Share

Part 5

Kulihat Gus Ibrahim menghampiriku yang saat ini sedang berada di dalam kamar.

Laki-laki itu memperhatikan aku yang hanya menunduk di atas ranjang dengan masih berpakaian menutup aurat lengkap.

Aku tahu ada kewajiban yang harus aku lakukan sebagai seorang istri, tapi aku adalah gadis remaja dengan usia belasan tahun, yang di dalam hati ini, tidak sudi disentuh oleh laki-laki seumuran Gus Ibrahim yang sama sekali tidak pernah aku sukai.

"Alifah! Jangan pernah takut denganku! Jika kamu tidak rela aku sentuh, aku juga tidak akan memaksamu!" kata laki-laki itu dengan lembut.

Berlahan aku menoleh ke arahnya, ku pandang wajahnya yang tersenyum manis kepadaku. Dan saat itu mulai berlinang air mataku.

"Istirahatlah! Aku akan keluar dari kamarmu! Jika kamu merasa takut, kunci pintunya dari dalam!" katanya kemudian dengan beranjak pergi meninggalkanku.

Aku terperangah melihat sikap Gus Ibrahim yang begitu baik padaku, bahkan dia mengijinkan aku mengunci pintu dari dalam kamar ketika dia sudah keluar.

Ya Allah, semua di luar dugaanku, kukira dia akan kejam dan memaksaku, ternyata dia teramat baik, dan memahami keadaanku.

Berlahan dia keluar dari kamarku, dia meninggalkan aku sendiri di dalam kamar, dia tidak menuntut apapun padaku, bahkan tidak menuntut haknya untuk aku layani.

******

Waktu terus berjalan, dan akhirnya malam pertamaku di rumah Gus Ibrahim telah berlalu.

Pagi ini, aku sengaja bangun lebih awal untuk membantu bibi mengurus rumah.

"Ning Alifah duduk saja! Biar bibik yang mengerjakan semuanya!" kata bibi padaku.

"Tidak apa-apa Bik! Saya ingin bantu bibik, hari ini biar saya yang masak ya, Bik!" jawabku.

"Memangnya, Ning Alifah bisa memasak?" tanya bibi.

"Bisa, Bik! sedikit," jawabku dengan tersenyum.

"Hari ini, Ning Zahra minta dimasakin sayur bayam dicampur jagung manis, peyek udang, dan tempe goreng, kalau anak-anak minta ayam krispi," kata bibik.

"Aku bisa, Bik! Biar aku yang masak ya!" kataku.

Sementara bibik mencuci piring-piring kotor, aku mulai menyiapkan bahan-bahan masakan yang telah bibi katakan padaku.

"Ning Alifah jangan lupa bikin sambal terasi, itu kesukaan Gus Ibrahim!" kata bibik.

Aku pun menoleh ke arahnya sembari tersenyum, dan mengangguk.

"Bik, pembantu di rumah ini ada berapa sih?" tanyaku kemudian di sela-sela kebersamaan kami memasak.

"Ada empat Ning! Tapi yang menginap cuma bibik. Bibik bagian memasak dan bersih-bersih rumah, yang mengurus anak-anak dan mengantar ke sekolah Sari, yang cuci baju seterika pakaian Mbak Mun, satunya sopir Gus Ibrahim." Jelas bibik padaku. "Kalau nama bibik, Bik Saroh, Ning Alifah belum tahu, kan?"

"Iya," aku mengangguk.

"Hari ini kayaknya Sari nggak masuk Ning, ini sudah jam 6 lebih, anak-anak masih belum dimandikan semua lo!" kata bibik. "Ning Zahra hamil muda, jadi dia suka muntah-muntah kalau masuk kamar mandi," cerita bibi.

"Biar saya saja nanti yang mandikan anak-anak, Bik! Kalau Mbak Sari tidak datang. Dan bibik, bisa menyelesaikan pekerjaan bibik yang lain," sahutku.

"Iya, terimakasih ya, Ning!" kata bibik dengan menyentuh lenganku.

Setelah memasak selesai aku segera menata makanan itu di meja.

Pagi itu kulihat tiga anak Gus Ibrahim telah berada di ruang keluarga dengan mainan-mainannya.

Aisyah gadis berusia tiga belas tahun putri pertamanya, Umar dan Usman putra kembarnya yang masih berusia lima tahun.

"Assalamualaikum!" sapaku pada mereka semua.

"Waalaikum salam!" jawab Aisyah, anak gadis mbak Zahra yang sebenarnya telah mengenalku.

"Sebentar lagi kan mau berangkat sekolah, kita mandi dulu yuk! Mbak Alifah sudah siapkan air hangat buat mandi! Setelah itu kalian boleh sarapan, mbak sudah masak ayam krispi juga, kesukaan kalian kan?" kataku merayu mereka agar berkenan aku bantu untuk mandi.

Aisyah pun segera bangkit dari tempat duduknya, dan menuju kamar mandi, sementara Umar dan Usman masih aku rayu agar mau aku ajak masuk ke kamar mandi.

Akhirnya aku pun berhasil merayu kedua putra Gus Ibrahim itu.

Kali ini dibantu oleh Bibi Saroh aku mengurus mereka berdua, memandikan dan memakaikan seragam sekolah PAUDnya.

Sungguh tidak ada niat mencari muka kepada Gus Ibrahim atau Mbak Zahra saat aku melakukan semua ini.

Aku melakukannya semata-mata untuk mengabdi agar hutang ibuku segera terlunasi, dan karena mereka semua pun adalah keponakanku sendiri.

Setelah mengurus Umar dan Usman di kamarnya, kulihat semua keluarga sudah berkumpul di meja makan.

"Kok ayam krispi masakan bibik lebih enak, beda dengan yang kemarin?" kata Aisyah pada bibi yang saat itu sedang menuangkan air putih di gelas-gelas yang ada di meja.

"Itu yang masak Ning Alifah, bukan bibik," sahut bibi dengan tersenyum.

"Pantesan kok beda, aku suka Bik," sahut Aisyah. "Mbak Alifah! Besok mbak Alifah aja ya, yang masak, jangan bibik!" kata Aisyah saat melihatku masuk ruangan itu.

"Iya," aku mengangguk dengan tersenyum.

"Terimakasih ya Alifah! Masakan kamu enak!" puji Gus Ibrahim dengan menoleh ke arahku yang saat itu tengah menggendong Umar dan menggandeng Usman.

Namun aku lihat di sisi lain Mbak Zahra tampak dingin melirikku.

"O iya, Aku berangkat kerja dulu! Alifah ayo kamu sarapan!" kata Gus Ibrahim seraya beranjak dari tempat duduknya, sembari menghampiri mbak Zahra dan mencium keningnya.

Beberapa menit setelah Gus Ibrahim meninggalkan ruangan itu, Mbak Zahra mulai memanggil Bibi Saroh.

"Bik! Mana Sari?" tanya Mbak Zahra dengan suara lantang.

"Sari pamit tidak masuk Ning, soalnya anaknya sakit," kata bibik dengan mendekat kepada Mbak Zahra.

"Terus yang mandiin anak-anak ini siapa?" tanyanya pada bibik.

"Ning Alifah, yang bantuin saya mengurus anak-anak," kata bibik.

"Lain kali, kerjakan semua pekerjaan bibik sendiri ya! Jangan menyuruh Alifah! Alifah ini bukan pembantu di rumah ini, Bik!" kata Mbak Zahra dengan sedikit marah kepada Bibi Saroh.

"Aku nggak papa kok mbak, bantuin bibik," celetukku.

Kulihat Mbak Zahra hanya menoleh ke arahku tanpa menjawabnya.

"Umar, Usman! Ayo sini cepat duduk, sarapan, belajar makan sendiri!" kata Mbak Zahra kemudian dengan memanggil putranya yang masih berada di gendonganku dan yang masih berdiri di sampingku.

"Biasanya disuapin mbak Sari," sahut Usman.

"Disuapin mbak Alifah aja sekarang ya!" timpal Umar.

"Belajar makan sendiri!" tegas Mbak Zahra pada kedua putranya yang masih berusia lima tahun itu.

"Nggak papa kok, Mbak! Biar anak-anak aku siapin ya!" sahutku dengan menurunkan Umar dari gendonganku.

"Aku ingin mengajari anakku mandiri!" jawab Mbak Zahra dengan suara datar tanpa melihatku.

Akhirnya kutinggalkan ruangan itu setelah Umar dan Usman duduk di meja makan.

Aku mengikuti Bibi Saroh yang sedang mengepel seluruh ruangan rumah itu. aku mengambil lap, dan membersihkan perabotan di dalam rumah.

Dan beberapa saat kemudian Mbak Zahra menghampiriku.

"Kamu boleh mengambil perhatian suamiku! Tapi jangan kamu ambil juga perhatian anak-anakku!" kata Mbak Zahra lirih dengan mata berkaca-kaca menatapku.

Sungguh aku tidak mampu menjawab ungkapan hati Mbak Zahra. Aku tidak menyangka kalau ketulusanku mengurus anak-anaknya pagi ini telah sangat melukai perasaannya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status