Bab 78"Maaf Mas, lebih baik kami cari penginapan sementara saja, kemudian besoknya baru cari tempat tinggal baru. Aku nggak mau merepotkan kalian lagi. Gibran dan Anindita sama sekali tidak ada kaitannya dengan keluarga El Fata, begitupun denganku. Mungkin kami hanya akan menjadi beban kalian," tolakku halus."Mbak Alifa, jangan begitu. Apa kamu lupa jika aku yang mengadopsi Anindita? Aku papanya dan aku punya tanggung jawab untuk memastikan jika Anindita bisa hidup layak. Sudahlah, sebaiknya kita kembali ke apartemen. Kalau kamu nggak betah di sana karena tempatnya kecil, nanti kita pikirkan lagi. Keluarga El Fata punya banyak rumah dan kamu bisa menempati salah satunya." Pria itu menarik tanganku dan melambaikan tangan pada sopir agar segera mengangkut barang-barang kami.Namun Atta justru memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya."Atta!' Aku hendak protes, tetapi pintu mobil keburu ditutup oleh pria itu."Kita ke apartemen ya, kamu bisa menginap selama beberapa hari, baru nanti mik
Bab 79Aku langsung menurut. Rasanya memang tidak punya tenaga lagi untuk melayani pembicaraan apapun, walaupun hanya sekedar bercanda. Perutku benar-benar lapar. Aku mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, lauk dan sayur. Aku memakan makananku dengan lahap tanpa bicara sepatah katapun, tak peduli Atta yang mengamati diri ini yang mungkin dianggapnya jika aku kemaruk. Perutku benar-benar lapar. Perdebatan dengan mas Aariz, lantas berkemas untuk meninggalkan rumah utama, lalu menyusun barang-barang setibanya di apartemen. Ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran."Maaf," ucapku lirih sembari bersendawa. Kini perutku sudah kenyang. "Aku kurang sopan ya? Maaf, aku benar-benar lapar.""Tidak apa-apa. Ibu menyusui memang harus banyak makan, karena asinya diperlukan untuk menyusui dua bayi. Dua bayi lho, Mbak, bukan satu bayi lagi." pria itu tersenyum."Iya, Ta. Setelah Anindita ikut menyusu padaku, aku memang lebih cepat lapar dan sekali makan selalu banyak." Aku mengakui sembari
Bab 80Kalau itu benar, alangkah sungguh memalukan!Tapi di mana laki-laki itu? Kenapa tidak ada di kamar ini? Kalau aku mengigau dan berjalan sendiri, pasti aku tengah tidur bersama pria itu. Terakhir yang aku ketahui, pria itu tidur di kamarnya.Aku memijat pelipisku, lalu kembali memindai seisi ruangan. Ruangan ini tampak sepi, hanya ada aku sendirian.Aku turun dari tempat tidur dan memindai penampilanku sendiri. Ternyata pakaianku masih lengkap, bahkan hijab masih melekat sempurna menutup kepalaku. Semuanya masih lengkap, tak kurang suatu apapun. Jam di dinding menunjukkan pukul 05.00 subuh Ah, ternyata aku tidur begitu nyenyak, sampai lupa dengan dua bayiku.Aku bergegas melangkah keluar dari kamar ini. Ketika kakiku melangkah menuju kamar yang ditempati oleh anak-anak dan baby sisternya, aku sempat melongok ke ruang tamu. Sesosok tubuh nampak tertidur pulas di atas karpet, yang tadi malam aku gunakan untuk alas tidur.Lah... kok Atta tidur di ruang tamu sih? Langsung saja a
Bab 81Atta keluar dari mobil dan langsung disambut oleh seorang pria berseragam petugas yang melihat kondisi Atta saat ini. Pria itu dibaringkan di ranjang beroda, lalu didorong masuk ke ruang IGD."Saya bukan orang sakit, hanya luka sedikit. Tidak usah berlebihan," ujar Atta. Pria itu bergerak, berusaha bangkit, namun dicegah oleh seorang pria muda yang barusan mendorong brankar itu."Jangan banyak bergerak dulu, Mas. Mas harus diobati dulu. Luka dan lebamnya lumayan.""Oke." Atta menurut, dia tidak jadi bangkit dan membiarkan dirinya tetap berbaring. Seorang wanita berpakaian putih datang diiringi dengan dua orang pria yang berseragam sama dengan wanita itu.Melihat sekilas kondisi Atta saat ini saja, wanita itu langsung bisa menebak apa yang sudah terjadi."Habis berantem, Mas?" Perempuan itu tersenyum, lalu dengan isyarat ia meminta dua orang perawat untuk membersihkan luka dan lebam yang ada di beberapa bagian tubuh pria itu."Iya, namanya juga laki-laki....""Kalau nggak bisa b
Bab 82"Kita akan tinggal di apartemen ini selama seminggu. Setelah itu, tunggu keputusan dari kami, apakah akan tinggal di rumah yang baru atau di rumah pribadi dokter Aariz. Aku belum bisa memutuskannya sekarang.""Serius, Mbak?" Naira mengedip-ngedipkan matanya lucu. Senyum tergambar di bibirnya.Suasana kamar tidak lagi seramai tadi. Mas Aariz dan Gibran bermain di ruang tamu, sementara Maya tengah berusaha menidurkan Anindita. Mereka berdua berbaring di salah satu kasur dengan satu botol dot yang tengah asyik dihisap oleh bayi itu. "Mbak Alifa beneran mau nikah sama dokter Aariz?""Habis mau gimana lagi? Sejauh mana pun kita melangkah, tetap saja Gibran itu secara hukum adalah putranya dokter Aariz. Bisa-bisa aku dikira menculik anak orang. Tadi malam aku nggak sempat memikirkan hal itu karena sedang benar-benar marah....""Iya juga sih, Mbak. Meskipun dokter Aariz tidak mau mengakui Gibran, tetap saja secara hukum itu adalah anaknya. Mereka bisa menuntut kita kalau mau. Padahal
Bab 83"Mas, jangan samakan aku dengan Winda!" Aku menutup kotak perhiasan itu, memasukkannya dalam beberapa paper bag, dan menyerahkan kepada mas Aariz. "Simpan saja itu, Mas. Ingat, Mas melamar janda, bukan perawan. Tidak perlulah mahar sampai se-fantastis itu." "Aku nggak menyamakan kamu dengan Winda. Lagi pula saat aku menikahi Winda, dia pun juga sudah bukan perawan. Kalian orang yang berbeda, tapi aku harus bersikap adil. Dulu aku melamar Winda dengan satu set perhiasan seharga satu miliar. Aku merasa, aku harus bersikap adil sama kamu, jadi kamu pun harus mendapatkan hal yang serupa, atau mungkin kamu ingin mahar yang lain? Tapi ingat, yang rentang harganya 1 miliar ya."Ya Allah.... Aku beristighfar berkali-kali, sembari mengusap dadaku. Mas Aariz begitu enteng menyebut angka 1 miliar. Ini baru mahar. Belum termasuk dengan biaya penyelenggaraan acara akad nikah dan keperluan yang lain. "Aku tidak pernah meminta mahar yang mahal, Mas. Wanita yang baik itu adalah wanita yang
Bab 84"Mengapa tidak?! Aku bukan perempuan kayak kamu yang nggak cukup hanya dengan satu pria. Aku akan setia sama mas Keenan sampai akhir hayatku," ujar Aina dengan penuh percaya diri."Meski dia bangkrut sekalipun?!" Lagi-lagi aku berusaha memancingnya, karena aku masih teringat bagaimana kerasnya usaha Aina untuk mendapatkan mas Keenan tempo hari. Mas Keenan memang idolanya Aina, apalagi waktu itu semua keluarga besar kami tahu jika mas Keenan adalah seorang pengusaha. Waktu itu usia Aina baru 17 tahun, tetapi lagaknya seperti wanita dewasa saja yang kegatelan ingin dinikahi.Entah siapa yang mengajarinya, karena setahuku bibi Santi orang baik. Selama aku masih tinggal bersama paman Ardi dan bibi Santi, tidak pernah sekalipun dia mengajarkan hal yang aneh-aneh padaku dan anak-anaknya yang lain. Apa itu efek dari pergaulannya Aina di luaran sana?"Dia tidak mungkin bangkrut. Kalaupun usahanya mundur, dia pasti akan tahu bagaimana caranya untuk bangkit," ujar Aina lantang. Dia menat
Bab 85Aina memang ajaib dari dulu, dan sekarang setelah fitnah itu mengenaiku, makin bertambahlah keajaiban gadis itu. Dia memanfaatkan kejatuhanku sebagai peluang untuk menaikkan dirinya sendiri."Yang diperlukan laki-laki itu bukan cuma wanita yang cantik secara fisik, tetapi juga cantik kepribadian. Laki-laki yang dewasa dan mapan secara personal juga butuh perempuan yang cerdas, yang punya visi dan misi untuk membangun keluarga yang baik. Kalau cuman sekedar ngangkang di tempat tidur sih, pelacur juga bisa....""Mas, apaan sih? Omonganmu ya kok nggak disaring dulu?!" Wajahku seketika merona."Tapi omonganku benar, kan? Kalau cuman buat melayani kebutuhan biologis doang, pelacur juga bisa. Tapi... kita cari istri, pendamping yang akan menemani kita seumur hidup, jadi mestinya harus punya visi dan misi yang sama, nggak cukup cinta, Sayang.""Iya Sayang." Aku balas meledek. Gemes juga akhirnya, karena pria yang dingin ini memanggilku Sayang. Terbayang di otakku bagaimana mas Aariz m
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan
Bab 173"Tolong kasih saya penjelasan. Kalian ini sebenarnya siapa, dan disuruh siapa? Kenapa mau menolong saya? Saya perlu alasan yang logis. Tidak mungkin kalian mau bertaruh nyawa untuk menyelamatkan seseorang yang tidak kalian kenal seperti saya."Akhirnya setelah mendaftarkan ibunya untuk dirawat di sebuah rumah sakit, Lisa kembali mendekati salah seorang diantara mereka, seseorang yang memboncengnya saat dari lokasi penculikan sampai ke kampung halamannya.Pria itu menghela nafas. Dia sejenak merapikan kemejanya yang kusut. Mungkin tak sadar, karena perjalanan mereka yang menegangkan barusan, di tambah lagi harus mengantar ibunya Lisa ke rumah sakit."Kenalkan, nama saya Abi. Sebenarnya kami diperintahkan oleh Mas Atta untuk mengawal Mbak Lisa sampai ke kampung halaman." "Mas Atta?! Mas Atta yang menyuruh kalian?" Lisa malah menepuk jidat, lalu menutup telinga dengan kedua telapak tangannya."Nggak usah segitunya juga kagetnya, Mbak," tegur pria itu. Abi menarik dengan lembut t