuh di pipiku ini, dan kemudian segera mengikuti langkah dokter.Aku tidak memperdulikan pemikiran Mbak Zahra terhadapku, yang aku pikirkan saat ini hanyalah keselamatannya, biarlah dia berfikir seperti itu padaku, karena selama ini aku memang telah menyakiti hatinya.Akhirnya transfusi darah pun dilakukan, aku tetap mendonorkan darahku untuk Mbak Zahra, meskipun Mbak Zahra menolaknya, karena Gus Ibrahim juga telah mengizinkan aku untuk melakukan semua itu.Saat ini aku masih berada di atas bad rumah sakit setelah melakukan transfusi darah, dan kudengar dokter menyarankan agar operasi Caesar dilakukan, karena ketuban di rahim Mbak Zahra telah pecah.Sungguh aku merasa bersalah dengan kondisi Mbak Zahra dan bayinya, mungkin semua ini terjadi karena diriku, an
Tak terasa hari demi hari berganti, bulan demi bulan bertambah, dan tahun demi tahun berlalu, masih tidak ada yang berubah dengan kehidupanku.Sudah hampir empat tahun aku berada di rumah Gus Ibrahim, sikap Mbak Zahra masih sama padaku, dingin dan sinis. Ya sudahlah, aku terima perlakuannya itu, karena usahaku untuk melunasi hutangku pada Gus Ibrahim pun belum terealisasi, namun aku yakin, pada saatnya nanti tuhan akan kabulkan doaku untuk pergi dari rumah ini entah dengan caranya yang bagaimana, karena sejuta usaha dan doa selalu aku panjatkan untuk bisa keluar dari rumah ini tanpa beban hutang dan dosa.Kini usia Aisyah sudah 16 tahun. Dia telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan juga Salehah. Sekolah di sekolah Islam favorit dengan pendidikan full day school, dan dengan prestasi yang membanggakan.Begitu juga dengan Umar dan Usman diapun tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar, dan rajin belajar.Sementara bayi mungil yang dilahirkan Mbak Zahr