Kliriiing … kliriiing …
Aku melihat siapa yang memanggilku pada pukul segini. Rupanya Koordinator Seo.
“Halo. Seo-sensei, ada apa?”
“Faihah-san. Aku minta maaf telah mengganggumu. Tapi, besok bisakah kamu menjemput Yuichi sensei ke Sawargi?”
Yuichi sensei adalah salah satu relawan pengajar dari Jepang yang akan mengisi kelas bahasa Jepang untuk guru bahasa Jepang sekolah-sekolah di Kota Sawargi selama tiga bulan.
Aku mengerutkan dahi, “Bukankah Yuanita yang akan menjemput, sensei?”
“Dia tidak bisa ku hubungi sejak siang tadi, sedangkan aku butuh kepastian cepat.”
“Kapan Yuichi sensei akan sampai di Indonesia?”
“Dia sebenarnya sudah sampai sejak seminggu yang lalu.”
Aku mendadak bengong mendengar jawaban Seo sensei. Serius? Apa yang orang itu telah lakukan di Indonesia?
“Aku akan memberimu kontaknya. Kamu bisa mengontaknya malam ini”
Percakapan lalu terputus.
Ting!
Tidak lama, Seo-sensei mengirimkan kontak yang dia maksud, dan menambahkannya dengan sebaris kalimat.
“Faihah-san, aku percayakan dia kepadamu. Dia adalah teman baikku.”
Aku mengerutkan dahi melihat nama kontak tersebut. Tapi aku segera melupakannya. Nama itu cukup pasaran.
“Selamat malam Yuichi sensei. Saya Faihah, yang akan menjemput anda ke Sawargi besok. Saya mendapatkan kontak anda dari Seo sensei. Salam kenal sebelumnya. Besok mau dijemput di mana dan pukul berapa?”
Terkirim
Sepuluh menit … Dua puluh menit … Tiga puluh menit …
Bahkan pesan itu belum dibalas sampai aku tidur.
===Aku baru mendapatkan balasannya pada pukul 10.00 pagi keesokan harinya.
Halo Faihah-san. Sejujurnya saya tidak tahu di mana sekarang. Tapi bisakah kamu menjemput saya hari ini?
Beserta beberapa foto.
Aku mengerutkan dahi sambil menghela napas kesal. Walaupun cewek dikenal sebagai makhluk yang “jago stalking”, sayangnya aku bukan salah satu di antara mereka.
Selain itu, aku kehilangan jadwal pemberangkatan kereta lokal sepuluh menit yang lalu. Jadwal pemberangkatan kereta lokal selanjutnya dari kota tempat ku tinggal adalah dua jam kemudian.
“Sensei, bisakah Anda mengirimkan lokasi anda lewat aplikasi ini?”
Sepuluh menit kemudian, terdapat balasan. Lagi-lagi aku mengerutkan kening.
Kampus Wijaya? Kampus almamaterku dulu?
Aku lalu menggunakan foto yang Yuichi sensei kirimkan dengan pencarian gambar. Rupanya foto itu menunjukkan lokasi kampus tempat aku dulu mengambil gelar sarjana.
Kenapa orang itu ada di sana?
Segala macam kemungkinan berputar di kepalaku. Dia tidak mungkin sedang kuliah kan? Seo sensei sendiri usianya hampir 40-an. Kalau orang ini memang kawan baik Seo sensei, usianya tidak mungkin jauh lebih muda bukan?
Apakah dia sedang melakukan wisata masa lalu?
“Pak, saya minta maaf. Tapi karena bapak membalas pesan saya tidak cepat. Saya kehilangan jadwal pemberangkatan kereta pukul 10. Jadi saya akan berangkat dari Sawargi pukul 12, atau pemberangkatan selanjutnya.”
Lagi-lagi tidak ada balasan.
===Aku memandangi bus-bus kampus yang berjejer di depan halte pemberhentian terakhir yang berada di depan asrama kampus. Aku sebenarnya ke asrama kampus karena ingin jajan rujak, alias lapar. Sayangnya, tukang rujak itu tidak berjualan. Entah sedang tidak berjualan, atau sudah tidak berjualan.Aku menyenderkan kepala ke pilar halte pemberhentian bus dengan lesu. Sudah tiga jam aku terdampar di kampus almamaterku tercinta, hanya karena sebuah gambar dari seorang sensei yang belum pernah bertemu sebelumnya. Seseorang yang merenggut hari liburku yang indah.Sayangnya dia adalah calon atasanku. Aku memandangi ponsel. Orang ini benar-benar tidak membalas sejak aku berangkat dari Sawargi. Aku menghela napas. Aku menghubunginya lewat panggilan suara untuk ketiga kalinya.Lagi-lagi orang itu tidak mengangkatnya.
Aku lalu membuka pesan dari orang itu dan melihat kembali foto yang dia kirimkan. Aku tidak familiar dengan tempat ini. Aku menghela napas dan menyenderkan kepala ke tiang halte. Entah kenapa aku merasa lelah. Aku mengirimkan pesan seperti ini.
“Sensei, saya sudah di kampus. Kalau baca pesan ini tolong hubungi saya secepatnya, biar kita bisa kembali ke Sawargi hari ini dan secepatnya. ASAP.”
Aku memasukan kembali ponsel ke dalam tas, dan kembali memandangi pemandangan.Tidak banyak orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang.
“Tuh, yang merah mau jalan. Naik! Naik!”
Aku mengikuti arahan supir menaiki bus yang dimaksud, dan duduk paling belakang. Aku mengecek waktu di ponsel, setengah jam lagi asar.
Apa yang harus aku lakukan?
Aduh, aku pengen pulang aja. Mana fisikku tidak seperti dulu, dan menunggu tidak jelas seperti ini melelahkan.
Aku memandangi halte stasiun dengan muka lesu. Sepertinya aku akan turun setelah halte ini. Halte terdekat dengan perpustakaan kampus. Kebetulan bagian paling bawah perpustakaan terbuka untuk umum dilengkapi dengan sofa yang sangat nyaman.
Aku bersiap untuk turun ketika bus mendekati halte tujuan. Ada dua orang yang hendak turun di depanku. Bus berhenti, lalu aku turun ketika pintu bus otomatis terbuka. Aku berjalan dengan gontai dari halte menuju perpustakaan. Aku memandangi masjid raya kampus yang terbentang di depanku.
Apa aku ke sana aja ya? Toh, sebentar lagi juga waktu asar.
Suasana depan gerbang masjid itu cukup ramai dengan orang-orang yang hendak beribadah. Aku melangkahkan kaki menuju tempat ibadah untuk perempuan.
===
Aku menyandarkan diri di atas sofa perpustakaan yang empuk. Tanganku reflek memegang ponsel, lagi-lagi tidak ada pesan dari Yuichi sensei.
Orang macam apa dia sampai tidak merespon pesanku seperti ini?
Aku menaruh ponsel ke dalam tas dan mendengus kesal. Aku menyenderkan kepala ke tembok dan memeluk tasku dengan erat. Perlahan mataku memberat dan menjadi gelap.
===
Mataku memburam dan perlahan menjadi sedikit terang. Sayangnya badanku masih terasa lemas sehingga belum ada kekuatan untuk bangkit.
Aku sudah tertidur berapa lama?
Aku dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih menggerakkan leher yang terasa pegal. Tanganku meraba-raba ponsel di dalam tas, untuk mengecek sudah berapa lama aku tertidur. Sepertinya setengah jam aku tertidur.
Huh? Panggilan tidak terjawab? Pesan?
Badanku seketika menjadi linglung. Rupanya ada rentetan pesan dan panggilan tidak terjawab dari sensei! Aku menggunakan siku untuk membantuku bangkit sedangkan tangan kananku membaca pesan dari sensei.
Pesan ini telah terhapus.
Ah biarlah! Yang penting tandanya dia sudah bisa dihubungi.
Aku akhirnya mencoba mengendalikan rasa linglung dan kembali membuat panggilan dengan sensei.
Kring … kring …
Aku reflek memutuskan panggilan. Setelah diam beberapa saat, aku kembali membuat panggilan.
Kring … kring ….
Demi apa? Kenapa ada yang bunyi setiap aku membuat panggilan?
“Faihah?” Aku terdiam mendengar seseorang di sebelah memanggil namaku.
Suara seseorang yang rasanya sangat familiar, dan pernah menjadi bagian dalam beberapa episode kehidupanku sebelumnya.
Halo. Aku Fay, penulis dari buku ini. Aku tahu sih karyaku tidak akan terkenal juga, tapi daripada muncul komentar tidak enak yang harusnya bisa diantisipasi sejak awal, lebih baik aku menulis catatan ini dari sekarang. Orang-orang yang membaca ini pasti akan mengerutkan dahi. Mungkin novel ini akan berbeda dari yang kalian pikirkan, makanya sebenarnya lebih pas novel ini diberi rating 18+ karena orang di usia tersebut seharusnya sudah mempunyai prinsip masing-masing. Aku sih tidak ingin menjadikan novel ini propaganda atau contoh, setiap orang punya nilai masing-masing. Mungkin bisa dibilang seperti penggambaran realita? Terimakasih semua, ngomong-ngomong ini pertama kalinya aku debut sebagai seorang penulis fiksi setelah 16 tahun aku mencoba menulis fiksi. Aku saat itu belum berani memulai karena berperang dengan nilai yang aku percayai.
Aku memasukan ponsel ke dalam tas lalu menoleh dengan perlahan. Mataku tertumbuk dengan seorang pria yang rupanya jauh lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku masih belum kembali sadar 100 %. Namun, tanpa ba-bi-bu aku langsung bangkit dan mengambil tas hendak meninggalkan pria itu. Grab! Aku kaget ketika pria itu mendadak berada di depanku, membuatku terduduk di atas sofa perpustakaan. Bruk! Tasku terlepas dari tangan lalu terjatuh ke bawah. Tatapan mataku terpaku dengan pria itu sampai dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Aku refleks mundur, namun ternyata dia mengambil tas yang terjatuh dan menaruhnya di sebelahku dengan perlahan. “Faihah … “ Tatapanku masih nanar ke depan walaupun tidak menatap matanya. “Kamu … Yuichi Sensei?” “Yuichi Haruka, lebih tepatnya.” Kumpulan emosi dan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh mulai menggumpal dan mengambang ke atas kepala. Menghasilkan air mata yang mengalir begitu saja dari kepala. Haruka seperti tersentak, “Fay … “
Tek! Sepiring makanan dengan segelas air mendarat di depanku. Aku menatap makanan yang Haruka ambil. “Kamu sering makan di sini?” Aku mengangguk, “Tempatku tinggal dulu di sekitar sini.” “Benarkah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Bisakah kita melewatinya saat menuju stasiun?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa?” Nada suara Haruka terdengar kecewa. Aku menghentikan suapanku dan memandangi Haruka, “Kenapa kamu terlihat sangat penasaran?” Haruka terdiam sejenak, “Baiklah kalau memang kamu tidak ingin menunjukkannya.” Haruka lalu mulai makan. Suasana di antara aku dan Haruka berubah menjadi hening, walaupun warung tersebut ramai dengan kumpulan mahasiswa yang tengah makan atau nongkrong. “Sudah ke mana saja selama berada di Indonesia?” "Bagaimana kamu tahu?" "Seo sensei yang memberitahuku kalau kamu sudah satu minggu berada di Indonesia." "Ah begitu." Haruka tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang membuatku terkesiap. Majalah yang aku berikan kepadan
Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. "Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk de
Kriiiingg .... Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim. "Ya?" "Aku menganggumu?" "Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran." "Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?" "Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?" "Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja." Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini. "Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup" "Kamu kapan bisa pergi?" Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu." "Baiklah." :) Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat. “Eee
“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.“Iya Pak, ada apa?”“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.“Udah mbak, gak usah.”Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya. ========= Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan. Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebena
“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. “Halo, boleh bergabung?” Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. “Faihah, kenapa menumu berbeda?” “Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku. “Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. “Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” “Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk me
“Fay, ayo ikut.” Aku yang tengah merapihkan berkas menoleh, “Seo sensei? Ikut ke mana?” “Makan bersama,” jawab Seo sensei. Tidak lama Kawata sensei keluar, diikuti dengan Haruka dan Yuanita dari ruangan sebelah. Seo sensei menoleh ke arah Yuanita, “Yuanita, saya sudah mengecek tempat kuliner yang kamu rekomendasikan, sepertinya enak. Hari ini saya ingin mengajak kalian dan para sensei ke sana.” Yuanita mengangguk dengan antusias, “Ayo sensei!” Tanpa sadar aku menatap Yuanita dan merasa penasaran, tempat apa yang dimaksud oleh Yuanita? === Aku merapatkan bibir melihat sebuah durian yang sudah terbelah menjadi tiga. Diam-diam aku ingin menghela napas panjang. Aku tidak bisa makan durian. “Kamu tidak makan, Fay?” Aku menoleh, “Saya tidak bisa makan durian, Sensei.” Seo sensei mengerutkan dahi, “Tahu begitu, kamu pilih saja buah yang lain.” Aku bengong ketika Seo sensei mengeluarkan sebuah kartu, “Pakai kartu ini untuk membayarnya.” Aku menerimanya dengan agak canggung dan bang
Aku mengehela napas di atas motor. Ini sudah rumah ketiga yang aku dan Haruka datangi. Tidak ada lagi rumah yang akan dikontrakan di dalam lingkungan rumah. Haruka lalu menghampiriku. Haruka menghampiriku dan mengerutkan dahi, “Kamu kenapa?” “Sekarang kamu mau ke mana lagi?” Haruka terdiam sejenak, “Kamu lelah?” Aku hanya mengangguk, “Aku ingin rebahan dan istirahat. Sudah malam juga." Haruka tiba-tiba tertawa, “Jangan terlalu sering rebahan, punggungmu bisa keropos nanti.” Suasana hening sejenak. “Kamu mau makan dulu sebelum antar aku pulang?” Aku mengerutkan dahi, “Tadi belum cukup?” “Kamu pikir itu makan sore? Kita hanya makan buah.” Aku hanya bisa mengangguk, “Benar sih.” “Ayo kamu makan di mana? Aku yang traktir.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Haruka. === Tek! Dua piring nasi dengan lauk makanan laut tersaji di atas meja. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?" "Aku yakin kamu bisa membantuku menghabiskannya, Fay." "Ish!" aku melotot sedangkan Haruka terkeke