“Taruh aja barang-barang gue di dekat meja, Yun. Lo nggak perlu bongkar koper gue segala.”Seruan itu refleks Rona lontarkan begitu mendengar suara pintu terbuka dan koper yang diseret masuk. Mengingat obrolannya dengan Yuyun soal barang pribadinya dari apartemen lama, ia langsung menganggapnya demikian. “Ini tinggal bilas hair mask, lo bisa istirahat di kamar tanpa nunggu gue,” sahut Rona saat merasa Yuyun masih ada di kamarnya karena pintu belum ditutup. Rona melilit rambutnya menggunakan handuk terlebih dahulu, baru kemudian mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya yang basah. Ia berdiri di depan wastafel dengan cermin besar yang memantulkan dirinya.Rona berniat mengeringkan rambut dengan hair dryer, tapi perasaannya tak enak karena menyadari Yuyun belum pergi dari kamar. Ia khawatir jika manajernya itu harus turun tangan membenahi barang-barangnya. Sampai kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan menangkap perawakan tinggi besar dengan kemeja putih tengah berdiri di dekat je
Rona baru saja memasuki kamar mandi apartemen dan berniat membasuh wajah, begitu mendatangi apartemen yang dihuninya bersama sang kekasih. Niatnya terjeda lantaran perhatiannya terpaku pada benda kecil yang mencolok.Ia meraihnya perlahan dengan tangan gemetar. Hatinya gelisah, tapi tetap berusaha berpikir positif di tengah kegilaan momen itu.Testpack. Garis dua tebal. Rona menelan ludah. Seumur-umur ia baru melihat benda itu dengan hasil positif. Sebelumnya ia hanya melihatnya di layar televisi atau tontonan drama kesukaan.“Jeff!” teriaknya langsung, memanggil nama kekasihnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi. “Jeffrian!”Rona seperti kesetanan, memindai seluruh ruangan agar cepat menemukan Jeff. Ketika mendapati ruang tengah kosong, ia melangkah ke kamar utama. Tepat saat ia akan meraih kenop, sosok yang dicari muncul dengan wajah tanpa dosa.“Kenapa, sih, pakai teriak segala? Aku di sini, nggak budeg!” dengkus pria itu. “Baru sampai apartemen bukannya salam, malah asal ter
“Minum.”Sebotol air mineral disodorkan ke arahnya. Namun Rona masih terdiam, menatap telapak tangan dan beberapa luka karena kecerobohannya sendiri.Kalau saja ia bisa menahan diri untuk tidak mengamuk dan menghancurkan barang-barang di unit apartemennya tadi, mungkin ia tidak kesakitan seperti ini.“Abis diselingkuhi brondong nggak buat lo jadi budek kan, Na?” Yuyun, manager yang kini merangkap sebagai asistennya juga melempar sindiran.Rona berdecak. Bukan karena pedih di telapak tangannya, melainkan kejengkelan yang belum reda. “Lo nggak ada wine atau minuman yang lebih enak dari ini?” Ia menatap botol pemberian Yuyun dengan malas.Daripada air mineral, Rona lebih membutuhkan minuman yang menyegarkan. Setidaknya wine atau vodka lebih berguna melegakan pikirannya yang semrawut ini.Yuyun menoyor kepalanya pelan. “Udah bagus lo nggak dituntut karena rusak properti orang, masih aja mau buat masalah?”“Gue?” Rona mendelik tak terima. “Jelas-jelas lo tahu, apartemen itu punya gue, ata
Keadaan kamar dan beberapa ruangan hasil amukan Rona masih terlihat berantakan. Hanya pecahan kaca yang tidak lagi berserakan di lantai dan sebagian barang yang diacak tadi sudah kembali ke tempat semula.Rona berdiri melekat di dinding ruang tengah, tak sudi duduk di sofa setelah tahu fakta menjijikan yang diutarakan Jeff. Sementara Wena menempati ujung sofa, wajahnya was-was sekali atas kehadirannya.“Lain kali Kak Rona bisa hubungi pengacara Kak Jeff, daripada datang ke sini malam-malam.” Wena mendengkus hati-hati. “Nggak sopan banget dilihat cewek bertamu ke apartemen mantan.”“Lebih nggak beradab mana cewek yang gampang menyerahkan diri ke cowok orang?” balas Rona tak kalah menyindir. “Udah nggak beradab, gampangan, murahan lagi.”“Selama bukan suami orang itu nggak masalah,” timpal Jeff yang baru keluar dari kamar dengan pakaian lengkap. Bukan sebatas handuk yang membalut setengah tubuhnya. “Kalau kamu datang mau cari perkara sama Wena, lebih baik kamu pulang sekarang. Aku nggak
“Nggak ada bukti valid yang lo punya, jadi jangan terlalu percaya diri,” sahut Rona berusaha tetap tenang meladeni lawannya.Senyum tipis masih tercetak baik di bibir sang pria. Lalu pria itu menoleh ke samping dan berkata, “Imron, kamu sudah rekam semua kejadian tadi, ‘kan?”“Sudah, Mas. Dari angle terbaik malahan,” jawab pria bernama Imron.“Sialan,” maki Rona, nyaris tak peduli lagi pencitraan yang dibangunnya selama ini.“O-ow!” seru Dov. “Ternyata ini karakter asli Janish Merona, ya.”Persetan dengan komentar yang datang, Rona lekas mendekati Imron dan menuntut. “Hapus video itu sekarang juga!” serunya sambil mendekati Imron dan berusaha menggapai-gapai benda pipih yang berisikan bukti kejadian tadi. “Jangan macam-macam sama gue! Siniin HP-nya! Hapus video itu sekarang juga!”Rona tidak tahu sejak kapan bahunya dipegang kuat-kuat oleh Dov dan membuat jarak mereka begitu dekat. Dari pasang mata yang bisa ia lihat, pemandangan itu terasa familier seolah pernah ada momen seperti in
Rona masih menatap lekat Dov yang kini sibuk menunjuk satu botol minuman keras agar bartender mengerti keingiannya. Saat white wine itu sudah di tangan, Dov menyerahkannya pada Rona.“Sori.” Suara berat itu terdengar sopan sekali di telinga hingga Rona tercenung sesaat. “Sebagai permintaan maaf, tolong terima pemberian saya.”“Lo minta maaf itu sama aja lo mengakui omongan gue?” Pening di kepala mulai menyerang, Rona berusaha menyusun kata-kata hingga tercipta kalimat yang runut. “Jadi bener, lo ngikutin gue ke sini? Terus soal rekaman video tadi gimana?”Sejauh ini baik dirinya dan Yuyun belum berkomunikasi lagi. Boleh jadi Yuyun sengaja memberikan ruang untuknya istirahat dan tidak menghubunginya sama sekali.Stool yang ditempati Dov memutar hingga pria itu menghadapnya dengan sempurna.“Permintaan maaf saya bukan untuk itu. Saya nggak mengikuti kamu sama sekali, Rona. Ini semua pure kebetulan,” terang Dov. “Saya minta maaf karena udah buat kamu merasa nggak nyaman. Sebetulnya saya
Rona menggeliat karena dering ponsel yang memekakan telinga tiada henti. Satu tangannya keluar dari balik selimut tebal dan sibuk meraba-raba area sekitar sesuai arah sumber suara.Tepat di bawah bantal benda pipih itu ditemukan. Segera ia mengangkat panggilan tanpa memastikan dulu identitas si penelepon.“Lo di mana?!”Dari suaranya Rona langsung mengenalinya. Sembari mengucek mata sebelum membuka sepenuhnya, ia lantas mengerjap perlahan. “Gue di kamar,” jawab Rona asal dengan rambut berantakan.Pandangannya memendar ke sekeliling. Langit-langit putih yang senada dengan dinding. Ruangan yang ditempatinya terbilang megah, arsitektur bukan kaleng-kaleng hingga furniture terbaik.Rona hendak bangkit duduk, tapi kepalanya masih cukup berat untuk diajak bergerak banyak.“Kamar mana?” Yuyun makin mengomel. “Lo nggak balik ke apartemen gue, atau kasih gue kabar sama sekali ya!”Rona mengambil napas dalam. “Bentar, gue masih pusing,” jawabnya sambil menahan sisa nyeri di kepala akibat minum
“Kacau!”Itulah komentar Yuyun begitu tiba di kamar hotel berbintang yang dihuni Rona semalaman. Wajahnya memerah saat melihat tanda kemerahan yang terlihat jelas di ceruk leher Rona.“Lo main gila sama siapa sampai begini, hah?” sambar Yuyun tak habis pikir. “Gue ngerti lo habis diselingkuhi sama Jeff dan putus, tapi nggak main ONS sama orang asing, Na! Astaga ....”Rona menggigit bibir bawahnya dan mendekati Yuyun cukup canggung. “Sebenarnya ... gue nggak ONS sama cowok asing, dan—““APA?!” Yuyun melotot galak. “Jangan bilang lo main sama artis atau orang kenalan kita buat dijadiin pelampiasan?”“Nggak gitu.” Rona menggeleng. “Cowok ini ternyata pernah tetanggaan sama gue. Kita ketemu semalam dan dia jelasin semuanya. Gue nggak sadar kenapa kami bisa berujung kayak gini, Yun.”“Siapa orangnya? Biar gue cari dan kasih uang tutup mulut.” Yuyun menatapnya serius dan bersiap menyalakan ponsel untuk bergerak mengurusnya. “Terus dia tahu masalah lo sama Jeff?”“Yun ....”Rona membuang nap
“Taruh aja barang-barang gue di dekat meja, Yun. Lo nggak perlu bongkar koper gue segala.”Seruan itu refleks Rona lontarkan begitu mendengar suara pintu terbuka dan koper yang diseret masuk. Mengingat obrolannya dengan Yuyun soal barang pribadinya dari apartemen lama, ia langsung menganggapnya demikian. “Ini tinggal bilas hair mask, lo bisa istirahat di kamar tanpa nunggu gue,” sahut Rona saat merasa Yuyun masih ada di kamarnya karena pintu belum ditutup. Rona melilit rambutnya menggunakan handuk terlebih dahulu, baru kemudian mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya yang basah. Ia berdiri di depan wastafel dengan cermin besar yang memantulkan dirinya.Rona berniat mengeringkan rambut dengan hair dryer, tapi perasaannya tak enak karena menyadari Yuyun belum pergi dari kamar. Ia khawatir jika manajernya itu harus turun tangan membenahi barang-barangnya. Sampai kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan menangkap perawakan tinggi besar dengan kemeja putih tengah berdiri di dekat je
Masker sepaket dengan kacamata hitam dan topi yang diterimanya tadi ia perhatikan lamat-lamat. Sebagian masker hitam itu tampak basah akibat keringat berlebihnya selama pemakaian.Rona menghela napas panjang. “Baru kali ini gue lihat orang sebanyak itu berlomba-lomba nyari informasi tentang gue,” ujarnya miris. “Andai aja mereka penasaran sama prestasi gue selama ini, bukan nyari kebenaran atas skandal yang terjadi.”Kepergiannya pun dibantu staf khusus Dov agar tidak berpapasan dengan banyaknya wartawan yang memenuhi lobi hingga pelataran kantor. Sedikit saja staf lengah, semua akan hancur seketika.“Lo nggak perlu takut dan sekalut ini hanya karena skandal yang belum tentu bener.” Satu tangan Yuyun terangkat dan menyentuh pundak Rona, berusaha menenangkan. “Gue percaya sepenuhnya sama lo. Lagian yang nyebarin berita itu si pelakor laknat, dia pasti bakal dapat karma.”Rona menoleh, membalas tatapan prihatin Yuyun yang tercurah pada tiap sorotnya. Lagi, napasnya terembus, menunjukkan
Begitu pintu rapat terbuka, Dov mampu menangkap kegusaran di wajah-wajah para anggota direksi. Lalu helaan napas yang terdengar, tak membuat kepercayaan diri Dov runtuh.Imron mempersilakannya duduk. Dov mengangguk dan menyapa sekenanya pada orang-orang yang lebih tua darinya, lalu sorotnya terhenti pada Ravi yang tampak berbeda dari sekeliling.Pria itu mengulum senyum miring dan mengangguk-anggukkan kepala. Seakan berita yang tersebar di media sekarang bukanlah masalah gawat.“Dovindra Putra Wijaya,” panggil Jake yang memiliki andil besar dalam saham Step Up. Suara dan tatapannya tajam, cukup menggambarkan betapa kecewa pria itu sekarang. “Apa kamu sadar berita viral yang menyeret tentangmu berpengaruh pada saham perusahaan? Apa kata publik sekarang begitu tahu presdir agensi besar ternyata punya hubungan gelap dengan artis baru?”“Artis itu bahkan kurang terkenal,” timpal salah satu peserta rapat. Yang lain pun mengangguk setuju. Lalu ruangan yang semula hening perlahan heboh deng
“Saya pikir Bapak udah hapus rekaman itu setelah diskusi dengan manajer saya?” Kening Rona berkerut-kerut begitu menyaksikan video yang ditunjukan Dov. “Tapi ... ini semua apa? Bapak berbohong?”Video itu jelas menunjukkan dirinya sedang beradu mulut dengan Jeff di depan unit beberapa waktu lalu. Ia mendengar dari Yuyun bahwa semua urusan tentang rekaman dirinya sudah selesai, tapi rupanya belum.“Saya nggak pernah bilang mau hapus rekaman ini karena sewaktu-waktu bukti ini bisa jadi senjata,” ungkap Dov santai di tengah kegeraman Rona. “Saya hanya bilang ke manajer kamu untuk tidak mengangkatnya ke publik. Begitu, ‘kan?”“Ck, ini sama saja penipuan!” tandas Rona seraya menjauh dari Dov dan bersiap menyambar tas. “Saya bukan tipikal orang yang rela menjual privasi saya untuk jadi konsumsi publik, apalagi pertengkaran saya dengan Jeff saat itu, Pak!”Rona melangkah melewati Imron yang berdiri menatapnya bingung, tujuannya hanya satu saat itu. Pergi meninggalkan ruangan daripada mendeng
“Astaga.” Dov berdecak sambil menggeleng saat menatap kebingungan serta raut terkejut Rona setelah pengakuannya. “Ini udah beberapa hari dan kamu belum ingat sama sekali?”Saat membalas tatapan Dov mata Rona membeliak lebar. Selain suara jarum jam yang memecah keheningan, Rona merasakan debar jantungnya yang tak karuan.“Itu ... itu nggak mungkin, deh.”“Nggak mungkin gimana?” Dov mengerlingkan mata seraya menyatukan kedua tangan dengan tubuh yang bergerak condong ke depan. “Jadi kamu pikir saya memaksa kamu untuk berhubungan?” Ia berdecih pelan. “Ck, yang benar saja!”Rona menelan ludah. “Waktu Bapak ajak saya pergi ke tempat yang lebih sunyi, saya sadar, tapi waktu berhubungan itu ... saya benar-benar mabuk berat dan nggak ingat sama sekali.”Dov menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat, langkah sepatunya menggema di lantai kayu mahal.“Perlu saya ingatkan kamu, Janish Merona?” Dov duduk di sisi Rona yang menegang akibat ulahnya. “Kita bercumbu begitu pintu kamar hotel ditutup
Dov menggeliat beberapa kali dan berusaha menutup kedua telinga dengan bantal. Tak sampai di sana, ia juga menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.Suara alarm ditambah ketukan pintu membuat tidurnya yang baru lelap dua jam ini harus terganggu. Namun bukannya berhenti, ketukan pintu itu berubah menjadi suara Ravi yang berteriak memanggilnya.Di balik selimutnya, Dov mengerang. “Jangan ganggu tidurku, Mas!” “Ini sudah jam 8, kamu nggak ingat kata-katamu sendiri kemarin?”
Kalau orang lain mungkin bisa tidur nyenyak setelah diberikan rumah tinggal semewah dan sebagus penthouse milik Dov. Sementara Rona justru kesulitan merasa lelap sepanjang malam.Di sela kejengkelannya terhadap Dov, ia sibuk memantau media sosial. Membaca komentar netizen yang menyeret namanya, tapi nihil. Rumor tentang dirinya yang menjalin hubungan diam-diam dengan Dov tidak sebanyak tadi.Rona terus memantaunya hingga fajar tiba. Tubuhnya lemas karena kurang tidur, tapi ada kewajiban yang harus ia penuhi.“Jangan lupa jam 7 udah harus di ruangan Pak Dov.” Yuyun mengingatkan sambil menunjukkan pesan dari Imron. “Gue akan antar lo ke sana, setelah itu gue mau urus barang-barang lo di unit sebelah.”Mata lesu Rona membelalak lebar. “Nanti mereka tahu dong kalau gue tinggal di sini?”Menerima pemberian Dov bukan berarti bisa belajar terbiasa dengan keadaan sekitar. Kekhawatiran Rona masih banyak, terutama saat membayangkan reaksi Jeff dan Wena begitu tahu mereka tinggal bertetangga.“E
“Nggak ... nggak boleh.” Sesekali Rona menepuk wajahnya kanan-kiri bergantian saat mulai terlena dengan pemandangan di hadapannya. “Jangan tergiur, please.”Rona menatap langit-langit putih bersih nan megah. Anak tangga dengan desain penuh kemewahan itu meluruhkan logika dan kesadarannya perlahan.Belum lagi fasilitas seperti kitchen island, ruang tamu yang menyatu dengan living room. Tempat seperti itu baru terlihat tak asing baginya si pecinta drama. Tontonannya biasa menyajikan cerita romansa tentang konglomerat yang jatuh cinta pada babu.Namun ia tidak mengerti mengapa ia harus terjebak pada situasi ini sekarang. Apartemen yang ternyata penthouse, dengan dua lantai berarsitektur modern minumalis, lift khusus yang menghubungkan penghuni langsung ke lobi dan tempat parkir kendaraan, ditambah balkon yang menjadi impiannya sejak dulu.“Ini ... ini nggak mungkin,” bisiknya pada diri sendiri, suara masih bergetar. “Ini nggak bisa dibiarin gitu aja, Yun!”Suara yang berubah lantang seke
“Gimana? Kunci apartemen udah kamu kasih?” Dov menguap pelan ketika Imron memasuki ruang kerjanya. “Apa dia menolak atau kasih kamu banyak pertanyaan?”Imron menggelengkan kepala. “Janish Merona sempat kaget, tapi nggak banyak tanya, Pak.”Satu alis Dov terangkat. “Kok bisa?” tanyanya heran. “Saya nggak menduga dia akan menurut langsung begitu.”“Sepanjang saya menjelaskan jobdesk khusus yang tertera di surat perjanjian kerja, Rona kebanyakan melamun dan menangis,” terang Imron.Dov menghela napas berat, teringat pada ucapan hingga bentakannya yang terasa kelewatan. Tak heran Rona masih menangis dan tidak fokus saat penjelasan tadi. “Mungkin kalau dia sampai di apartemen dan tahu lokasinya bersebelahan dengan unit Jeff, ada banyak keluhan dan amarah yang dia berikan pada kita.”Menempatkan Rona di salah satu penthouse-nya adalah upaya pertama untuk memperlihatkan pada Jeff, bahwa kini Rona bukan wanita yang layak diremehkan lagi. Dov ingin membuat Rona dipandang baik oleh orang-orang