"Sepertinya kalian memang harus segera menikah. Nanti keburu aku berubah pikiran," ucapku sengaja memanasinya. "Ingat kalian itu belum menikah, jangan dekat-dekat nanti ada orang ketiga lho, serem," sindirku yang langsung membuat Ayuna kesal."Jangan kelamaan menunda, Mas. Kasian Ayunanya, sepertinya udah ngempet. Nanti kalian malah khilaf, belum nikah itu dosa lho," lanjutku yang semakin membuat wajah Ayuna memerah, entah menahan marah atau malu. Ah, kalau malu tidak mungkin ia bisa datang kesini dan mengambil Mas Restu dariku.Sementara Mas Restu langsung nampak salah tingkah dan melepas tangan Ayuna yang sudah dari tadi nempel-nempel. Membuatku geli sendiri melihatnya."Ya sudah, Mas aku izin berangkat dulu!" Aku pun mulai melangkahkan kaki menemui Nizam yang sudah menungguku."Mas kok diam aja, bukannya belain aku?" tanya Ayuna suaranya terdengar dibua-buat khas anak kecil merajuk yang samar tertangkap indera pendengaranku. Aku menggeleng pelan, dan terus melangkah menemui Nizam d
"Lagi makan apa?" tanya Mas Restu begitu melihat kami tengah makan."Papa," teriak Nizam girang saat melihat Mas Restu datang. "Ayo, Pa makan, Mama masak sup enak," jawab Nizam sembari menyendokkan sayur supnya ke mulut.Mas Restu pun duduk di dekat Nizam dengan kikuk. Sebenarnya aku enggan. Tetapi, mau bagaimana lagi aku masih masa iddah, dan tinggal serumah. (pisah ranjang).Aku sengaja tidak menawarinya, biar saja kalau lapar dia bisa makan sendiri toh fisiknya masih sehat walafiat. Bahkan aku sengaja melebarkan suapanku, biar dia ngiler sekalian."Papa, mau?" tanya Nizam melihat Mas Restu dari tadi melihati kami yang tengah makan.Mas Restu mengangguk pelan, sembari tersenyum kecil. Membuatku geli sendiri."Ma, Papa mau supnya," ucap Nizam."Mas, mau?" Aku sengaja mengulang kalimat tanya, sembari kupasang wajah prihatin.Mas Restu mengangguk, biasanya pulang kerja ia kusambut dengan secangkir kopi, juga tak lupa menanyainya mau makan atau mandi terlebih dulu, berbeda setelah dia
Entah sudah berapa kali aku bolak balik ke kamar mandi pasca makan nasi goreng kambing tadi, niatnya mau ngerjain malah balik ke diri sendiri. Tapi, aku yakin dua pengantin baru itu sama halnya denganku.Aku meringis, keluar dari kamar mandi sembari memegangi perut, tubuhku gemetar.Beruntung Nizam dan Ghazi mereka sudah tidur. Aku duduk di sisi ranjang, tidak lama kemudian ponselku berdering panggilan masuk dari, Ibu.Aku pun segera menggeser tombol hijaunya."Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabar?" sapaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, Ibu baik, kamu apa kabar? kamu yang sabar ya Nduk, Ibu sudah tau semuanya," tutur beliau di ujung ponsel.Entah siapa yang memberitahu, Ibu.Perihal masalah rumah tangga yang kini tengah menimpaku. Padahal selama ini, aku tidak pernah menceritakannya, bahkan aku selalu mengatakan kalau hubungan kami baik-baik saja.Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi, Ibu tau kalau Mas Restu menikah lagi. Padahal aku tidak ingin beliau tahu dulu, tak
Pagi ...Usai sarapan aku sudah bersiap untuk mengantarkan Nizam ke sekolah dan berangkat ke restoran. "Lam ...." Panggilan Mas Restu menghentikan langkahku.Aku menoleh pada sosok lelaki yang kini sudah merasa jauh dariku tersebut."Mulai sekarang kamu tidak perlu berangkat ke restoran lagi," ucapnya dingin, yang seketika membuat dahiku berkerut, dan tak mengerti apa maksudnya."Maksudnya?" tanyaku penasaran."Ya maksudnya kamu berhenti kerja," Tiba-tiba Ayuna datang menyela percakapan kami. Tetapi, aku belum mengerti."Karena mulai sekarang aku yang akan mengurus restorannya," ucap Ayuna dengan santai.Rasanya aku ingin tertawa mendengar kepercayaan dirinya. "Sebaiknya kamu tidur, sebelum bermimpi, Ayuna!" ucapku."Kalimat itu lebih cocok untuk, Mbak Nilam," ucap Ayuna sembari melipatkan tangan di dada."Restoran itu aku yang susah payah mengelolahnya hingga bisa berkembang seperti saat ini. Jadi, apa hakmu ingin memiliki restorannya? Dengar ya kamu tidak punya hak sama sekali, it
Aku pun segera membukakan pintu sembari mengucap salam. Namun, belum sempat aku melanjutkan salamku hingga akhir aku dikejutkan dengan sesuatu yang benar-benar di luar dugaanku."Sekarang, Mbak boleh pergi dari sini!" Ayuna mendorong koper ke arahku dengan tatapan sinis."Apa-apaan ini?" tanyaku geram, melihat tingkah songongnya."Memangnya kurang jelas?" tanya Ayuna lagi. "Silahkan, Mbak angkat kaki dari sini!" Aku berdecak kesal, bisa-bisanya perempuan ini mengusirku dari rumah, apa dia lupa kalau aku sama Mas Restu belum resmi bercerai, dan baru talak satu."Siapa kamu beraninya mengusirku dari sini? Ingat ya semua harta benda yang ada di sini hasil kerja keras aku dan Mas Restu, dan kamu hanya menumpang!" tegasku.Bukannya merasa tersinggung, Ayuna malah tersenyum sinis seolah mengejek."Apa, Mbak lupa kalau semua harta kekayaan ini atas nama milik Mas Restu, dan aku, aku adalah istrinya Mas Restu yang dinikahinya sah secara agama ataupun negara. Sementara Mbak perempuan malang y
"Mama ...," teriak Nizam dan Gahzi di balik pintu.Aku yang tak sanggup mendengar teriakan mereka berusaha menggedor pintu sekeras mungkin agar segera dibukakan."Mas ... Tolong buka pintunya, biarkan aku bertemu dan bersama anak-anak," teriakku di balik pintu."Mama ... Jangan pergi!" Aku mendengar Nizam berlari ke arah pintu."Nizam, Ghazi ayo masuk ke kamar!" Terdengar Mas Restu memerintah Nizam dan Ghazi."Aku mau ikut Mama ...." Suara teriakan Nizam membuat hatiku terasa pilu."Nizam, kamu dengar kata Papa sekarang masuk ke kamar!" Suara Mas Restu terdengar nyaring, membuat hatiku semakin terasa panas bisa-bisanya Mas Restu membentak mereka begitu."Gak mau, aku mau ikut Mama!" teriak Nizam."Mas ... Buka pintunya!" Aku kembali menggedor pintunya dengan keras sembari berteriak."Yuna cepat bawa anak-anak masuk ke kamar!" titah Mas Restu ke Ayuna."Baik, Mas."Aku begitu merasa sedih karena tidak bisa mengajak mereka ikut bersamaku. Tak mau menyerah aku terus berteriak dan mengged
"Pagi, Mbak Nilam?" sapa Ayuna sembari salah satu sudut bibirnya terangkat naik membentuk lengkungan senyum. Namun, tentu saja bukan senyum tulus."Oh ya, mungkin Mbak Nilam ke sini mau ambil barang-barang Mbak Nilam yang belum sempat Mbak bereskan. "Ayuna kembali melempar senyum. "itu saya sudah bereskan semua," lanjutnya sembari menunjuk pada sebuah dus di atas meja.Aku tersenyum sinis. "Apa hakmu membereskan barang-barang saya?" tanyaku."Ya aku pikir aku berhak karena semua harta adalah milik Mas Restu, dan aku istri sahnya. Jadi, wajar dong kalau aku mau mengelola restoran ini," jawab Ayuna santai.Dia pikir bisa melakukan itu? Meski sudah bercerai tetap saja aku masih berhak atas harta Gono gini, harta yang sudah kami kumpulkan bersama sekalipun atas nama Mas Restu."Ada apa ribut-ribut?" Tiba-tiba Mas Restu datang, entah ada angin apa? Sejak aku yang mengurusnya ia jarang sekali datang kemari. Tetapi, hari ini sengaja atau hanya kebetulan Mas Restu ada di sini."Mas Restu," s
Saat aku dan Ibu tengah sibuk memasak di dapur, terdengar suara deru mobil memasuki halaman, entah siapa yang datang. Aku dan Ibu seketika saling berpandangan."Siapa, Bu?" "Entah, tapi sepertinya Ibu gak ada janji kedatangan tamu," jawab Ibu. Ekpresinya sama sepertiku penasaran.Karena penasaran akhirnya aku menawarkan diri untuk melihat ke depan."Ya udah kalau gitu, aku lihat ke depan dulu ya, Bu," ucapku, yang dibalas Ibu dengan anggukan.Begitu sampai di depan aku termangu saat melihat mobil Mas Restu terparkir di halaman. Untuk apa lagi lelaki itu datang kemari? Belum puaskah dia menyakitiku?Aku berdiri menunggu Mas Restu ke luar dari mobilnya. Tidak lama kemudian lelaki itu keluar sembari melempar senyum, senyum yang sempat membuat hatiku berdebar kala melihatnya. Tapi, itu dulu. Semua rasa itu berubah sejak Mas Restu terang-terangan memilih selingkuhannya. Ia berjalan menghampiriku."Ada perlu apa lagi, Mas kemari?" tanyaku dingin. Sedingin hatiku yang membeku. Karena, perla