Share

Meragukan Cinta karena Takut Terluka
Meragukan Cinta karena Takut Terluka
Penulis: Fay

Bab 1

Kliriiing … kliriiing … 

Aku melihat siapa yang memanggilku pada pukul segini. Rupanya Koordinator Seo. 

“Halo. Seo-sensei, ada apa?” 

“Faihah-san. Aku minta maaf telah mengganggumu. Tapi, besok bisakah kamu menjemput Yuichi sensei ke Sawargi?” 

Yuichi sensei adalah salah satu relawan pengajar dari Jepang yang akan mengisi kelas bahasa Jepang untuk guru bahasa Jepang sekolah-sekolah di Kota Sawargi selama tiga bulan. 

Aku mengerutkan dahi, “Bukankah Yuanita yang akan menjemput, sensei?” 

“Dia tidak bisa ku hubungi sejak siang tadi, sedangkan aku butuh kepastian cepat.” 

“Kapan Yuichi sensei akan sampai di Indonesia?” 

“Dia sebenarnya sudah sampai sejak seminggu yang lalu.” 

Aku mendadak bengong mendengar jawaban Seo sensei. Serius? Apa yang orang itu telah lakukan di Indonesia? 

“Aku akan memberimu kontaknya. Kamu bisa mengontaknya malam ini” 

Percakapan lalu terputus. 

Ting! 

Tidak lama, Seo-sensei mengirimkan kontak yang dia maksud, dan menambahkannya dengan sebaris kalimat. 

“Faihah-san, aku percayakan dia kepadamu. Dia adalah teman baikku.” 

Aku mengerutkan dahi melihat nama kontak tersebut. Tapi aku segera melupakannya. Nama itu cukup pasaran. 

Selamat malam Yuichi sensei. Saya Faihah, yang akan menjemput anda ke Sawargi besok. Saya mendapatkan kontak anda dari Seo sensei. Salam kenal sebelumnya. Besok mau dijemput di mana dan pukul berapa?” 

Terkirim 

Sepuluh menit … Dua puluh menit … Tiga puluh menit … 

Bahkan pesan itu belum dibalas sampai aku tidur.

 

===

Aku baru mendapatkan balasannya pada pukul 10.00 pagi keesokan harinya. 

Halo Faihah-san. Sejujurnya saya tidak tahu di mana sekarang. Tapi bisakah kamu menjemput saya hari ini?

Beserta beberapa foto. 

Aku mengerutkan dahi sambil menghela napas kesal. Walaupun cewek dikenal sebagai makhluk yang “jago stalking”, sayangnya aku bukan salah satu di antara mereka. 

Selain itu, aku kehilangan jadwal pemberangkatan kereta lokal sepuluh menit yang lalu. Jadwal pemberangkatan kereta lokal selanjutnya dari kota tempat ku tinggal adalah dua jam kemudian. 

“Sensei, bisakah Anda mengirimkan lokasi anda lewat aplikasi ini?” 

Sepuluh menit kemudian, terdapat balasan. Lagi-lagi aku mengerutkan kening. 

Kampus Wijaya? Kampus almamaterku dulu?

Aku lalu menggunakan foto yang Yuichi sensei kirimkan dengan pencarian gambar. Rupanya foto itu menunjukkan lokasi kampus tempat aku dulu mengambil gelar sarjana. 

Kenapa orang itu ada di sana? 

Segala macam kemungkinan berputar di kepalaku. Dia tidak mungkin sedang kuliah kan? Seo sensei sendiri usianya hampir 40-an. Kalau orang ini memang kawan baik Seo sensei, usianya tidak mungkin jauh lebih muda bukan? 

Apakah dia sedang melakukan wisata masa lalu? 

“Pak, saya minta maaf. Tapi karena bapak membalas pesan saya tidak cepat. Saya kehilangan jadwal pemberangkatan kereta pukul 10. Jadi saya akan berangkat dari Sawargi pukul 12, atau pemberangkatan selanjutnya.” 

Lagi-lagi tidak ada balasan. 

===

Aku memandangi bus-bus kampus yang berjejer di depan halte pemberhentian terakhir yang berada di depan asrama kampus. Aku sebenarnya ke asrama kampus karena ingin jajan rujak, alias lapar. Sayangnya, tukang rujak itu tidak berjualan. Entah sedang tidak berjualan, atau sudah tidak berjualan.

Aku menyenderkan kepala ke pilar halte pemberhentian bus dengan lesu. Sudah tiga jam aku terdampar di kampus almamaterku tercinta, hanya karena sebuah gambar dari seorang sensei yang belum pernah bertemu sebelumnya. Seseorang yang merenggut hari liburku yang indah.

Sayangnya dia adalah calon atasanku. 

Aku memandangi ponsel. Orang ini benar-benar tidak membalas sejak aku berangkat dari Sawargi. Aku menghela napas. Aku menghubunginya lewat panggilan suara untuk ketiga kalinya. 

Lagi-lagi orang itu tidak mengangkatnya. 

Aku lalu membuka pesan dari orang itu dan melihat kembali foto yang dia kirimkan. Aku tidak familiar dengan tempat ini. Aku menghela napas dan menyenderkan kepala ke tiang halte. Entah kenapa aku merasa lelah. Aku mengirimkan pesan seperti ini.

“Sensei, saya sudah di kampus. Kalau baca pesan ini tolong hubungi saya secepatnya, biar kita bisa kembali ke Sawargi hari ini dan secepatnya. ASAP.” 

Aku memasukan kembali ponsel ke dalam tas, dan kembali memandangi pemandangan.Tidak banyak orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang. 

“Tuh, yang merah mau jalan. Naik! Naik!” 

Aku mengikuti arahan supir menaiki bus yang dimaksud, dan duduk paling belakang. Aku mengecek waktu di ponsel, setengah jam lagi asar. 

Apa yang harus aku lakukan? 

Aduh, aku pengen pulang aja. Mana fisikku tidak seperti dulu, dan menunggu tidak jelas seperti ini melelahkan. 

Aku memandangi halte stasiun dengan muka lesu. Sepertinya aku akan turun setelah halte ini. Halte terdekat dengan perpustakaan kampus. Kebetulan bagian paling bawah perpustakaan terbuka untuk umum dilengkapi dengan sofa yang sangat nyaman. 

Aku bersiap untuk turun ketika bus mendekati halte tujuan. Ada dua orang yang hendak turun di depanku. Bus berhenti, lalu aku turun ketika pintu bus otomatis terbuka. Aku berjalan dengan gontai dari halte menuju perpustakaan. Aku memandangi masjid raya kampus yang terbentang di depanku. 

Apa aku ke sana aja ya? Toh, sebentar lagi juga waktu asar. 

Suasana depan gerbang masjid itu cukup ramai dengan orang-orang yang hendak beribadah. Aku melangkahkan kaki menuju tempat ibadah untuk perempuan.

===

Aku menyandarkan diri di atas sofa perpustakaan yang empuk. Tanganku reflek memegang ponsel, lagi-lagi tidak ada pesan dari Yuichi sensei. 

Orang macam apa dia sampai tidak merespon pesanku seperti ini? 

Aku menaruh ponsel ke dalam tas dan mendengus kesal. Aku menyenderkan kepala ke tembok dan memeluk tasku dengan erat. Perlahan mataku memberat dan menjadi gelap. 

===

Mataku memburam dan perlahan menjadi sedikit terang. Sayangnya badanku masih terasa lemas sehingga belum ada kekuatan untuk bangkit. 

Aku sudah tertidur berapa lama? 

Aku dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih menggerakkan leher yang terasa pegal. Tanganku meraba-raba ponsel di dalam tas, untuk mengecek sudah berapa lama aku tertidur. Sepertinya setengah jam aku tertidur. 

Huh? Panggilan tidak terjawab? Pesan? 

Badanku seketika menjadi linglung. Rupanya ada rentetan pesan dan panggilan tidak terjawab dari sensei! Aku menggunakan siku untuk membantuku bangkit sedangkan tangan kananku membaca pesan dari sensei. 

Pesan ini telah terhapus. 

Ah biarlah! Yang penting tandanya dia sudah bisa dihubungi. 

Aku akhirnya mencoba mengendalikan rasa linglung dan kembali membuat panggilan dengan sensei. 

Kring … kring … 

Aku reflek memutuskan panggilan. Setelah diam beberapa saat, aku kembali membuat panggilan. 

Kring … kring …. 

Demi apa? Kenapa ada yang bunyi setiap aku membuat panggilan? 

“Faihah?” Aku terdiam mendengar seseorang di sebelah memanggil namaku.

Suara seseorang yang rasanya sangat familiar, dan pernah menjadi bagian dalam beberapa episode kehidupanku sebelumnya. 

Fay

Halo. Aku Fay, penulis dari buku ini. Aku tahu sih karyaku tidak akan terkenal juga, tapi daripada muncul komentar tidak enak yang harusnya bisa diantisipasi sejak awal, lebih baik aku menulis catatan ini dari sekarang. Orang-orang yang membaca ini pasti akan mengerutkan dahi. Mungkin novel ini akan berbeda dari yang kalian pikirkan, makanya sebenarnya lebih pas novel ini diberi rating 18+ karena orang di usia tersebut seharusnya sudah mempunyai prinsip masing-masing. Aku sih tidak ingin menjadikan novel ini propaganda atau contoh, setiap orang punya nilai masing-masing. Mungkin bisa dibilang seperti penggambaran realita? Terimakasih semua, ngomong-ngomong ini pertama kalinya aku debut sebagai seorang penulis fiksi setelah 16 tahun aku mencoba menulis fiksi. Aku saat itu belum berani memulai karena berperang dengan nilai yang aku percayai.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status