"PAPA … PAPA … MAMA MANA, NANA INGIN BERTEMU MAMA …." Teriak Nana, saat aku dan Anton keluar dari ruang operasi, karena Nia harus segera dimakamkan.
Anton disampingku hanya bisa bergeming untuk menjawab pertanyaan dan permintaan sederhana Nana.
Disini pertahanan iman ku benar-benar runtuh saat melihat air mata tidak berdosa Nana, gadis sekecil dia telah kehilangan sosok seorang ibu hebat hanya karena diriini.
Rasa sesal di hatiku kian menggila hingga dada ini sesak, nafasku tidur teratur jika harus membayangkan bagaimana anak-anakku kelak, bagaimana jika mereka merindukan ibunya, aku tidak kuat, rasanya aku ingin menyusul Nia.
"Papa, Mama mana?" Nana mengulang pertanyaannya lagi.
Ema yang mendampingi Nana mengusap lembut rambut panjangnya agar ia tenang dan tidak menangis histeris.
"Apa yang terjadi, Mas?"tanya Ema dengan penasaran sembari mempertahankan wajah kami berdua.
"Dan kau? Apa yang kau lakukan di sini? Tidak cukupkan kau menghina Nia kemarin dan kini kau ingin mendambahnya lagi! " Cecar Ema kesal.
Anton dengan cepat menenangkan Ema agar tidak terjadi keributan di sini.
Aku sadar, semua kesalahan ku, aku menuduhkan semua itu hanya semata-mata mengungkapkan kekesalan dan sedikit menutupi keburukkan yang telah aku lakukan, tapi percuma semua sudah terbongkar, dan apa yang Ema katakan benar. Akulah yang berkhianat sejak awal.
"Cukup sayang, tenangkan dirimu. " Anton membujuk Ema agar tidak lagi mengeluarkan kata-kata kasar.
"Tapi mas! " Protes Ema kesal.
"Mas mengerti sayang, tapi semua itu tidak penting kini, karena yang terpenting kita harus bisa menenangkan Nana. "
Akhirnya Ema diam sembari menatap Nana iba, sepertinya Ema mengerti apa yang Anton katakan.
"Hiks hiks ... Apa Mama sudah pergi beristirahat paman? Hiks … hiks ... Apa Mama sudah meninggalkan Nana, hiks … hiks …. " Isak Nana memeluk Ema erat sembari terus menangis.
Aku tidak bisa menggambarkan kehancuran hati ini saat melihat keadaan anakku yang terpuruk. Aku tidak menyangka jika Nana juga telah mengetahui semua ini sejak awal.
"Nak, kemarilah sayang. " Panggil ku parau, karena Nana masih menangis di dalam pelukan Ema.
Nana terlihat menggeleng tanda ia menolak ku, seperti inikah rasanya diabaikan Tuhan. Batin ku meronta.
Akhirnya aku sadar, aku benar-benar tidak berguna, aku hanya bisa mendatangkan malapetaka yang merenggut semuanya, aku serasa seperti penjahat di mata anakku sendiri, kaki ku lunglai, aku terduduk di lantai karena beban ini benar-benar menghancurkan mentalku.
"Hiks ... Maafkan Papa, nak. Maafkan Papa, Papa sadar Papa yang bersalah, maafkan Papa sayang. Maaf maaf maaf. " Isakku dalam sesal, bersalah. Air mata ini luruh tidak terkendali saat aku mengingat semua kesalahan yang aku lakukan pada mereka dulu.
"Nana tidak boleh seperti ini sayang, Nana lihat Papa begitu menyayangimu."Bujuk Ema sabar, dan aku bisa mendengarnya. Tapi aku tidak menempatkan harapan apapun, karena aku sadar Nana pasti sangat membenciku setelah apa yang aku lakukan padanya.
" Tapi Bibi, bukan kah Papa sudah jahat, dan Bibi juga sangat marah pada Papa? "
Hatiku sangat terluka saat mendengar ungkapan Nana prihal semua kejahatan yang aku lakukan padanya dan Nia.
"Dengar sayang, semua orang memiliki kesalahan dan keburukkan, begitu juga dengan Papa mu, tapi setiap orang juga memiliki titik kesadaran sayang, dan kini Papa mu mengalaminya. Nana harus ingat pesan Mama, jika Nana tidak boleh membenci Papa. "Tutur Ema sabar.
Aku hanya bisa tergugu mendengarkan semua itu, karena di sini aku tidak memiliki kuasa untuk memaksakan keadaan apalagi keinginan ini.
" Pa … "
Aku cukup terkejut, karena aku pikir Nana akan membenciku, tapi semua prasangka ini salah, bahkan aku tidak sadar kini ia berdiri di hadapan ku sembari menyusut air mata ini.
Tubuh ku gemetar saat memeluknya, pelukan untuk sekian lama setelah aku berangkat ke Cinta padanya.
"Hiks ... Hiks ... Maaf nak ... Maafkan Papa sayang." Hanya kata ini yang bisa ku ungkapkan, karena rasa sesal semakin menyeruak di dalam diri ini.
"Nana sudah memaafkan Papa sejak lama, karena kata Mama marah pada orang itu tidak boleh, apalagi itu pada Papa sendiri, jadi Papa jangan menangis lagi, ya."
Aku benar-benar malu saat mendengar penuturan polos Nana, karena ia begitu tulus dan baik, berbeda dengan ku sebelum mengetahui semua ini. Yang ada di dalam diri ini hanya ketidakpuasan dan keinginan tiada ujung.
Kini aku sadar, Nia adalah segalanya dia adalah contoh teladan yang sangat baik dan Mulia. Contohnya saja Nana dia begitu mirip seperti Nia, dari kata dan sifat pemaaf yang ia miliki, aku benar-benar malu padanya.
Kuperhatikan wajah Nana, tidak ada sedikitpun jurat kesedihan seperti diriku, karena yang ada padanya hanya kekuatan, sungguh didikan Nia mengubah sosok gadis kecil seperti Nana bisa bersikap dewasa seperti ini.
"Nama sempat berpesan, agar kita semua harus kuat Papa." Tambah Nana, aku tergelak dalam malu karena begitu lemah dan terpuruk.
"Jangan menangis lagi Pa, biarkan Mama tenang. Allah lebih sayang Mama."
Ku usap air mata ini lalu menghela nafas dalam.
Yah, aku harus kuat seperti apa yang Nia pinta, aku harus kuat seperti Nana.
"Eemb, Nana benar, kita harus kuat sayang, "balasku mencoba kuat dan tabah menghadapi semua ini.
Nila pov) Cukup lama aku aku mencoba memejamkan mata, tapi mata ini enggan untuk terlelap, jangankan untuk terlelap, rasa kantuk pun enggan hinggap padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi mata ini tetap tidak mau terpejam dan tidur setelah kejadian tadi. Aahh… dia memang selalu membuat ku ingin gila. Batin ku bersua jika mengingat semua kejadian demi kejadian bersangkutan dengannya. Kriit!Pintu terbuka, orang yang aku pikirkan sejak tadi kini masuk dan menghampiri ku. "Kenapa kau tidak tidur? " tegurnya basa basi. Ku tatap mata hitamnya dengan lekat, apa dia tidak sedang mengigau? Kenapa malam-malam seperti ini kemari. "Kau sendiri? Kenapa kesini? " balas ku cuek, aku sengaja bersikap seperti ini karena aku tidak ingin dia menganggapku mudah terpengaruh, mengingat dia tahu siapa aku ini, dan aku juga memang ingin berubah menjadi yang lebih baik demi ibuku. "Apa salahnya? " balasannya merasa tidak bersalah. "Bay, apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan? " tany
(Pov Bayu) Aku semakin merasa serbasalah, karena setelah kejadian tadi siang, Nila tidak bertegur sapa dengan ku, jangankan bertegur sapa, saat makan malam bersama Nila tidak adanya percakapan di antara mereka begitu juga Nana, gadisku seolah-olah sengaja mendiamkan aku setelah kejadian tadi. Setelah makan malam mereka berdua berlalu begitu saja kembali ke kamar, aku semakin bingung harus melakukan apa, karena aku tahu semua ini adalah kesalahan ku, semua berawal dari diriku. Andaikan aku tidak membawa masuk Mona ke dalam keluarga ini, semuanya tidak akan pernah terjadi. "Hahhh…." Kuhela nafas dalam sembari menatap langit langit ruang makan setelah aku sendirian di sini. "Lebih baik, bapak susul nak Nila. "Aku menoleh di mana bi Ijah berdiri di sampingku, karena ia tengah membereskan makan malam yang sudah usai. "Saya takut bi, " lirih ku jujur, karena aku memang sedikit takut saat melihat reaksi Nila saat membalas perlakuan Mona. "Saya yakin Tuan, nak Nila tidak seperti itu, d
Hari semakin sore, Nana mulai merasa jenuh di kamar, karena ia hanya menghabiskan waktu untuk menggambar dan belajar bersama Nila. "Ma… Nana bosan. "Nila yang tengah mengganti pokok Hafiz menatap wajah memelas Nana lalu tersenyum gemas. "Oooh… bosan? "Nana mengangguk membenarkan lalu menutup buku gambarnya. "Baiklah, sekarang Nana turun ke bawah saja, ya. Nanti Mama susul, adik Hafiz lapar, setelah urusan Mama selesai, Mama akan susul Nana di bawah. "Nana mengangguk lalu dengan senang memungut satu boneka kesayangannya dan membawanya lebih dulu ke lantai bawah. Dengan langkah riang Nana menuruni tangga, sembari bernyanyi-nyanyi, karena memang jam seperti ini semua pembantu yang bekerja di rumah itu sedang sibuk melakukan tugas mereka, Nana melangkah dengan hati-hati hingga ia sampai di lantai bawah dan disana tatapannya tidak sengaja tertuju pada seorang wanita yang selama ini pergi dari rumah, wanita itu kini tengah menyeret koper besar di tangannya dengan omelan dan ocehan se
Suara riuh di ruang makan pasti terjadi di pagi hari, saat Nana menolak babysitter menyuapi nya sarapan, karena Nana hanya ingin makan satupun sarapan bersama Nila, wanita yang mirip dengan ibunya. Tapi karena kesibukan Nila mengurus Hafiz, dengan terpaksa ia mengabaikan Nana terlebih dahulu, karena Hafiz pagi ini juga tidak mau bersama babysitter. "Bersama, nenek saja, ya. Bukan kah Nana harus segera ke sekolah. " Bujuk bi Ijah mengambil alih piring sarapan Nana dari babysitter. "Tidak mau, Nana maunya sama, mama… . "Rengek Nana memalas,karena Nila masih di kamar belum bergabung dengan mereka di meja makan sarapan. " Tapi, sayang. Mama sedang menjaga adik Hafiz, Nana sama nenek dulu, ya. "Nana menggeleng cepat menolak, bi Ijah menghela nafas dalam karena selama ini memang Nana dan Hafiz sangat sulit dikendalikan jika tidak bersama Nila. "Pokoknya, Nana mau mama, Nana mau makan bersama Mama saja, titik. " Sentak Nana sembari menghentakkan kakinya ke lantai. Bayu yang baru bergab
Sementara di kamar lain Bayu menangis sejadi-jadinya saat ingatannya terus tertuju pada Nia, karena rasa bersalah dan sesal semakin bertambah setelah kejadian tadi, ia kembali melakukan pengkhianatan untuk kesekian kalinya pada Nia istrinya, padahal Bayu telah berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berubah dan memulainya dari awal agar menjadi diri dan pribadi yang lebih baik lagi untuk anak-anak mereka, meski sosok yang harus dirinya perjuangkan tidak lagi bersamanya, tapi Bayu sudah bertekad untuk terus menembus semua dengan caranya selalu setia pada Nia. Akan tetapi malam ini ia kembali mengulang kesalahan yang sama, kesalahan yang seharusnya tidak ia lakukan, yang lebih parahnya lagi dirinya tidak bisa membedakan Nia dan orang lain. "Hiks… Maaf sayang, hiks... Maafkan aku. Hiks... " Isak Bayu dalam penyesalan terdalamnya sembari meringkuk di atas tempat tidur. "Aku, hiks… tidak mengerti, hiks… apa yang sebenarnya terjadi. Hiks... Dan rencana apa ini, hiks... Kenapa dia begitu mi
Minggu-minggu berganti begitu cepat, Nila sangat menikmati hari-harinya setelah bekerja menjadi babysitter Nana dan Hafiz, bahkan ia selalu sukses menggoda Bayu saat mereka sedang berdua, meski sejujurnya Nila melakukan semua itu tidak lebih agar bisa membuat perasaan bersalah Bayu sedikit berkurang, karena dari iris mata duda tampan itu setiap memandangnya menyiratkan penyesalan yang mendalam dan kesedihan. Itu sebabnya Nila selalu melancarkan aksinya menggoda majikannya itu, meski ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, jika dirinya cukup tertarik dengan duda beranak dua itu.Akan tetapi Nila memiliki batasan, dirinya sadar jika semua itu tabu untuknya terus melangkah, itu sebabnya Nila memilih menikmati keadaan yang tercipta setiap kali ia menggoda Bayu. Seperti malam ini, Bayu menemani Nana sebentar di kamar mereka, karena Nila tengah menyusui Hafiz, Bayu tidak ingin membuat membuat Nila kelelahan menjaga kedua anaknya, itu sebabnya ia turun tangan langsung mengurus Nana sa
( Pov author) Nila melahap makan siangnya dengan terburu-buru, karena Hafiz begitu rewel dan selalu menangis jika tidak berada di pelukannya. " Pelan-pelan nak Nila. "Tegur bisa Ijah agar Nila tidak makan dengan tergesa-gesa. Nila sesekali melirik Hafiz yang tengah menangis di dalam gendongan babysitter yang sudah 3 bulan bekerja, tapi tetap saja bayi mungil itu tidak tenang dan tidak bisa di bujuk. " Tuhan, apa Hafiz selalu seperti ini bibi? "Nila dengan terburu-buru menelan nasinya setelah bertanya. " Yah, tapi setelah kau datang. Hafiz semakin menjadi. "Keluh Ijah jujur, karena setelah kedatangan Nila kemarin, kedua anak yang selama ini mereka rawat hanya tenang saat bersama Nila. " Tapi kenapa bibi? "Heran Nila. Bisa Ijah menghela nafas dalam sembari menatap Nila " Mungkin karena wajahmu begitu mirip dengan mama mereka. "Ijah tidak memungkiri jika Nila benar-benar mirip dengan Nia, mendiang ibu Nana dan Hafiz. "Ooohh Tuhan anak ini." Keluh babysitter kelelahan lalu duduk b
Bayu membuka pintu kamar kedua anaknya tanpa permisi, hingga dirinya sendiri terkejut begitu juga dengan Nila, karena Nila baru saja keluar dari kamar mandi, bahkan ia hanya menggunakan handuk sebagai penutup tubuhnya. "Bisa kah kau masuk mengetuk pintu dulu. " Ketus Nila, meski ia sudah terbiasa berdekatan desa laki-laki tidak ia kenal, tapi jika harus dikagetkan seperti ini ia merasa tidak nyaman. Bayu menelan salivanya berat, saat tatapannya tidak sengaja berserobok dengan Nila, karena pagi ini wanita yang mirip dengan istrinya itu sangat berbeda dan sangat cantik. "Errr… i_itu_ ma_af Nila, saya hanya ingin memastikan keadaanmu. Ap_apa kamu baik-baik saja?"Nila menaikan satu alisnya heran, karena Bayu terlihat gugup dan berbicara tergagap-gagap. "Aku baik-baik saja kan pak tampan? Kau terlihat tidak sehat, ada apa? " Penasaran Nila sembari berjalan mendekati Bayu, karena hanya diam tidak bisa bergerak, ia seperti terhipnotis saat menatapnya. "Ba_baguslah, saya lega mendengarn
Nana duduk cantik di samping Bayu yang tengah menyantap sarapannya. Bayu sesekali melirik wajah polos Nana, karena gadis kecil itu seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ada apa sayang? " Penasaran Bayu, Nana menatapnya sekilas lalu menggeleng kecil. "Nana yakin? " Ulang Bayu. Nana dengan cepat mengangguk menyakinkan meski kejadian tadi benar-benar membuat dirinya terkejut. "Baiklah." Menyerah Bayu lalu kembali melanjutkan sarapannya, sembari sesekali menatap keseriusan Nana saat sarapan, karena wajah polosnya terlihat sangat menggemaskan saat berpikir. "Nana harus ingat, ya. Saat pulang Nana harus menunggu jemputan dari rumah, jangan pergi kemana-mana atau pulang bersama orang lain apalagi yang tidak dikenal, sayang. " Nana menatap wajah serius sang ayah, karena selama tinggal bersama sang ayah begitu protektif padanya, bahkan ia sudah sangat hafal dengan kalimat tersebut, karena setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah Bayu selalu mengingatkan dirinya akan hal itu. "Oya, dan satu