Share

Part 6

Author: Anis _Mo
last update Last Updated: 2021-09-25 21:00:15

Satu bulan sudah aku berada di rumah Gus Ibrahim, rumah yang mewah, lengkap dengan perabotan megah, taman yang asri dan indah, tapi bagaikan rumah di gurun pasir yang gersang bagiku.

Satu bulan ini Mbak Zahra bersikap dingin padaku, aku pahami sikapnya, kuposisikan diriku menjadi dirinya, andai saja aku adalah Mbak Zahra mungkin seperti itulah sikap yang akan aku berikan pada maduku yang dibawa oleh suamiku ke dalam rumahnya.

Apalagi keberadaanku yang saat ini semakin dekat dengan putra dan putri Mbak Zahra.

Sungguh hidupku serasa dilema, rasanya aku ingin lari, tapi aku sadari semua harus aku jalani, hingga tiba waktunya nanti aku pergi. Namun entah kapan itu akan terjadi.

Dan malam ini saat aku baru selesai sholat isyak. Kudengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.

Berlahan aku bangkit dari sajadah dan membuka pintu kamar.

Ternyata Gus Ibrahim sedang berdiri di depan pintu.

Segera aku persilahkan beliau untuk masuk ke dalam kamarku.

Jujur selama satu bulan ini Gus Ibrahim belum pernah menyentuhku, kesibukannya di luar kota, juga membuat aku dan dia jarang bertemu.

Aku terdiam dan mulai gelisah saat pria dewasa itu duduk di ranjang kamarku.

Dengan masih mengenakan mukenah, aku duduk di sebelahnya.

Kepalaku menunduk, jari-jemari kedua tanganku mulai bersatu dan saling meremas-remas. Sungguh aku begitu cemas.

"Bagaimana kabarmu? Betah tinggal di sini?" tanya Gus Ibrahim padaku.

"Iya," sahutku lirih dengan mengangguk.

"Kapan kamu mulai kuliah?" tanyanya kemudian.

"Dua hari lagi," sahutku.

"Jangan pikirkan soal uang kuliah, aku sudah buka tabungan untukmu, ini ATMnya, simpan baik-baik, nanti akan aku transfer setiap bulan uangnya padamu!" katanya dengan menjulurkan sebuah ATM beserta secarik kertas yang tertulis nomor pin ATM tersebut. "Dan ini uang bulananmu!" katanya lagi.

Aku terperangah saat menerima amplop dan kartu ATM itu. Sejenak aku terdiam, aku tidak pernah menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri meskipun dia hanya menikahiku di bawah tangan. Namun pria ini tetap memberikan hak-hak yang semestinya padaku.

Dengan keyakinan hati, aku kembalikan amplop dan kartu ATM itu padanya.

"Jika semua hak yang aku dapatkan setiap bulan ini bisa untuk mencicil hutang ibuku, aku berkenan mengabdi di rumah ini sampai hutang-hutang ibuku lunas, Gus!" kataku dengan mata berkaca-kaca.

Seketika aku berlutut di kakinya.

"Aku minta maaf Gus! Aku sudah berada dalam kebahagiaan keluarga Gus Ibrahim dan Mbak Zahra karena hutang-hutang ibu! Aku tidak pernah ingin menyakiti hati Mbak Zahra, tolong aku Gus! Biarlah aku menjadi abdi di rumah ini hingga hutang ibuku lunas, dan setelah itu lepaskanlah aku! Aku berjanji akan bekerja keras di rumah ini!" kataku menghiba padanya.

"Bangun!"

Gus Ibrahim menyentuh pundakku, dan memintaku untuk bangkit dari hadapannya.

"Aku pun tidak berniat untuk menikah denganmu," katanya kemudian. "Ibumu terlibat hutang dengan juragan Sarip, pemilik jagal sapi terbesar di pasar, dan juragan Sarip meminta kamu yang dijadikan jaminan jika hutang itu tidak bisa dibayar ditanggal jatuh temponya," cerita Gus Ibrahim padaku. "Mungkin Tuhan yang mengatur semuanya, tidak dapat aku bayangkan jika kamu dinikahi oleh juragan beristri lima itu, dan itulah yang membuat hatiku tergerak untuk membayar hutang ibumu, dan mengatakan padanya kalau aku yang akan menikahimu," jelasnya mengejutkanku. "Mungkin ini sudah jalan dari Tuhan, bahkan ketika aku meminta ijin pada Zahra, Zahra pun menyetujuinya," tambahnya.

Terlihat Gus Ibrahim menerangkan semuanya dengan menatap wajahku.

"Aku bisa memahami kesulitan hidup ibumu, dia membesarkan tiga anak yatimnya sendirian, mungkin dia ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan yang sama seperti anak saudara-saudaranya yang lain, hingga dia harus berhutang kesana kemari untuk mewujudkan keinginannya itu," katanya lagi.

"Tanpa ibu menyadari, bahwa sebenarnya ibu tidak mampu. Padahal, andai saja aku tidak sekolah, aku pun ikhlas," sahutku.

"Tapi semuanya telah terjadi," kata pria itu dengan menepuk pundakku. "Bersabarlah! Aku tidak akan pernah memaksamu!" kata lagi.

"Apa Mbak Zahra tahu tentang semua ini?" tanyaku.

"Tidak," katanya seraya tersenyum dan kemudian beranjak keluar dari kamarku.

Dan kulihat dia pun meninggalkan amplop beserta kartu ATM itu di ranjang tidurku.

Aku termangu. Sungguh sebenarnya niatnya menikahiku bukan karena nafsu, dia hanya ingin menyelamatkan masa depanku.

Ternyata Allah begitu menyayangiku, dengan caranya Allah menyelamatkan masa depanku, meskipun aku sadari ada hati yang tersakiti dengan kebaikan Gus Ibrahim itu.

Aku menghelan nafas, air mataku kembali mengalir deras, aku tidak ingin berlama-lama menjadi benalu di rumah ini, aku tidak boleh memanfaatkan kebaikan Gus Ibrahim padaku, aku harus berjuang keras untuk bisa segera melunasi hutang ibuku, agar aku segera bisa meninggalkan rumah ini dan tidak menyakiti hati Mbak Zahra lagi.

****

Hari ini telah berlalu, keesokan sorenya aku lihat Aisyah, Umar dan Usman sedang menunggu guru private mengajinya di ruang keluarga.

"Mas! Ustadzah Habibah nggak bisa datang lagi, sudah satu Minggu lo mas anak-anak nggak mengaji, kayaknya kita mesti cari guru private lagi untuk anak-anak!" keluh Mbak Zahra pada Gus Ibrahim yang saat itu sedang menemaninya duduk di ruang tengah.

Aku yang saat itu tengah menemani Aisyah mengerjakan PR mencoba menanggapi keluhan Mbak Zahra.

"Biar aku aja mbak yang ngajari anak-anak mengaji, aku bisa kok mbak, jadi Mbak Zahra nggak perlu keluarin uang untuk guru les lagi!" celetukku menawarkan diri pada Mbak Zahra untuk menjadi guru private mengaji anak-anaknya.

Seketika Mbak Zahra menoleh ke arahku, tatapan matanya begitu dingin. Ya Allah mungkin aku salah berkata hingga tatapan mata Mbak Zahra terlihat begitu kesal padaku.

"Tidak usah! Lagian besok kamu kan sudah kuliah! Jadi mana mungkin kamu punya waktu untuk mengajari anak-anakku!" jawabnya sedikit ketus.

"Iya Alifah, benar kata Mbak Zahra, kamu besok sudah mulai kuliah, konsentrasilah dengan kuliahmu! Lagian kita bisa carikan guru private baru buat anak-anak." Kulihat Gus Ibrahim mengatakan semua itu dengan tersenyum manis padaku.

Aku pun mengangguk, sembari kemudian meninggalkan pasangan suami istri yang tengah bercengkerama dengan anak-anaknya di ruang keluarga.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Madu   Bab 35 (Periksa ke Dokter)

    Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta

  • Menjadi Madu   Bab 34 (Sikap Mertua)

    Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele

  • Menjadi Madu   Bab 33 (Pernikahan)

    Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh

  • Menjadi Madu   Bab 32 (Rencana Pernikahan)

    Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena

  • Menjadi Madu   Bab 31 (Dilamar)

    Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang

  • Menjadi Madu   Bab 30

    Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status