Share

Part 7

Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.

Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan.

"Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.

Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.

Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.

Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.

Sore ini setelah jam kuliah usai, sebuah tawaran pekerjaan datang padaku. Salah satu dosen menawariku untuk menjadi guru private mengaji putranya yang masih duduk di bangku sekolah PAUD.

Tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku terima tawaran dosenku, sekalipun aku tahu gajinya tidak seberapa, namun aku yakin, jika aku bersungguh-sungguh bekerja semua akan jadi berkah bagi hidupku.

Satu bulan sudah aku aktif menjadi guru private putra dosenku. Dan kini ada beberapa putra dan putri dosenku yang lain ikut menjadi murid privateku.

Aku sangat bersyukur, kini aku punya pekerjaan, sepulang kuliah, diwaktu senggang aku mulai datang dari rumah ke rumah muridku untuk mengajar, dan aku rasa jika aku bekerja dengan sungguh-sungguh, aku bisa segera mengumpulkan uang untuk membayar hutang-hutang ibuku.

Dan kina, satu semester perkuliahanku telah usai, berkat kegigihanku belajar, aku bisa mendapatkan IPK  sesuai dengan yang aku inginkan. Aku mulai mengajukan beasiswa prestasi yang diprogramkan oleh rektor di kampusku.

Hatiku penuh kepasrahan, entah aku terjaring dalam beasiswa itu atau tidak, karena memang banyak sekali mahasiswa yang ikut dalam program beasiswa tersebut, dari kuota yang waktu itu pernah aku baca, hanya lima puluh persen pendaftar yang bisa terjaring, karena saat ini pendaftarnya memang cukup banyak sekali.

Namun aku tetap optimis dan tidak berhenti berdoa, agar aku bisa lolos untuk mendapatkan beasiswa.

Waktu terus berjalan, tepat jam delapan malam, aku baru sampai rumah, sebenarnya aku tidak dari kampus, melainkan dari mengajar private murid-muridku.

Kulihat masih tidak ada mobil Gus Ibrahim di garasi rumah, yang aku tahu selama ini Gus Ibrahim memang sering pergi keluar kota, dan terkadang sampai rumah sekitar jam sembilan malam.

Aku menghelan nafas panjang seraya menggerak-gerakkan kepalaku, rasanya badanku sangat lelah, berlahan aku membuka pintu ruang tamu, dan berjalan pelan menuju kamar. Namun saat kakiku hendak melangkah, kudengar suara seseorang begitu lantang di ruang tengah keluar ini.

"Kuliah macam apa sih mbak, kok pulangnya malam-malam terus?"

Suara itu sepertinya suara Zafira, adik kandung Mbak Zahra.

"Dia itu kan hanya kuliah di fakultas keguruan Mbak! masih semester awal lagi, masih jarang kegiatan mbak, masak setiap hari sampai pulang jam delapan malam lebih?"

Terdengar suara Zafira begitu lantang membicarakanku saat bertanya pada Mbak Zahra.

"Embak juga nggak tahu Fir!" jawab Mbak Zahra lembut.

"Alifah itu nggak kuliah di fakultas kedokteran Mbak. Atau di fakultas keperawatan, farmasi, atau fakultas lainnya, yang banyak praktikum, dan banyak kegiatan," jelas Zafira, "Dia cuma kuliah di fakultas keguruan, dan disemester awal tentu tidak mungkin banyak kegiatan," lanjutnya.

"Gitu ya, Fir?" jawab Mbak Zahra lirih.

"Embak ini sabar banget ya? Embak jangan diam saja, Embak harus bilang sama Gus Ibrahim, kalau istri keduanya Gus Ibrahim itu liar, suka pulang malam!" kata Zafira dengan suara menggebu penuh emosi. "Wajahnya saja lugu dan polos, tapi hatinya licik!" ucap  Zafira geregetan seolah memendam rasa kebencian padaku.

Dan saat itu, tidak kudengar Mbak Zahra menanggapi kata-kata adiknya.

"Mbak! Embak harus hati-hati sama Alifah, aku dengar dia menikah dengan Gus Ibrahim karena uang, dia meminta mahar mahal pada suami Mbak untuk membayar hutang ibunya pada juragan jagal sapi," terang Zafira pada kakaknya.

"Zafira? Hati-hati kamu kalau bicara, jangan menfitnah!" sahut Mbak Zahra tidak percaya.

"Mbak, ini kenyataan, semua orang juga sudah tahu. Embak aja yang lugu, mau dibodohi sama suami Mbak dan wanita keluaran pesantren yang pura-pura alim itu."

Zafira mengungkapkan kata-katanya dengan penuh kebencian padaku.

"Dengar ya Mbak! Embak harus hati-hati sama Alifah, dia hanya ingin merongrong hartanya Gus Ibrahim, Mbak harus sadarkan Gus Ibrahim tentang semua ini! Jangan sampai Gus Ibrahim terlambat menyadari tabiat buruk istri keduanya itu!" nasehat Zafira kepada kakaknya. "Ingat Mbak! Ada Aisyah, Umar, Usman, dan bayi dalam kandungan Embak! Aku nggak rela kalau Alifah sampai menghancurkan kehidupan Embak dan keponakan-keponakanku!" tambah Zafira.

"Iya," terdengar suara Mbak Zahra lirih menjawab kata-kata Zafira.

Aku mulai mengatur nafasku, aku melangkah pelan menuju ke dalam kamar, agar mereka berdua tidak mengetahui kedatanganku.

Rasanya jiwaku terasa hancur, air mataku tetes demi tetes berjatuhan.

Aku sadari aku sudah menyakiti hati saudari-saudariku. Mbak Zahra yang saat ini sedang hamil delapan bulan, dan Zafira yang pasti sakit hati melihat kakak kandungnya dimadu.

Jujur hatiku terasa sakit saat mendengar percakapan mereka. Namun aku bisa apa, aku memang menikah dengan Gus Ibrahim karena sebuah uang dan pelunasan hutang-hutang ibuku, meski sedikitpun tidak terbersit dalam hatiku untuk merongrong harta suami dari kakak sepupuku itu.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status