Share

Part 7

Author: Anis _Mo
last update Last Updated: 2021-09-26 14:46:45

Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.

Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan.

"Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.

Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.

Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.

Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.

Sore ini setelah jam kuliah usai, sebuah tawaran pekerjaan datang padaku. Salah satu dosen menawariku untuk menjadi guru private mengaji putranya yang masih duduk di bangku sekolah PAUD.

Tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku terima tawaran dosenku, sekalipun aku tahu gajinya tidak seberapa, namun aku yakin, jika aku bersungguh-sungguh bekerja semua akan jadi berkah bagi hidupku.

Satu bulan sudah aku aktif menjadi guru private putra dosenku. Dan kini ada beberapa putra dan putri dosenku yang lain ikut menjadi murid privateku.

Aku sangat bersyukur, kini aku punya pekerjaan, sepulang kuliah, diwaktu senggang aku mulai datang dari rumah ke rumah muridku untuk mengajar, dan aku rasa jika aku bekerja dengan sungguh-sungguh, aku bisa segera mengumpulkan uang untuk membayar hutang-hutang ibuku.

Dan kina, satu semester perkuliahanku telah usai, berkat kegigihanku belajar, aku bisa mendapatkan IPK  sesuai dengan yang aku inginkan. Aku mulai mengajukan beasiswa prestasi yang diprogramkan oleh rektor di kampusku.

Hatiku penuh kepasrahan, entah aku terjaring dalam beasiswa itu atau tidak, karena memang banyak sekali mahasiswa yang ikut dalam program beasiswa tersebut, dari kuota yang waktu itu pernah aku baca, hanya lima puluh persen pendaftar yang bisa terjaring, karena saat ini pendaftarnya memang cukup banyak sekali.

Namun aku tetap optimis dan tidak berhenti berdoa, agar aku bisa lolos untuk mendapatkan beasiswa.

Waktu terus berjalan, tepat jam delapan malam, aku baru sampai rumah, sebenarnya aku tidak dari kampus, melainkan dari mengajar private murid-muridku.

Kulihat masih tidak ada mobil Gus Ibrahim di garasi rumah, yang aku tahu selama ini Gus Ibrahim memang sering pergi keluar kota, dan terkadang sampai rumah sekitar jam sembilan malam.

Aku menghelan nafas panjang seraya menggerak-gerakkan kepalaku, rasanya badanku sangat lelah, berlahan aku membuka pintu ruang tamu, dan berjalan pelan menuju kamar. Namun saat kakiku hendak melangkah, kudengar suara seseorang begitu lantang di ruang tengah keluar ini.

"Kuliah macam apa sih mbak, kok pulangnya malam-malam terus?"

Suara itu sepertinya suara Zafira, adik kandung Mbak Zahra.

"Dia itu kan hanya kuliah di fakultas keguruan Mbak! masih semester awal lagi, masih jarang kegiatan mbak, masak setiap hari sampai pulang jam delapan malam lebih?"

Terdengar suara Zafira begitu lantang membicarakanku saat bertanya pada Mbak Zahra.

"Embak juga nggak tahu Fir!" jawab Mbak Zahra lembut.

"Alifah itu nggak kuliah di fakultas kedokteran Mbak. Atau di fakultas keperawatan, farmasi, atau fakultas lainnya, yang banyak praktikum, dan banyak kegiatan," jelas Zafira, "Dia cuma kuliah di fakultas keguruan, dan disemester awal tentu tidak mungkin banyak kegiatan," lanjutnya.

"Gitu ya, Fir?" jawab Mbak Zahra lirih.

"Embak ini sabar banget ya? Embak jangan diam saja, Embak harus bilang sama Gus Ibrahim, kalau istri keduanya Gus Ibrahim itu liar, suka pulang malam!" kata Zafira dengan suara menggebu penuh emosi. "Wajahnya saja lugu dan polos, tapi hatinya licik!" ucap  Zafira geregetan seolah memendam rasa kebencian padaku.

Dan saat itu, tidak kudengar Mbak Zahra menanggapi kata-kata adiknya.

"Mbak! Embak harus hati-hati sama Alifah, aku dengar dia menikah dengan Gus Ibrahim karena uang, dia meminta mahar mahal pada suami Mbak untuk membayar hutang ibunya pada juragan jagal sapi," terang Zafira pada kakaknya.

"Zafira? Hati-hati kamu kalau bicara, jangan menfitnah!" sahut Mbak Zahra tidak percaya.

"Mbak, ini kenyataan, semua orang juga sudah tahu. Embak aja yang lugu, mau dibodohi sama suami Mbak dan wanita keluaran pesantren yang pura-pura alim itu."

Zafira mengungkapkan kata-katanya dengan penuh kebencian padaku.

"Dengar ya Mbak! Embak harus hati-hati sama Alifah, dia hanya ingin merongrong hartanya Gus Ibrahim, Mbak harus sadarkan Gus Ibrahim tentang semua ini! Jangan sampai Gus Ibrahim terlambat menyadari tabiat buruk istri keduanya itu!" nasehat Zafira kepada kakaknya. "Ingat Mbak! Ada Aisyah, Umar, Usman, dan bayi dalam kandungan Embak! Aku nggak rela kalau Alifah sampai menghancurkan kehidupan Embak dan keponakan-keponakanku!" tambah Zafira.

"Iya," terdengar suara Mbak Zahra lirih menjawab kata-kata Zafira.

Aku mulai mengatur nafasku, aku melangkah pelan menuju ke dalam kamar, agar mereka berdua tidak mengetahui kedatanganku.

Rasanya jiwaku terasa hancur, air mataku tetes demi tetes berjatuhan.

Aku sadari aku sudah menyakiti hati saudari-saudariku. Mbak Zahra yang saat ini sedang hamil delapan bulan, dan Zafira yang pasti sakit hati melihat kakak kandungnya dimadu.

Jujur hatiku terasa sakit saat mendengar percakapan mereka. Namun aku bisa apa, aku memang menikah dengan Gus Ibrahim karena sebuah uang dan pelunasan hutang-hutang ibuku, meski sedikitpun tidak terbersit dalam hatiku untuk merongrong harta suami dari kakak sepupuku itu.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Madu   Bab 35 (Periksa ke Dokter)

    Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta

  • Menjadi Madu   Bab 34 (Sikap Mertua)

    Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele

  • Menjadi Madu   Bab 33 (Pernikahan)

    Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh

  • Menjadi Madu   Bab 32 (Rencana Pernikahan)

    Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena

  • Menjadi Madu   Bab 31 (Dilamar)

    Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang

  • Menjadi Madu   Bab 30

    Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status