Share

3 - ADIK IPAR YANG PEDULI

Mereka bilang Hana sangat beruntung dan iri akan hal itu. Menikah dengan CEO sekaligus pewaris perusahaan besar menjadikan Hana sebagai wanita terberuntung yang mereka kenal, terlebih di mata mereka Jeremy adalah pria paling sempurna.

Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau Jeremy bahkan tidak pernah tersenyum di depan Hana setelah pernikahan. Yang ada hanya kekerasan verbal dan fisik, hanya … rasa sakit.

“Wajahmu sudah jelek jadi tambah buruk rupa. Kamu tidak melakukan apa pun pada bengkak parah di wajahmu itu? Tidak pernah dengar yang namanya obat?”

Hana menunduk sedih atas perkataan pria yang duduk di hadapannya. Sama sekali dia tak bertanya tentang kondisi Hana, apakah terasa sangat sakit atau nyeri, tidak sekali pun. Padahal semua luka yang diderita muncul karena pria tersebut.

“Maaf, aku sudah menggunakan es batu untuk mengecilkan bengkaknya. Aku akan segera baik-baik saja,” balas Hana dengan nada suara rendah. Tidak seharusnya dia berpikir akan ada hal baik, dua menit lalu dipanggil ke ruang kerja Jeremy rupanya hanya untuk dengar ejekan dan makian.

“Pastikan kondisimu baik-baik saja saat Ayah dan Ibu datang mengunjungi kita nanti. Kalau mereka melihatmu terluka, aku akan menghabisimu.”

Hana hanya bisa memasang wajah tercengang setelah dengar ancaman serius itu. Begitu Jeremy menyesap teh dalam cangkir di atas meja, sebelah tangan mengibas tanda perintah agar Hana pergi dari ruangannya. Wanita yang wajahnya penuh lebam itu pun berlalu pergi dengan perasaan sesal.

Baru memegang gagang pintu, telepon milik Jeremy berdering. Segera diangkat dan suara sapa riang penuh kasih sayang terdengar jelas.

“Halo, sayang. Kamu sudah sampai ke tempat yang kita janjikan semalam? Baiklah, aku akan segera menjemputmu. Dah, aku mencintaimu.”

Ya, Hana baru tahu kalau ternyata Jeremy memiliki wanita lain di hidupnya. Bukan seperti dengan Hana yang hanya memiliki hubungan kontrak, dengan wanita itu mungkin ada cinta yang terjalin di antara mereka.

Sebenarnya bukan urusan Hana. Sebagai istri kontrak, dia tak punya hak untuk ikut campur mengenai kehidupan pribadi Jeremy. Yang perlu dia lakukan hanya melakukan apa yang diperintahkan, tidak lebih dari itu.

“Kamu menguping, hah?” terka Jeremy menyadari Hana masih di ruangannya.

“Tidak, aku … pemisi,” ucap Hana buru-buru keluar. Ia membuka pintu dan segera menutupnya, kemudian melangkah pergi menuju kamar di lantai dua.

Sampai sejauh ini tidak ada kekhawatiran besar. Selagi Alan baik-baik saja, maka Hana juga akan merasakan hal sama. Ia tidak peduli seberapa kasar Jeremy kepadanya, asal dia tidak menyentuh Alan, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Hana masuk ke dalam kamar yang mereka tempati, namun tidak ada seorang pun di sana. Anak lelaki yang dicarinya tidak terlihat di tempat seharusnya. Padahal Hana sudah bilang untuk tidak pergi ke mana-mana tanpanya. Sekarang dia panik!

Hana bergegas mencari Alan ke seluruh tempat di rumah besar ini, bahkan bertanya ke setiap insan yang ditemuinya. Namun, tidak satu pun dari mereka yang melihat anak setinggi 117 cm itu. Ia ketakutan, bagaimana kalau orang-orang Jeremy melakukan sesuatu yang buruk kepada anak tak bersalah itu?

Jika pikirannya benar, maka saat itu juga Hana akan menggila.

“Kak!”

Hana langsung menoleh dan lega saat melihat Alan berlari menghampirinya.

“Kamu dari mana? Kakak sudah bilang agar tidak pergi ke mana-mana sendirian. Jangan ulangi lagi, ya. Kakak sangat khawatir tahu,” cecar Hana. Pria dewasa di belakang Alan justru tertawa dengar ocehan panjangnya.

“Hai,” sapa Evan saat pandang mereka bertemu. Pria itu melontarkan senyum ramahnya sembari melambaikan tangan.

Akhirnya Hana tahu asalan Alan berani pergi tanpa memberitahunya. Semua gara-gara Evan. Pria itu sudah menjelaskan semua. Berawal dari ketidaksengajaan mereka bertemu di dapur saat Alan hendak mencari sang kakak, kemudian Evan mengajaknya untuk pergi ke taman dan makan cemilan bersama.

Awalnya Alan menolak, tapi saat Evan bilang mengenal sang kakak, dia langsung berubah pikiran.

“Mau bicara berdua, Kakak Ipar?”

Hana mengerjap pelan, kemudian menatap lekat lelaki kecil di sampingnya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dia mengangguk tanda setuju akan ajakan Evan.

Hana diajak ke taman yang sebelumnya didatangi oleh Evan dan Alan. Tidak mengejutkan, rumah ini punya taman yang sangat luas dan patung cupid air mancur di tengahnya. Yah, bukan itu yang harus diperhatikan oleh Hana sekarang. Ia harus tahu apa hal yang ingin dibicarakan Evan kepadanya.

“Jadi … apa yang mau kamu katakan?” tanya Hana. Tubuhnya berbalik, menatap pria yang berdiri satu langkah di belakangnya.

“Tidak nyaman bicara sambil berdiri, ayo duduk,” ajak Evan sembari menarik tangan Hana untuk ikut duduk di bangku panjang bersamanya.

Hana cukup terkejut dengan tindakan mendadak Evan. Meskipun hanya sesaat, tetapi dia bisa merasakan telapak tangan hangat Evan yang menggenggam tangan dinginnya.

“Aku tahu kamu pasti punya banyak pertanyaan tentangku. Silakan, tanyakan saja. Lagipula tidak ada yang bisa kusembunyikan di rumah tanpa privasi ini.” Ucapan Hana semakin akhir semakin pelan, justru terdengar seperti gumaman, tetapi masih bisa didengar oleh Evan.

Evan tersenyum menatap langit biru di atas lalu berkata, “Aku sudah tahu semua hal tentangmu. Seperti yang kamu bilang, tidak ada privasi di rumah ini.”

Itu tidak mengherankan, justru akan aneh kalau adik iparnya tidak tahu apa pun. Meskipun terbilang sangat cepat karena dia baru kembali dari luar negeri kemarin.

“Kamu pasti kaget saat tahu kakakmu menikah dengan wanita sepertiku.”

Evan terdiam karena pengakuan Hana. Sedetik berikutnya seulas senyum singkat tersungging di bibir tebalnya. “Justru aku yang kaget karena ada wanita yang mau menikah dengan kakakku yang bajingan itu. Meskipun terlilit utang, kupikir kamu tidak seharusnya menikah dengannya.”

Untuk pertama kalinya ada seseorang yang seakan mengerti isi hati Hana, selain Alan.

“Mungkin terdengar mengejutkan bagimu, tapi izinkan aku bertanya, apa … kamu butuh bantuan? Aku bisa membantumu keluar dari penderitaanmu.”

Hana langsung menatap kaget pria yang tersenyum ramah padanya. Sesaat menimbukan genangan air di pelupuk matan. Sejak lama, sudah sejak lama Hana menunggu seseorang bertanya hal itu, tapi tidak pernah ada.

“Kamu bercanda?! A-aku baik-baik saja.” Hana terkekeh, berusaha menyembunyikan rasa haru sekaligus terkejutnya. Ia sudah terbiasa bersikap kuat di depan semua orang, bahkan di depan orang yang terang-terangan ingin membantunya.

“Lihat pipimu, apa itu baik-baik saja? Kamu sangat buruk dalam berbohong, Kakak Ipar.”

Sebenarnya Hana senang ada orang yang peduli kepadanya, namun entah kenapa di lubuk hati merasa ada sesuatu yang tidak benar di sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status