Kulihat Gus Ibrahim menghampiriku yang saat ini sedang berada di dalam kamar.
Laki-laki itu memperhatikan aku yang hanya menunduk di atas ranjang dengan masih berpakaian menutup aurat lengkap.
Aku tahu ada kewajiban yang harus aku lakukan sebagai seorang istri, tapi aku adalah gadis remaja dengan usia belasan tahun, yang di dalam hati ini, tidak sudi disentuh oleh laki-laki seumuran Gus Ibrahim yang sama sekali tidak pernah aku sukai.
"Alifah! Jangan pernah takut denganku! Jika kamu tidak rela aku sentuh, aku juga tidak akan memaksamu!" kata laki-laki itu dengan lembut.
Berlahan aku menoleh ke arahnya, ku pandang wajahnya yang tersenyum manis kepadaku. Dan saat itu mulai berlinang air mataku.
"Istirahatlah! Aku akan keluar dari kamarmu! Jika kamu merasa takut, kunci pintunya dari dalam!" katanya kemudian dengan beranjak pergi meninggalkanku.
Aku terperangah melihat sikap Gus Ibrahim yang begitu baik padaku, bahkan dia mengijinkan aku mengunci pintu dari dalam kamar ketika dia sudah keluar.
Ya Allah, semua di luar dugaanku, kukira dia akan kejam dan memaksaku, ternyata dia teramat baik, dan memahami keadaanku.
Berlahan dia keluar dari kamarku, dia meninggalkan aku sendiri di dalam kamar, dia tidak menuntut apapun padaku, bahkan tidak menuntut haknya untuk aku layani.
******
Waktu terus berjalan, dan akhirnya malam pertamaku di rumah Gus Ibrahim telah berlalu.
Pagi ini, aku sengaja bangun lebih awal untuk membantu bibi mengurus rumah.
"Ning Alifah duduk saja! Biar bibik yang mengerjakan semuanya!" kata bibi padaku.
"Tidak apa-apa Bik! Saya ingin bantu bibik, hari ini biar saya yang masak ya, Bik!" jawabku.
"Memangnya, Ning Alifah bisa memasak?" tanya bibi.
"Bisa, Bik! sedikit," jawabku dengan tersenyum.
"Hari ini, Ning Zahra minta dimasakin sayur bayam dicampur jagung manis, peyek udang, dan tempe goreng, kalau anak-anak minta ayam krispi," kata bibik.
"Aku bisa, Bik! Biar aku yang masak ya!" kataku.
Sementara bibik mencuci piring-piring kotor, aku mulai menyiapkan bahan-bahan masakan yang telah bibi katakan padaku.
"Ning Alifah jangan lupa bikin sambal terasi, itu kesukaan Gus Ibrahim!" kata bibik.
Aku pun menoleh ke arahnya sembari tersenyum, dan mengangguk.
"Bik, pembantu di rumah ini ada berapa sih?" tanyaku kemudian di sela-sela kebersamaan kami memasak.
"Ada empat Ning! Tapi yang menginap cuma bibik. Bibik bagian memasak dan bersih-bersih rumah, yang mengurus anak-anak dan mengantar ke sekolah Sari, yang cuci baju seterika pakaian Mbak Mun, satunya sopir Gus Ibrahim." Jelas bibik padaku. "Kalau nama bibik, Bik Saroh, Ning Alifah belum tahu, kan?"
"Iya," aku mengangguk.
"Hari ini kayaknya Sari nggak masuk Ning, ini sudah jam 6 lebih, anak-anak masih belum dimandikan semua lo!" kata bibik. "Ning Zahra hamil muda, jadi dia suka muntah-muntah kalau masuk kamar mandi," cerita bibi.
"Biar saya saja nanti yang mandikan anak-anak, Bik! Kalau Mbak Sari tidak datang. Dan bibik, bisa menyelesaikan pekerjaan bibik yang lain," sahutku.
"Iya, terimakasih ya, Ning!" kata bibik dengan menyentuh lenganku.
Setelah memasak selesai aku segera menata makanan itu di meja.
Pagi itu kulihat tiga anak Gus Ibrahim telah berada di ruang keluarga dengan mainan-mainannya.
Aisyah gadis berusia tiga belas tahun putri pertamanya, Umar dan Usman putra kembarnya yang masih berusia lima tahun.
"Assalamualaikum!" sapaku pada mereka semua.
"Waalaikum salam!" jawab Aisyah, anak gadis mbak Zahra yang sebenarnya telah mengenalku.
"Sebentar lagi kan mau berangkat sekolah, kita mandi dulu yuk! Mbak Alifah sudah siapkan air hangat buat mandi! Setelah itu kalian boleh sarapan, mbak sudah masak ayam krispi juga, kesukaan kalian kan?" kataku merayu mereka agar berkenan aku bantu untuk mandi.
Aisyah pun segera bangkit dari tempat duduknya, dan menuju kamar mandi, sementara Umar dan Usman masih aku rayu agar mau aku ajak masuk ke kamar mandi.
Akhirnya aku pun berhasil merayu kedua putra Gus Ibrahim itu.
Kali ini dibantu oleh Bibi Saroh aku mengurus mereka berdua, memandikan dan memakaikan seragam sekolah PAUDnya.
Sungguh tidak ada niat mencari muka kepada Gus Ibrahim atau Mbak Zahra saat aku melakukan semua ini.
Aku melakukannya semata-mata untuk mengabdi agar hutang ibuku segera terlunasi, dan karena mereka semua pun adalah keponakanku sendiri.
Setelah mengurus Umar dan Usman di kamarnya, kulihat semua keluarga sudah berkumpul di meja makan.
"Kok ayam krispi masakan bibik lebih enak, beda dengan yang kemarin?" kata Aisyah pada bibi yang saat itu sedang menuangkan air putih di gelas-gelas yang ada di meja.
"Itu yang masak Ning Alifah, bukan bibik," sahut bibi dengan tersenyum.
"Pantesan kok beda, aku suka Bik," sahut Aisyah. "Mbak Alifah! Besok mbak Alifah aja ya, yang masak, jangan bibik!" kata Aisyah saat melihatku masuk ruangan itu.
"Iya," aku mengangguk dengan tersenyum.
"Terimakasih ya Alifah! Masakan kamu enak!" puji Gus Ibrahim dengan menoleh ke arahku yang saat itu tengah menggendong Umar dan menggandeng Usman.
Namun aku lihat di sisi lain Mbak Zahra tampak dingin melirikku.
"O iya, Aku berangkat kerja dulu! Alifah ayo kamu sarapan!" kata Gus Ibrahim seraya beranjak dari tempat duduknya, sembari menghampiri mbak Zahra dan mencium keningnya.
Beberapa menit setelah Gus Ibrahim meninggalkan ruangan itu, Mbak Zahra mulai memanggil Bibi Saroh.
"Bik! Mana Sari?" tanya Mbak Zahra dengan suara lantang.
"Sari pamit tidak masuk Ning, soalnya anaknya sakit," kata bibik dengan mendekat kepada Mbak Zahra.
"Terus yang mandiin anak-anak ini siapa?" tanyanya pada bibik.
"Ning Alifah, yang bantuin saya mengurus anak-anak," kata bibik.
"Lain kali, kerjakan semua pekerjaan bibik sendiri ya! Jangan menyuruh Alifah! Alifah ini bukan pembantu di rumah ini, Bik!" kata Mbak Zahra dengan sedikit marah kepada Bibi Saroh.
"Aku nggak papa kok mbak, bantuin bibik," celetukku.
Kulihat Mbak Zahra hanya menoleh ke arahku tanpa menjawabnya.
"Umar, Usman! Ayo sini cepat duduk, sarapan, belajar makan sendiri!" kata Mbak Zahra kemudian dengan memanggil putranya yang masih berada di gendonganku dan yang masih berdiri di sampingku.
"Biasanya disuapin mbak Sari," sahut Usman.
"Disuapin mbak Alifah aja sekarang ya!" timpal Umar.
"Belajar makan sendiri!" tegas Mbak Zahra pada kedua putranya yang masih berusia lima tahun itu.
"Nggak papa kok, Mbak! Biar anak-anak aku siapin ya!" sahutku dengan menurunkan Umar dari gendonganku.
"Aku ingin mengajari anakku mandiri!" jawab Mbak Zahra dengan suara datar tanpa melihatku.
Akhirnya kutinggalkan ruangan itu setelah Umar dan Usman duduk di meja makan.
Aku mengikuti Bibi Saroh yang sedang mengepel seluruh ruangan rumah itu. aku mengambil lap, dan membersihkan perabotan di dalam rumah.
Dan beberapa saat kemudian Mbak Zahra menghampiriku.
"Kamu boleh mengambil perhatian suamiku! Tapi jangan kamu ambil juga perhatian anak-anakku!" kata Mbak Zahra lirih dengan mata berkaca-kaca menatapku.
Sungguh aku tidak mampu menjawab ungkapan hati Mbak Zahra. Aku tidak menyangka kalau ketulusanku mengurus anak-anaknya pagi ini telah sangat melukai perasaannya.
Bersambung
Satu bulan sudah aku berada di rumah Gus Ibrahim, rumah yang mewah, lengkap dengan perabotan megah, taman yang asri dan indah, tapi bagaikan rumah di gurun pasir yang gersang bagiku.Satu bulan ini Mbak Zahra bersikap dingin padaku, aku pahami sikapnya, kuposisikan diriku menjadi dirinya, andai saja aku adalah Mbak Zahra mungkin seperti itulah sikap yang akan aku berikan pada maduku yang dibawa oleh suamiku ke dalam rumahnya.Apalagi keberadaanku yang saat ini semakin dekat dengan putra dan putri Mbak Zahra.Sungguh hidupku serasa dilema, rasanya aku ingin lari, tapi aku sadari semua harus aku jalani, hingga tiba waktunya nanti aku pergi. Namun entah kapan itu akan terjadi.Dan malam ini saat aku baru selesai sholat isyak. Kudengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.Berlahan aku bangkit dari sajadah dan membuka pintu kamar.Ternyata Gus Ibrahim sedang berdiri di depan pintu.Segera aku persilahkan beliau untuk masuk ke dalam kama
Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan."Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.
Pagi ini setelah bersiap untuk berangkat ke kampus, aku ikut sarapan bersama keluarga."Bagaimana kuliah kamu Alifah?" tanya Gus Ibrahim padaku."Alhamdulillah, ujian semester satu sudah selesai Gus, ini transkip nilainya sudah keluar," kataku seraya membuka tas yang ada di pangkuanku untuk mengambil transkip nilai yang ada dalam tasku.Kutunjukkan hasil belajarku itu pada Gus Ibrahim, dan kulihat dia pun mempelajari nilai-nilai hasil belajarku dengan seksama."Bagus!" katanya seraya tersenyum dengan mengembalikan transkip nilai itu padaku. "Apa kamu ikut kegiatan organisasi di kampus?""Iya Gus," jawabku seraya mengangguk. Kemudian melanjutkan kembali sarapan pagiku.Setelah sarapan selesai aku membantu bibik merapikan piring-piring kotor yang ada di meja, sebelum aku berangkat ke kampus.Seperti biasa, aku lihat wajah sikap Mbak Zahra selalu dingin padaku. Aku mencoba mengabaikan semua itu, aku mencoba memahaminya, karena mungkin me
Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.Dan belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di ranjang kamarku."Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum."Baik," jawabku singkat seraya duduk di hadapannya."Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya."Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku."Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh curiga."Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku."Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan alisnya. "Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus I
Keesokan harinya sepulang dari kampus kudengar suara Zafira diruang keluarga sedang berbincang dengan Mbak Zahra, sepertinya dia sedang mengunjungi kakaknya tersebut."Mbah Zahra sudah bilang sama suami mbak kan, tentang kelakuan istri keduanya itu?""Udah," jawab Mbak Zahra."Mbak udah kasih fotonya juga kan?""Udah,""Gimana kata Gus Ibrahim? Pasti Gus Ibrahim menyesal sudah menikahi wanita nggak bener itu," kata Zafira. "Untung aja aku sama temen-temen aku makan di restoran itu, jadi bisa mergoki wanita sok alim itu jalan berdua sama om-om," lanjut Zafira. "Memang benar-benar ya mbak Alifah itu, nggak nyangka aku dia tega nikam saudaranya sendiri." Kudengar Zafira sangat emosi saat membicarakan tentang diriku pada mbak Zahra."Aku heran Fir, Gus Ibrahim sama sekali nggak marah sama Alifah, sepertinya Gus Ibrahim juga nggak percaya sama foto yang kamu kirim ke aku ini," sahut Mbak Zahra tanpa semangat.Aku menghelan nafas panjang da
Tidak terasa air mataku terjatuh saat mendengarkan kata-kata Mbak Zahra, mungkin baginya diriku ini begitu hina, hingga dia tidak mau menerima transfusi darah dariku.Kuhapus air mata yang terjatuh di pipiku ini, dan kemudian segera mengikuti langkah dokter.Aku tidak memperdulikan pemikiran Mbak Zahra terhadapku, yang aku pikirkan saat ini hanyalah keselamatannya, biarlah dia berfikir seperti itu padaku, karena selama ini aku memang telah menyakiti hatinya.Akhirnya transfusi darah pun dilakukan, aku tetap mendonorkan darahku untuk Mbak Zahra, meskipun Mbak Zahra menolaknya, karena Gus Ibrahim juga telah mengizinkan aku untuk melakukan semua itu.Saat ini aku masih berada di atas bad rumah sakit setelah melakukan transfusi darah, dan kudengar dokter menyarankan agar operasi Caesar dilakukan, karena ketuban di rahim Mbak Zahra telah pecah.Sungguh aku merasa bersalah dengan kondisi Mbak Zahra dan bayinya, mungkin semua ini terjadi karena diriku, an
Tak terasa hari demi hari berganti, bulan demi bulan bertambah, dan tahun demi tahun berlalu, masih tidak ada yang berubah dengan kehidupanku.Sudah hampir empat tahun aku berada di rumah Gus Ibrahim, sikap Mbak Zahra masih sama padaku, dingin dan sinis. Ya sudahlah, aku terima perlakuannya itu, karena usahaku untuk melunasi hutangku pada Gus Ibrahim pun belum terealisasi, namun aku yakin, pada saatnya nanti tuhan akan kabulkan doaku untuk pergi dari rumah ini entah dengan caranya yang bagaimana, karena sejuta usaha dan doa selalu aku panjatkan untuk bisa keluar dari rumah ini tanpa beban hutang dan dosa.Kini usia Aisyah sudah 16 tahun. Dia telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan juga Salehah. Sekolah di sekolah Islam favorit dengan pendidikan full day school, dan dengan prestasi yang membanggakan.Begitu juga dengan Umar dan Usman diapun tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar, dan rajin belajar.Sementara bayi mungil yang dilahirkan Mbak Zahr
Akhirnya operasi transplantasi ginjal pun dilakukan, aku dan Aisyah melakukan puasa selama kurang lebih delapan jam sebelum operasi ini dilakukan.Dalam kegugupan, aku mencoba menenangkan diri, menenangkan pikiran, memasrahkan semua pada tuhan, agar operasi ini dapat berjalan lancar.Dengan Rahmad dan ridho Allah akhirnya operasi ini pun berjalan lancar. Alhamdulillah tubuh Aisyah dapat menerima ginjal yang telah aku donorkan.Dan saat ini aku masih berada di rumah sakit, di atas bad kamar pasien untuk pemulihan paska operasi.Kulihat Gus Ibrahim dan Mbak Zahra masuk ke dalam kamarku."Bagaimana keadaanmu?" tanya Mbak Zahra dengan ramah padaku."Aku sehat kok mbak, sudah lebih baik," kataku pada Mbak Zahra dengan tersenyum, seraya berusaha bangkit untuk duduk tegak dari posisiku yang semula berbaring.Saat ini aku memang merasa sehat meskipun hidup dengan satu ginjal. Kalaupun aku masih dirawat di rumah sakit, itu karena jahitan di pe