Share

Part 6

Satu bulan sudah aku berada di rumah Gus Ibrahim, rumah yang mewah, lengkap dengan perabotan megah, taman yang asri dan indah, tapi bagaikan rumah di gurun pasir yang gersang bagiku.

Satu bulan ini Mbak Zahra bersikap dingin padaku, aku pahami sikapnya, kuposisikan diriku menjadi dirinya, andai saja aku adalah Mbak Zahra mungkin seperti itulah sikap yang akan aku berikan pada maduku yang dibawa oleh suamiku ke dalam rumahnya.

Apalagi keberadaanku yang saat ini semakin dekat dengan putra dan putri Mbak Zahra.

Sungguh hidupku serasa dilema, rasanya aku ingin lari, tapi aku sadari semua harus aku jalani, hingga tiba waktunya nanti aku pergi. Namun entah kapan itu akan terjadi.

Dan malam ini saat aku baru selesai sholat isyak. Kudengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.

Berlahan aku bangkit dari sajadah dan membuka pintu kamar.

Ternyata Gus Ibrahim sedang berdiri di depan pintu.

Segera aku persilahkan beliau untuk masuk ke dalam kamarku.

Jujur selama satu bulan ini Gus Ibrahim belum pernah menyentuhku, kesibukannya di luar kota, juga membuat aku dan dia jarang bertemu.

Aku terdiam dan mulai gelisah saat pria dewasa itu duduk di ranjang kamarku.

Dengan masih mengenakan mukenah, aku duduk di sebelahnya.

Kepalaku menunduk, jari-jemari kedua tanganku mulai bersatu dan saling meremas-remas. Sungguh aku begitu cemas.

"Bagaimana kabarmu? Betah tinggal di sini?" tanya Gus Ibrahim padaku.

"Iya," sahutku lirih dengan mengangguk.

"Kapan kamu mulai kuliah?" tanyanya kemudian.

"Dua hari lagi," sahutku.

"Jangan pikirkan soal uang kuliah, aku sudah buka tabungan untukmu, ini ATMnya, simpan baik-baik, nanti akan aku transfer setiap bulan uangnya padamu!" katanya dengan menjulurkan sebuah ATM beserta secarik kertas yang tertulis nomor pin ATM tersebut. "Dan ini uang bulananmu!" katanya lagi.

Aku terperangah saat menerima amplop dan kartu ATM itu. Sejenak aku terdiam, aku tidak pernah menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri meskipun dia hanya menikahiku di bawah tangan. Namun pria ini tetap memberikan hak-hak yang semestinya padaku.

Dengan keyakinan hati, aku kembalikan amplop dan kartu ATM itu padanya.

"Jika semua hak yang aku dapatkan setiap bulan ini bisa untuk mencicil hutang ibuku, aku berkenan mengabdi di rumah ini sampai hutang-hutang ibuku lunas, Gus!" kataku dengan mata berkaca-kaca.

Seketika aku berlutut di kakinya.

"Aku minta maaf Gus! Aku sudah berada dalam kebahagiaan keluarga Gus Ibrahim dan Mbak Zahra karena hutang-hutang ibu! Aku tidak pernah ingin menyakiti hati Mbak Zahra, tolong aku Gus! Biarlah aku menjadi abdi di rumah ini hingga hutang ibuku lunas, dan setelah itu lepaskanlah aku! Aku berjanji akan bekerja keras di rumah ini!" kataku menghiba padanya.

"Bangun!"

Gus Ibrahim menyentuh pundakku, dan memintaku untuk bangkit dari hadapannya.

"Aku pun tidak berniat untuk menikah denganmu," katanya kemudian. "Ibumu terlibat hutang dengan juragan Sarip, pemilik jagal sapi terbesar di pasar, dan juragan Sarip meminta kamu yang dijadikan jaminan jika hutang itu tidak bisa dibayar ditanggal jatuh temponya," cerita Gus Ibrahim padaku. "Mungkin Tuhan yang mengatur semuanya, tidak dapat aku bayangkan jika kamu dinikahi oleh juragan beristri lima itu, dan itulah yang membuat hatiku tergerak untuk membayar hutang ibumu, dan mengatakan padanya kalau aku yang akan menikahimu," jelasnya mengejutkanku. "Mungkin ini sudah jalan dari Tuhan, bahkan ketika aku meminta ijin pada Zahra, Zahra pun menyetujuinya," tambahnya.

Terlihat Gus Ibrahim menerangkan semuanya dengan menatap wajahku.

"Aku bisa memahami kesulitan hidup ibumu, dia membesarkan tiga anak yatimnya sendirian, mungkin dia ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan yang sama seperti anak saudara-saudaranya yang lain, hingga dia harus berhutang kesana kemari untuk mewujudkan keinginannya itu," katanya lagi.

"Tanpa ibu menyadari, bahwa sebenarnya ibu tidak mampu. Padahal, andai saja aku tidak sekolah, aku pun ikhlas," sahutku.

"Tapi semuanya telah terjadi," kata pria itu dengan menepuk pundakku. "Bersabarlah! Aku tidak akan pernah memaksamu!" kata lagi.

"Apa Mbak Zahra tahu tentang semua ini?" tanyaku.

"Tidak," katanya seraya tersenyum dan kemudian beranjak keluar dari kamarku.

Dan kulihat dia pun meninggalkan amplop beserta kartu ATM itu di ranjang tidurku.

Aku termangu. Sungguh sebenarnya niatnya menikahiku bukan karena nafsu, dia hanya ingin menyelamatkan masa depanku.

Ternyata Allah begitu menyayangiku, dengan caranya Allah menyelamatkan masa depanku, meskipun aku sadari ada hati yang tersakiti dengan kebaikan Gus Ibrahim itu.

Aku menghelan nafas, air mataku kembali mengalir deras, aku tidak ingin berlama-lama menjadi benalu di rumah ini, aku tidak boleh memanfaatkan kebaikan Gus Ibrahim padaku, aku harus berjuang keras untuk bisa segera melunasi hutang ibuku, agar aku segera bisa meninggalkan rumah ini dan tidak menyakiti hati Mbak Zahra lagi.

****

Hari ini telah berlalu, keesokan sorenya aku lihat Aisyah, Umar dan Usman sedang menunggu guru private mengajinya di ruang keluarga.

"Mas! Ustadzah Habibah nggak bisa datang lagi, sudah satu Minggu lo mas anak-anak nggak mengaji, kayaknya kita mesti cari guru private lagi untuk anak-anak!" keluh Mbak Zahra pada Gus Ibrahim yang saat itu sedang menemaninya duduk di ruang tengah.

Aku yang saat itu tengah menemani Aisyah mengerjakan PR mencoba menanggapi keluhan Mbak Zahra.

"Biar aku aja mbak yang ngajari anak-anak mengaji, aku bisa kok mbak, jadi Mbak Zahra nggak perlu keluarin uang untuk guru les lagi!" celetukku menawarkan diri pada Mbak Zahra untuk menjadi guru private mengaji anak-anaknya.

Seketika Mbak Zahra menoleh ke arahku, tatapan matanya begitu dingin. Ya Allah mungkin aku salah berkata hingga tatapan mata Mbak Zahra terlihat begitu kesal padaku.

"Tidak usah! Lagian besok kamu kan sudah kuliah! Jadi mana mungkin kamu punya waktu untuk mengajari anak-anakku!" jawabnya sedikit ketus.

"Iya Alifah, benar kata Mbak Zahra, kamu besok sudah mulai kuliah, konsentrasilah dengan kuliahmu! Lagian kita bisa carikan guru private baru buat anak-anak." Kulihat Gus Ibrahim mengatakan semua itu dengan tersenyum manis padaku.

Aku pun mengangguk, sembari kemudian meninggalkan pasangan suami istri yang tengah bercengkerama dengan anak-anaknya di ruang keluarga.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status