Share

Menulis Kisah Cinta Untuk Pak CEO
Menulis Kisah Cinta Untuk Pak CEO
Penulis: kristianasriwahyuni

BAB 1 SESUATU YANG TIDAK DISENGAJA

“Halo, dengan penanggung jawab event Kisah Cinta di Kantor, bisa tolong cek alasan kenapa naskah saya berjudul ‘Mampir di Hati Pak Ceo’ ditolak, ya? Bisa dijawab sekarang tidak? Soalnya saya butuh banget kontrak itu sekarang!”

Asa mendengarkan suara lawan bicaranya yang ternyata perempuan itu. Dia tidak habis pikir, perusahaannya sedang dilanda krisis karena beberapa situs diretas oleh orang tidak bertanggung jawab, lalu tiba-tiba seorang perempuan dengan nomor baru menelepon dirinya detik ini. Pria itu menghela napas, lantas mengarahkan layar gawai pada pemuda berkacamata di dekatnya.

“Tuan? Pak? Bu? Bisa tolong jawab saya?” Suara itu kembali terdengar.

Pria bernama lengkap Asa Kanagara itu berdecak lirih. Dia membiarkan peneleponnya mengomel sampai sekitar beberapa menit. Hitung-hitung sebagai tambahan waktu dia melihat Wana—pemuda berkacamata—mengutak-atik komputer di depannya.

Beberapa menit kemudian, perempuan itu tidak bersuara. Asa tersentak saat Wana menyenggol lengan, memberitahu jika sosok peneleponnya itu menunggu di seberang sana. Asa bergegas mengambil kembali ponsel, lalu memberi isyarat pada Wana sebelum akhirnya dia ke luar dari ruangan administrasi itu.

“Iya, saya di sini,” ucapnya usai masuk ke ruangan kerja. Pria itu duduk dan memutar kursi kerjanya supaya menghadap jendela. “Bisa diulangi?”

Terdengar desahan kasar di seberang panggilan. Asa tahu jika perempuan itu sedang kesal karena omelannya tidak kunjung dijawab sejak tadi.

“Um … maaf, Pak, tapi apa Bapak bisa mengecek kembali naskah saya yang berjudul—”

“Iya, saya sudah tahu.” Seringai Asa terukir sempurna. Ledekannya benar-benar bodoh. Dia bahkan tidak tahu naskah seperti apa yang dimaksud perempuan itu.

“Jadi, bagaimana, Pak?”

Pria itu terdiam. Manik cokelatnya mengedarkan pandangan ke luar jendela, menatap barisan gedung pencakar langit yang menghalangi serabut awan dan langit biru. Satu tangannya yang tidak memegang ponsel lantas meraup dagu. Dia tahu jika dirinya tidak memelihara jenggot atau kumis, tetapi cukup yakin bahwa dirinya tampan hanya dengan satu lesung pipit di pipi kirinya.

“Besok,” ucapnya.

Tidak ada tanggapan selama beberapa detik.

“Besok … kenapa, Pak?”

Asa tersenyum. Cukup menggemaskan bagi tiap wanita yang melihat ketampanannya. “Besok datanglah ke Kanagara Group,” ucapnya. “Beritahu pihak administrasi jika Anda ingin bertemu dengan Asa.”

***

Panggilan ditutup sepihak. Manik cokelat itu menatap layar ponsel yang kini berganti dengan wallpaper pantai. Senja mengunci mulut. Bukan dia mempermasalahkan dengan pihak yang ditelepon menutup begitu saja panggilannya, melainkan karena satu hal. Lawan bicaranya tidak memberitahu alasan naskah ceritanya ditolak.

“Urgh, kenapa sih?” gerutunya.

Pikirannya rumit, ditambah pula jika dirinya diundang ke Kanagara Group untuk bertemu dengan seseorang bernama Asa. Dia tidak mengenal Asa dan tidak tahu di mana Kanagara Group berada.

Gadis itu berdecak. Dia kembali merebahkan diri di kasur sambil mengutak-atik ponsel, berharap menemukan secercah harapan yang berkaitan dengan Kanagara Group. Beberapa saat kemudian, Senja berhasil menemukan sesuatu.

“Kanagara Group, ya?” gumamnya.

***

Pagi-pagi sekali—sebenarnya tidak pagi benar karena sudah jam sembilan—Senja telah bersiap dengan blouse putih dan celana dasar hitamnya. Dia tidak berpikir jika warna pakaiannya kali ini mirip dengan murid baru di sekolah pada umumnya. Di pikirannya adalah dia harus datang ke Kanagara Group dan meminta penjelasan kepada orang bernama Asa terkait penolakan naskahnya.

Gedung pencakar langit dengan billboard bertuliskan ‘Kanagara Group’ tampak jelas di depan mata. Senja meneguk saliva sejenak, sebelum melangkah menghampiri bangunan 100 lantai tersebut. Seorang satpam tampak menghentikan langkahnya.

“Apakah ada yang bisa saya bantu?”

Senja mengedarkan pandangan sejenak ke dalam gedung. Beberapa orang tampak menunggu di salah satu sisi di mana banyak meja dan sofa tertata rapi, sementara di sisi lain terdapat meja resepsionis. Dia menatap satpam di dekatnya.

“Saya ingin bertemu dengan orang bernama Asa di sini,” ucapnya tegas.

Pria yang mengenakan seragam cokelat itu terdiam dan tampak berpikir sejenak. “Apa … Nona sudah membuat janji dengannya?” tanyanya kemudian.

Senja mengangguk pasti. Dia mengeluarkan ponsel, lantas menunjukkan kepada pria itu riwayat panggilan yang dilakukannya kemarin. “Kemarin saya menghubungi nomor ini dan dia meminta saya untuk kemari menemui orang bernama Asa,” jawabnya.

Pria itu meneguk liur. “M-mari saya antar, Nona.”

Gadis berambut cokelat itu mengangguk. Namun, belum sempat sip ria mengantarkannya pergi, seorang pemuda berkacamata menghampiri keduanya.

“Siapa ya?” tanyanya.

“Oh, Pak Wana.” Sang satpam menunduk sejenak. “Ada Nona mau bertemu Pak Asa. Katanya sudah janjian kemarin.”

Wana mengernyit. Dia mengamati sosok gadis di depannya dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas. Pemuda itu tertegun. Ingatannya kembali terngiang dengan sosok yang menghubungi nomor Asa kemarin yang ternyata adalah seorang wanita. Satu tangannya menggaruk pipi, mengamati jeli gadis yang menurutnya sangat cantik itu.

“Ah, biar saya saja yang antar dia, Pak. Tidak baik meninggalkan pintu utama dalam keadaan tidak terjaga,” ucap Wana.

Pria berseragam cokelat itu mengangguk. Wana mempersilakan gadis itu untuk mengikuti langkahnya menuju salah satu lift.

Senja tidak memikirkan apa pun selain naskahnya detik ini. Dia harus bisa bernegosiasi supaya naskahnya bisa diterima dan dirinya mendapatkan uang. Setidaknya, hanya uang yang ada dalam otak gadis bernama lengkap Senja Anindita tersebut sekarang. Dia tidak memikirkan sosok yang akan bertemu dengannya sebentar lagi.

Pemuda berkacamata itu mengantarkan Senja menuju salah satu ruangan usai keluar dari lift di lantai 55. “Namaku Wana. Aku adalah rekan kerja Asa,” ucapnya sembari mengulurkan tangan. “Kalau kamu butuh bantuan, panggil saja aku.”

Senja tersenyum seraya mengangguk. Dia membalas jabat tangan Wana. “Senja,” ucapnya.

Wana terdiam. Matanya membola sejenak. Nama yang cantik.

Sepersekian detik kemudian, pemuda itu membiarkan Senja masuk ke ruangan. Gadis itu melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam ruangan bersuhu dingin tersebut. Ruangannya sangat rapi dengan aksen hitam-putih di berbagai sudut. Dia mendapati seseorang tengah duduk membelakangi meja kerja. Gadis itu menghentikan langkah tepat di depan meja. Senja menghela napas sejenak.

“Kau tidak tersesat?”

Pertanyaan yang terkesan tiba-tiba itu mengejutkan Senja. Gadis itu mengatur ritme napas di sela ucapannya. “T-tidak, Pak. Tidak sama sekali,” jawabnya tergagap.

Sementara itu, Asa yang memang sengaja duduk membelakangi meja lantas mengerutkan kening saat mendengar suara perempuan tersebut. Tidak ada yang dipikirkannya saat ini selain penasaran dengan sosok yang berdiri di belakangnya. Dia memutar kursi, membalikkan diri menghadap perempuan lancang yang menelepon nomor pribadinya kemarin.

Asa terdiam. Manik cokelatnya memandangi perlahan gadis yang berdiri di seberangnya. Rambut cokelatnya yang terurai dengan sebagian helai menutupi wajah, membuat kecantikan gadis itu tidaklah sirna. Siapa pun bisa menebak betapa seksi gadis itu meski blouse putih dan celana dasar hitam membalut tubuhnya. Namun, yang membuat pria Kanagara itu tercenung saat ini bukanlah keseksian Senja, melainkan rupa gadis tersebut.

Asa meneguk saliva, sontak bangkit dari kursi, dan menghampiri Senja. Gadis itu kebingungan. Matanya berkelana melihat rupat pria yang kini mendekatinya. Sebelum Asa dengan bebas memotong jarak keduanya, Senja buru-buru mengangkat tas—memutus jarak.

Pria itu tersentak. Dia menggeleng lantas menghela napas. “Maaf,” ucapnya.

Senja mengangguk dan menurunkan tasnya. “Jadi, apa Bapak yang bernama Asa?” tanyanya kemudian.

Asa mengerutkan kening. Ingatannya berputar, terkenang dengan peristiwa yang terjadi kemarin. Dia menyadari jika sosok di depannya saat ini adalah perempuan yang menelepon nomor pribadinya. Telunjuknya terangkat, terarah pada gadis tersebut.

“Kau ….”

Senja tersenyum. Dia menunduk sejenak. “Saya Senja Anindita, Pak,” ucapnya. “Saya yang menghubungi Bapak kemarin.”

Senja Anindita.

Nama yang cantik.

“Bapak … adminnya, ‘kan, ya?” Senja kembali bertanya, membuat pria di depannya mengernyit. “Kemarin nomor Bapak ada di daftar CS soalnya. Saya pikir Bapak ad ….”

Belum sempat Senja menyelesaikan ucapannya, pria itu tertawa. Gadis itu memandang inosen. “Pak?”

Asa tidak bisa membendung tawanya. Bagaimana bisa gadis itu menganggap dirinya adalah seorang Customer Service (CS). Dia menatap Senja dengan satu alis terangkat. “Apa kau yakin saya CS?”

Gadis itu mengangguk, makin membuat Asa tertawa. Pria itu kembali menatap Senja seraya menegapkan tubuh dan menyilangkan kedua lengan di depan dada.

“Saya Asa Kanagara, CEO Kanagara Group.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status