Satu bulan sudah aku berada di rumah Gus Ibrahim, rumah yang mewah, lengkap dengan perabotan megah, taman yang asri dan indah, tapi bagaikan rumah di gurun pasir yang gersang bagiku.
Satu bulan ini Mbak Zahra bersikap dingin padaku, aku pahami sikapnya, kuposisikan diriku menjadi dirinya, andai saja aku adalah Mbak Zahra mungkin seperti itulah sikap yang akan aku berikan pada maduku yang dibawa oleh suamiku ke dalam rumahnya.
Apalagi keberadaanku yang saat ini semakin dekat dengan putra dan putri Mbak Zahra.
Sungguh hidupku serasa dilema, rasanya aku ingin lari, tapi aku sadari semua harus aku jalani, hingga tiba waktunya nanti aku pergi. Namun entah kapan itu akan terjadi.
Dan malam ini saat aku baru selesai sholat isyak. Kudengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.
Berlahan aku bangkit dari sajadah dan membuka pintu kamar.
Ternyata Gus Ibrahim sedang berdiri di depan pintu.
Segera aku persilahkan beliau untuk masuk ke dalam kamarku.
Jujur selama satu bulan ini Gus Ibrahim belum pernah menyentuhku, kesibukannya di luar kota, juga membuat aku dan dia jarang bertemu.
Aku terdiam dan mulai gelisah saat pria dewasa itu duduk di ranjang kamarku.
Dengan masih mengenakan mukenah, aku duduk di sebelahnya.
Kepalaku menunduk, jari-jemari kedua tanganku mulai bersatu dan saling meremas-remas. Sungguh aku begitu cemas.
"Bagaimana kabarmu? Betah tinggal di sini?" tanya Gus Ibrahim padaku.
"Iya," sahutku lirih dengan mengangguk.
"Kapan kamu mulai kuliah?" tanyanya kemudian.
"Dua hari lagi," sahutku.
"Jangan pikirkan soal uang kuliah, aku sudah buka tabungan untukmu, ini ATMnya, simpan baik-baik, nanti akan aku transfer setiap bulan uangnya padamu!" katanya dengan menjulurkan sebuah ATM beserta secarik kertas yang tertulis nomor pin ATM tersebut. "Dan ini uang bulananmu!" katanya lagi.
Aku terperangah saat menerima amplop dan kartu ATM itu. Sejenak aku terdiam, aku tidak pernah menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri meskipun dia hanya menikahiku di bawah tangan. Namun pria ini tetap memberikan hak-hak yang semestinya padaku.
Dengan keyakinan hati, aku kembalikan amplop dan kartu ATM itu padanya.
"Jika semua hak yang aku dapatkan setiap bulan ini bisa untuk mencicil hutang ibuku, aku berkenan mengabdi di rumah ini sampai hutang-hutang ibuku lunas, Gus!" kataku dengan mata berkaca-kaca.
Seketika aku berlutut di kakinya.
"Aku minta maaf Gus! Aku sudah berada dalam kebahagiaan keluarga Gus Ibrahim dan Mbak Zahra karena hutang-hutang ibu! Aku tidak pernah ingin menyakiti hati Mbak Zahra, tolong aku Gus! Biarlah aku menjadi abdi di rumah ini hingga hutang ibuku lunas, dan setelah itu lepaskanlah aku! Aku berjanji akan bekerja keras di rumah ini!" kataku menghiba padanya.
"Bangun!"
Gus Ibrahim menyentuh pundakku, dan memintaku untuk bangkit dari hadapannya.
"Aku pun tidak berniat untuk menikah denganmu," katanya kemudian. "Ibumu terlibat hutang dengan juragan Sarip, pemilik jagal sapi terbesar di pasar, dan juragan Sarip meminta kamu yang dijadikan jaminan jika hutang itu tidak bisa dibayar ditanggal jatuh temponya," cerita Gus Ibrahim padaku. "Mungkin Tuhan yang mengatur semuanya, tidak dapat aku bayangkan jika kamu dinikahi oleh juragan beristri lima itu, dan itulah yang membuat hatiku tergerak untuk membayar hutang ibumu, dan mengatakan padanya kalau aku yang akan menikahimu," jelasnya mengejutkanku. "Mungkin ini sudah jalan dari Tuhan, bahkan ketika aku meminta ijin pada Zahra, Zahra pun menyetujuinya," tambahnya.
Terlihat Gus Ibrahim menerangkan semuanya dengan menatap wajahku.
"Aku bisa memahami kesulitan hidup ibumu, dia membesarkan tiga anak yatimnya sendirian, mungkin dia ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan yang sama seperti anak saudara-saudaranya yang lain, hingga dia harus berhutang kesana kemari untuk mewujudkan keinginannya itu," katanya lagi.
"Tanpa ibu menyadari, bahwa sebenarnya ibu tidak mampu. Padahal, andai saja aku tidak sekolah, aku pun ikhlas," sahutku.
"Tapi semuanya telah terjadi," kata pria itu dengan menepuk pundakku. "Bersabarlah! Aku tidak akan pernah memaksamu!" kata lagi.
"Apa Mbak Zahra tahu tentang semua ini?" tanyaku.
"Tidak," katanya seraya tersenyum dan kemudian beranjak keluar dari kamarku.
Dan kulihat dia pun meninggalkan amplop beserta kartu ATM itu di ranjang tidurku.
Aku termangu. Sungguh sebenarnya niatnya menikahiku bukan karena nafsu, dia hanya ingin menyelamatkan masa depanku.
Ternyata Allah begitu menyayangiku, dengan caranya Allah menyelamatkan masa depanku, meskipun aku sadari ada hati yang tersakiti dengan kebaikan Gus Ibrahim itu.
Aku menghelan nafas, air mataku kembali mengalir deras, aku tidak ingin berlama-lama menjadi benalu di rumah ini, aku tidak boleh memanfaatkan kebaikan Gus Ibrahim padaku, aku harus berjuang keras untuk bisa segera melunasi hutang ibuku, agar aku segera bisa meninggalkan rumah ini dan tidak menyakiti hati Mbak Zahra lagi.
****
Hari ini telah berlalu, keesokan sorenya aku lihat Aisyah, Umar dan Usman sedang menunggu guru private mengajinya di ruang keluarga.
"Mas! Ustadzah Habibah nggak bisa datang lagi, sudah satu Minggu lo mas anak-anak nggak mengaji, kayaknya kita mesti cari guru private lagi untuk anak-anak!" keluh Mbak Zahra pada Gus Ibrahim yang saat itu sedang menemaninya duduk di ruang tengah.
Aku yang saat itu tengah menemani Aisyah mengerjakan PR mencoba menanggapi keluhan Mbak Zahra.
"Biar aku aja mbak yang ngajari anak-anak mengaji, aku bisa kok mbak, jadi Mbak Zahra nggak perlu keluarin uang untuk guru les lagi!" celetukku menawarkan diri pada Mbak Zahra untuk menjadi guru private mengaji anak-anaknya.
Seketika Mbak Zahra menoleh ke arahku, tatapan matanya begitu dingin. Ya Allah mungkin aku salah berkata hingga tatapan mata Mbak Zahra terlihat begitu kesal padaku.
"Tidak usah! Lagian besok kamu kan sudah kuliah! Jadi mana mungkin kamu punya waktu untuk mengajari anak-anakku!" jawabnya sedikit ketus.
"Iya Alifah, benar kata Mbak Zahra, kamu besok sudah mulai kuliah, konsentrasilah dengan kuliahmu! Lagian kita bisa carikan guru private baru buat anak-anak." Kulihat Gus Ibrahim mengatakan semua itu dengan tersenyum manis padaku.
Aku pun mengangguk, sembari kemudian meninggalkan pasangan suami istri yang tengah bercengkerama dengan anak-anaknya di ruang keluarga.
Bersambung
Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan."Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.
Pagi ini setelah bersiap untuk berangkat ke kampus, aku ikut sarapan bersama keluarga."Bagaimana kuliah kamu Alifah?" tanya Gus Ibrahim padaku."Alhamdulillah, ujian semester satu sudah selesai Gus, ini transkip nilainya sudah keluar," kataku seraya membuka tas yang ada di pangkuanku untuk mengambil transkip nilai yang ada dalam tasku.Kutunjukkan hasil belajarku itu pada Gus Ibrahim, dan kulihat dia pun mempelajari nilai-nilai hasil belajarku dengan seksama."Bagus!" katanya seraya tersenyum dengan mengembalikan transkip nilai itu padaku. "Apa kamu ikut kegiatan organisasi di kampus?""Iya Gus," jawabku seraya mengangguk. Kemudian melanjutkan kembali sarapan pagiku.Setelah sarapan selesai aku membantu bibik merapikan piring-piring kotor yang ada di meja, sebelum aku berangkat ke kampus.Seperti biasa, aku lihat wajah sikap Mbak Zahra selalu dingin padaku. Aku mencoba mengabaikan semua itu, aku mencoba memahaminya, karena mungkin me
Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.Dan belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di ranjang kamarku."Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum."Baik," jawabku singkat seraya duduk di hadapannya."Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya."Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku."Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh curiga."Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku."Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan alisnya. "Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus I
Keesokan harinya sepulang dari kampus kudengar suara Zafira diruang keluarga sedang berbincang dengan Mbak Zahra, sepertinya dia sedang mengunjungi kakaknya tersebut."Mbah Zahra sudah bilang sama suami mbak kan, tentang kelakuan istri keduanya itu?""Udah," jawab Mbak Zahra."Mbak udah kasih fotonya juga kan?""Udah,""Gimana kata Gus Ibrahim? Pasti Gus Ibrahim menyesal sudah menikahi wanita nggak bener itu," kata Zafira. "Untung aja aku sama temen-temen aku makan di restoran itu, jadi bisa mergoki wanita sok alim itu jalan berdua sama om-om," lanjut Zafira. "Memang benar-benar ya mbak Alifah itu, nggak nyangka aku dia tega nikam saudaranya sendiri." Kudengar Zafira sangat emosi saat membicarakan tentang diriku pada mbak Zahra."Aku heran Fir, Gus Ibrahim sama sekali nggak marah sama Alifah, sepertinya Gus Ibrahim juga nggak percaya sama foto yang kamu kirim ke aku ini," sahut Mbak Zahra tanpa semangat.Aku menghelan nafas panjang da
Tidak terasa air mataku terjatuh saat mendengarkan kata-kata Mbak Zahra, mungkin baginya diriku ini begitu hina, hingga dia tidak mau menerima transfusi darah dariku.Kuhapus air mata yang terjatuh di pipiku ini, dan kemudian segera mengikuti langkah dokter.Aku tidak memperdulikan pemikiran Mbak Zahra terhadapku, yang aku pikirkan saat ini hanyalah keselamatannya, biarlah dia berfikir seperti itu padaku, karena selama ini aku memang telah menyakiti hatinya.Akhirnya transfusi darah pun dilakukan, aku tetap mendonorkan darahku untuk Mbak Zahra, meskipun Mbak Zahra menolaknya, karena Gus Ibrahim juga telah mengizinkan aku untuk melakukan semua itu.Saat ini aku masih berada di atas bad rumah sakit setelah melakukan transfusi darah, dan kudengar dokter menyarankan agar operasi Caesar dilakukan, karena ketuban di rahim Mbak Zahra telah pecah.Sungguh aku merasa bersalah dengan kondisi Mbak Zahra dan bayinya, mungkin semua ini terjadi karena diriku, an
Tak terasa hari demi hari berganti, bulan demi bulan bertambah, dan tahun demi tahun berlalu, masih tidak ada yang berubah dengan kehidupanku.Sudah hampir empat tahun aku berada di rumah Gus Ibrahim, sikap Mbak Zahra masih sama padaku, dingin dan sinis. Ya sudahlah, aku terima perlakuannya itu, karena usahaku untuk melunasi hutangku pada Gus Ibrahim pun belum terealisasi, namun aku yakin, pada saatnya nanti tuhan akan kabulkan doaku untuk pergi dari rumah ini entah dengan caranya yang bagaimana, karena sejuta usaha dan doa selalu aku panjatkan untuk bisa keluar dari rumah ini tanpa beban hutang dan dosa.Kini usia Aisyah sudah 16 tahun. Dia telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan juga Salehah. Sekolah di sekolah Islam favorit dengan pendidikan full day school, dan dengan prestasi yang membanggakan.Begitu juga dengan Umar dan Usman diapun tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar, dan rajin belajar.Sementara bayi mungil yang dilahirkan Mbak Zahr
Akhirnya operasi transplantasi ginjal pun dilakukan, aku dan Aisyah melakukan puasa selama kurang lebih delapan jam sebelum operasi ini dilakukan.Dalam kegugupan, aku mencoba menenangkan diri, menenangkan pikiran, memasrahkan semua pada tuhan, agar operasi ini dapat berjalan lancar.Dengan Rahmad dan ridho Allah akhirnya operasi ini pun berjalan lancar. Alhamdulillah tubuh Aisyah dapat menerima ginjal yang telah aku donorkan.Dan saat ini aku masih berada di rumah sakit, di atas bad kamar pasien untuk pemulihan paska operasi.Kulihat Gus Ibrahim dan Mbak Zahra masuk ke dalam kamarku."Bagaimana keadaanmu?" tanya Mbak Zahra dengan ramah padaku."Aku sehat kok mbak, sudah lebih baik," kataku pada Mbak Zahra dengan tersenyum, seraya berusaha bangkit untuk duduk tegak dari posisiku yang semula berbaring.Saat ini aku memang merasa sehat meskipun hidup dengan satu ginjal. Kalaupun aku masih dirawat di rumah sakit, itu karena jahitan di pe
Hari terus berganti, kini aku telah selesai diwisuda. Aku telah menjadi sarjana dan aku telah siap untuk mengamalkan ilmuku."Nak, adikmu Asyifa, sudah ada yang melamar, bagaimana menurutmu?" tanya ibu saat kami berdua makan siang."Alhamdulillah, diterima saja bu jika Syifa setuju," jawabku."Kamu bagaimana?" tanya ibu dengan menggenggam tanganku. "Masak adikmu melangkahi kamu untuk menikah dulu," lanjutnya."Ibu, ibu lupa kalau aku sudah pernah menikah," jawabku. "Aku bahagia jika adikku sudah ada yang menghitbah, aku juga senang jika ada yang ingin segera dihalalkannya," jawabku sembari tersenyum.Ibuku terlihat membalas senyumku."Ibu, jika nanti Asyifa jadi menikah, acara pernikahannya, sederhana saja ya, jangan sampai ibu menghutang lagi!" kata Alifah dengan menyentuh tangan ibunya."Iya," sahut ibunya dengan mengangguk."Tapi, bagaimana dengan kuliah Asyifa bu, dia kan masih semester dua?" tanyaku."Kata nak Iqbal